DepokNews–Depok, 28 Desember 2024. Yayasan Keluarga Bahagia Indonesia (KBI) berkolaborasi dengan Institut Muslimah Indonesia (IMI) menyelenggarankan serial Seminar Keluarga Muslim dengan tema Jodoh Sesurga. Hadir pada seminar ini, narasumber Azam Shiddiqi, psikolog Gusmilizar, dan dimoderatori oleh Atikah Solihah. Acara yang berlangsung di ruang pertemuan Perpustakaan Kota Depok itu dipenuhi 55 peserta sesuai dengan kuota yang disediakan panitia. Peserta terdiri atas kaum milenial, generasi Z, dan perwakilan beberapa KUA di Depok, yakni KUA Limo, KUA Beji, KUA Pancoran Mas, dan KUA Tapos.
“Keluarga mempunyai arti penting. Bukan hanya sebagai unit terkecil dalam sebuah masyarakat, melainkan juga sebagai unsur yang berdampak bagi negara dan peradaban. Sebagaimana juga termaktub dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim ayat 6 dan Surat Ruum ayat 21 bahwa Allah mengingatkan kita untuk menjaga keluarga dari api neraka. Allah akan mengumpulkan keluarga-keluarga yang beriman di dalam surga. Maka, tema “Jodoh Sesurga” ini tentu saja relevan, mengingat jodoh tidak untuk di dunia saja, tetapi juga sampai ke akhirat. Bahkan, bukan hanya dengan pasangannya saja, melainkan juga dengan anak keturunannya,” jelas Titin, Sekretaris KBI, saat memberikan sambutan.
“KBI bercita-cita untuk mewujudkan keluarga yang bahagia di Indonesia, salah satu jalannya melalui ketahanan keluarga. Tujuan ini juga senada dengan tujuan Pemerintah Kota Depok yang tercantum dalam Perwala Depok No. 30 tahun 2021 tentang Ketahanan Keluarga. KBI dengan elemen masyarakat lain tergerak untuk bisa bersinergi dalam merealisasikan keluarga-keluarga bahagia, bukan hanya di Depok, tetapi di Indonesia pada umumnya,” lanjutnya.
Acara peluncuran ditandai dengan pembentangan spanduk mini oleh Titin dan Hamidah selaku Dikrektur IMI, yang bertuliskan Peluncuran Serial Seminar Keluarga Muslim Inspirasi Jodoh Sesurga. Kemudian, acara dilanjutkan dengan paparan narasumber.
“Kenapa harus Menikah? Kayaknya begitu-begitu aja! Ungkapan ini muncul dari kalangan Gen Z karena mereka ada yang sudah merasakan asam garam rumah tangga. Artinya, mereka terkena virus cinta sebelum waktunya. Bahkan, ada yang memiliki pacar sejak kecil dan memiliki panggilan khusus kepada pasangannya yang mungkin tidak dimiliki oleh mereka yang sudah puluhan tahun menikah,” terang Ustad Azzam, begitu panggilan akrabnya, saat mengawali pemaparan.
“Menikah itu harus kembali kepada nilai-nilai robbani dan tujuan syariat. Tujuan menikah adalah untuk menjaga keberlangsungan, keutuhan, eksistensi, dan kelestarian umat manusia. Garis keturunan juga dilestarikan dengan pernikahan. Keberadaan manusia ini pernah dikhawatirkan terputus pada zaman Nabi Luth karena ada penyuka sejenis. Keberadaan manusia masih berlangsung sejak zaman Nabi Adam hingga sekarang karena adanya pernikahan. Jadi, pernikahan itu bukan sekadar penyaluran syahwat, disuruh orang tua, malu dengan usia, mencari sekufu, bukan sekadar seremonial ijab kabul, foto-foto, buku nikah, dan pelaminan glamor, melainkan tujuan pernikahan sesuai syariat adalah untuk kedaulatan keluarga sehingga tersambung generasi umat manusia,” paparnya.
“Menikah adalah sunah para Nabi. Agama mana pun tidak mengajarkan perzinahan. Ada pula kalangan gen Z saat ini yang dengan pendidikan tinggi, tetapi saat menikah tidak mau punya anak. Hal ini bukan karena childfree tetapi ada kekhawatiran berlebihan. Mereka takut jika punya anak tidak bisa melindunginya karena sulit untuk memberinya makanan sehat serta sulit melindunginya dari lingkungan kotor dan penyakit yang aneh-aneh.” lanjutnya.
“Menikah adalah needs, kebutuhan. Orang semakin berkembang dan banyak jumlahnya dengan menikah. Hendaknya gen Z memiliki kebutuhan menikah yang muncul dari dirinya sendiri, bukan karena paksaan atau keinginan orang tuanya. Jika pernikahan itu sudah menjadi kebutuhan, akan diikuti standar Nabi dan para sahabat dan orang tua akan siap menerimanya sehingga hal-hal teknis seremonial pernikahan menjadi nomor sekian,” tandasnya.
Komunikasi menjadi hal penting dalam merawat pernikahan, target, harapan, dan keinginan didiskusikan di awal dengan pasangan. Bukan semata-mata hanya bicara hal teknis, misalnyaa menikah di mana, pakai pakaian apa, atau konsepnya bagaimana. Padahal yang terpenting adalah, apa alasan aku menikah dengan kamu. Why nya?” jelas psikolog Igus di awal pemaparan dengan mengangkat tema “Ketika Aku dan Kamu menjadi Kita”.
Igus menjelaskan bahwa sikap egois jangan dikedepankan. Menurutnya, untuk menjadi kita saat menikah adalah dengan memahami bahwa kita adalah manusia. Manusia sebagai organisme hidup harus saling mengenal, memahami kelebihan dan kekurangan pasangan karena pasangan kita bukan orang sempurna sebagaimana kita pun tidak sempurna. Manusia akan mengalami perubahan fisik, termasuk juga perempuan. Oleh karena itu, para suami jangan membandingkan dengan istri/perempuan lain.
“Pasangan yang baik, tetap saling mencintai meski tidak sempurna. Pasangan tidak saling menuntut, saling melengkapi, dan saling berempati. Pada saat ini empati mulai luntur di kalangan Gen Z. Hal ini dipengaruhi oleh games online atau konten internet yang tidak benar. Mencintai itu aktivitas aktif, bukan pasif sehingga bukan justru minta dihargai, dilayani, dan diberi,” lanjutnya.
Peserta seminar yang kebanyakan kaum Gen Z cukup antusias mengikuti acara. Beberapa pertanyaan disampaikan untuk mendapatkan jawaban serta kiat dalam menghadapi pernikahan, termasuk di antaranya cara mengatasi ketakutan atau kecemasan dalam pernikahan. Seseorang mengalami kecemasan pada pernikahan adalah wajar. Hal ini karena begitu banyak berita-berita negative, misalnya tentang KDRT, kriminalitas, pembunuhan, sulitnya mengasuh anak, dan muncul childfree. Akan tetapi, kecemasan ini menjadi tidak wajar jika berita tersebut mengubah pola pikir kita sehingga bersikap tidak mau menikah.
“Jika kita sudah paham materi pernikahan dan keinginan menikah itu ada, tetapi belum mapan secara finansial, materi, dan mental, apa yang harus disiapkan untuk menghadapi hal tersebut dan bagaimana memantaskan diri saat nanti mengemban amanah sebagai seorang suami?” tanya Ghifari, salah seorang peserta.
Pada akhir sesi, narasumber berpesan hendaknya setiap pasangan belajar dan berusaha menjadi lebih baik, mengubah pola pikir negatif menjadi positif, dan menghindari dua pencuri kebahagiaan, yaitu pandangan masa depan yang menebarkan was-was dan pandangan masa lalu yang terus menanamkan kekelaman.
“Acara semacam ini bagus dan bisa diteruskan sebagai salah satu bentuk pendampingan kepada pasangan yang akan menikah. Serial pernikahan ini bisa mengangkat tema-tema yang dibutuhkan masyarakat, salah satunya dalam mengatasi kecemasan pernikahan. Kegiatan ini juga bisa sebagai pendampingan atau kursus kepada calon pengantin sebagaimana dilakukan di Kementerian Agama. Ke depan hal ini bisa dilakukan dengan kolaborasi elemen-elemen masyarakat yang saling bersinggungan,” jelas Agus mewakili KUA Tapos.
Sebagai bentuk apresiasi, panitia memberikan hadiah kepada peserta yang aktif dalam diskusi. Paniti pun membentuk WAG sebagai media komunikasi dan kelanjutan program serial seminar pernikahan di masa mendatang.
(Har/Foto: Rini)