LGBT, Racun Liberal Memaksa untuk Legal

Oleh: dr. Alik Munfaidah, Anggota HELP-S *) tinggal di Beji, Depok

Warga Depok sudah seharusnya waspada sekaligus prihatin. Pasalnya kini Margonda sudah dinyatakan sebagai zona merah gay. Sebagaimana dilansir oleh salah satu media online (Tempo.com) yang memuat pernyataan Hardika selaku koordinator humas LSM Komunitas Aksi Kemanusiaan Indonesia (KAKI) Kota Depok. Hardika menyebut dari sejumlah 222 penderita HIV/AIDS yang ditemukan dalam rentang waktu tiga bulan saja tepatnya dari bulan Januari hingga Maret 2017, terdapat 140 gay alias lelaki suka lelaki (LSL). Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat temuan ini merupakan fenomena gunung es yang menurut UNESCO satu orang yang ditemukan mewakili 100 orang lainnya. Sehingga di lapangan bisa jadi ada sekitar 14.000 orang yang mempunyai orientasi seksual menyimpang  ke sesama lelaki. Tingginya angka penyuka seks sejenis ini menjadi penyumbang terbesar bagi akselerasi epidemi HIV/AIDS di kota Depok. Tak hanya di Depok, menurut data Kemenkes RI dari temuan triwulan pertama tahun 2017 ini didapati bahwa gay merupakan proporsi tertinggi dari penderita HIV/AIDS.

Jika dirunut lebih jauh, gay mempunyai kaitan erat dengan kemunculan HIV/AIDS. Awal mulanya,  penyakit AIDS ditemukan pada seorang gay San Fransisco dan kemudian disebut dengan “Gay Related Immune Deficiency”(GRID).

Istilah GRID pertama kali diterbitkan surat kabar New York Times tahun 1982. Istilah yang digunakan juga di antaranya“gay cancer”dan“gay plague”. Perubahan istilah dari GRID, gay cancer dan gay plague menjadi AIDS dikarenakan istilah awal tersebut tidak mencakup seluruh prevalensi dari penyakit yang baru ditemukan dan ternyata menjangkiti kalangan heteroseksual juga. Terlebih di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebebasan seperti Amerika Serikat(AS), tentu akan sangat riskan mengaitkan gay sebagai sebab berjangkitnya penyakit yang masih dilabeli oleh stigma penyakit mengerikan ataupun penyakit “orang nakal”. Sejak revolusi seksual yang terjadi di tahun 1960an, AS telah menjadi surga seks bebas termasuk seks menyimpang berupa homoseksual yang difasilitasi negara dengan membuat aturan yang sangat longgar terhadap akses alat kontrasepsi di kalangan remaja dan juga membebaskan diri mereka dari belenggu kehidupan keluarga dan ikatan perkawinan. Sehingga tak heran, hilanglah istilah awal tersebut pada tahun 1985 dan resmi disebut AIDS oleh seantero penduduk bumi hingga saat ini.

Perubahan sosial budaya suatu masyarakat sangat mempengaruhi persepsi terhadap LGBT. Dulu, orang yang mempunyai orientasi seksual kepada sesama jenis masih malu-malu dengan kondisinya bahkan cenderung menyembunyikan kelainannya dari orang kebanyakan lantaran masih merasa hal itu sebagai suatu aib. Tak jarang seorang tenaga medis kadang harus jauh mengorek keterangan melalui anamnesa yang panjang sampai akhirnya seorang gay mau mengakui kelainan orientasi seksualnya. Seiring budaya liberal yang permisif menjadikan gay kini seolah suatu identitas tersendiri yang kian lama kian merangsek masuk ke ranah publik untuk mendapatkan tempat di tengah masyarakat. Bahkan kini sudah menjelma menjadi sebuah gerakan sistematis yang dipropagandakan secara masif. Kini perjuangan mereka seolah mulai menampakkan hasil. Sosok-sosok waria makin bertebaran, baik kehidupan nyata seperti di mall, di jalan-jalan, maupun di layar kaca, tak kalah maraknya di dunia maya. Artis pun mulai tanpa rasa segan mempublikasikan bahwa dirinya gay atau sebagai pendukung ide LGBT. Simbol LGBT pun dengan mentereng menghiasi media sosial tanpa ditutup-tutupi.

Disisi lain semakin gencar pula disuarakan untuk bersimpati, merangkul dan memberi dukungan kepada kaum LGBT ini dengan berbagai dalih. Ada yang membela dengan alasan kondisi yang dialami adalah suatu kealamiahan, karena setiap orang memiliki hak untuk mengikuti nalurinya termasuk dalam hal seksualitas, dia tidak boleh dipaksakan untuk mengarahkan orientasi seksualitasnya kepada lawan jenisnya. Alasan lain berusaha menjelaskan dengan pendekatan ilmiah juga sisi psikologis. Sedikit pun tak boleh distigmatisasi dengan label negatif atau dilabeli dengan penyakit mental, apalagi didiskriminasi.

Persepsi sesat ini diperparah oleh pengakuan lembaga internasional dan juga dukungan dari berbagai negara yang telah resmi melegalkan LGBT dan membolehkan pernikahan sejenis. Dalam sidang Dewan HAM PBB di Jenewa 3-5 Mei 2017 lalu terungkap bahwa PBB mendesak perintah Indonesia untuk menerima LGBT. Walaupun tidak secara eksplisit mendukung LGBT, namun pemerintah secara tidak langsung melindungi dan membiarkan LGBT ini dengan pernyataan presiden yang melarang adanya diskriminasi terhadap kaum LGBT. Atau dari absennya negara baik elemen legislatif maupun eksekutif dari kewenangannya untuk membuat undang-undang yang memuat aturan terkait LGBT. Pemerintah pun berdalih tidak ingin mencampuri ranah privat khususnya soal orientasi seksual rakyatnya. Alih-alih putusan MK beberapa waktu lalu yang telah meloloskan kumpul kebo dan LGBT dari jerat pidana. Kaum LGBT pun seolah mendapatkan pengakuan atau bahkan pelegalan atas keberadaannya.

Tentu ini semua bermuara pada tidak adanya standar baku sebuah perilaku dipersepsikan sebagai suatu hal baik atau layak untuk dilakukan bahkan didukung dan dikampanyekan ke tengah masyarakat. Ketika ide kebebasan dalam bingkai demokrasi sudah meracuni, apalagi berlindung dibalik HAM, maka LGBT menjadi boleh asal tidak mengusik kepentingan orang lain. Perilaku maksiat ini tidak pula dianggap suatu penyimpangan dari fitrah karena sejatinya dalam alam demokrasi tidak ada aturan baku. Setiap orang bebas mengekspresikan pikiran dan bebas bertingkah laku. Justru aturan dibuat untuk menjamin kebebasan atas nama HAM. Jangankan berhubungan seks lawan jenis, berhubungan seks dengan binatang (bestialitas) maupun benda mati (fetihisme) pun dipersilahkan. Demikianlah, setiap hal seolah menjadi benar atau sah untuk dilakukan ketika memenuhi logika berpikir segelintir orang, apalagi jika terus disuarakan dan dipropagandakan oleh pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuatan pendanaan, politik maupun media.

Gencarnya propaganda pelaku dan pendukung LGBT ingin menutupi bahaya besar akibat perilaku menyimpang ini. Padahal sudah menjadi fakta bahwa pelaku LGBT adalah salah satu sumber penularan HIV/AIDS. Terbukti, data kementerian kesehatan pada triwulan pertama tahun 2017 yang mendapati penderita HIV/AIDS terbanyak proporsinya adalah kaum gay, yaitu melalui hubungan seks anal alias sodomi. Perilaku LGBT  juga berpotensi menyebabkan ancaman lost generation. Ketika seksualitas hanya sebatas pelampiasan nafsu minus tujuan pelestarian keturunan sebagaimana fitrah yang digariskan oleh Sang Khaliq, maka sudah bisa dipastikan akan mengikis nilai kemanusiaan yang pada gilirannya memutus keberlangsungan keturunan umat manusia. Wanita tak lagi menempati posisi terhormat sebagai seorang ibu. Dengan wacana sewa rahim, tak ubahnya memperlakukan wanita layaknya pabrik bayi. Semua dipandang sebatas sisi materi. Bahkan Menteri Ketahanan dan Keamanan pun memperingatkan bahwa LGBT ini merupakan bagian dari proxy war. Maka sudah selayaknya ada sanksi tegas sekaligus sanksi sosial yang dikenakan demi terpeliharanya masyarakat dari perilaku rusak.

Penyelamatan masyarakat dari kerusakan akhlak dan kampanye sesat mendukung maksiat membutuhkan sistem kuat yang bertumpu pada pedoman yang kokoh, tak bias oleh dinamika perubahan zaman, ataupun rontok oleh propaganda global.

Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini sudah mempunyai standar yang sangat jelas tentang sebuah perbuatan. Standar itu adalah syariat Islam. Standar baku yang tidak bias oleh faktor zaman serta kepentingan sekelompok orang.

Dalam Islam, perilaku homoseksual baik berupa lesbianisme (as sihaaq) maupun gay (liwath, sodomi) keduanya diharamkan dengan dilabeli sebutan faahisy. Faahisy dalam Islam, yaitu suatu perbuatan keji terlaknat yang membahayakan orang lain. Keduanya dinilai sebagai tindak kejahatan yang harus dihukum. Maka sudah selayaknya diterapkan sanksi sosial terhadap pelakunya. Bukan dengan membenci personnya, tapi membenci, menjauhi dan mengingatkan orang ramai untuk tidak melakukan perbuatan keji tersebut. Sembari menerapkan hukum Allah atas mereka sebagai penebus dosa (al jawaabir) dan penjera (al jawazir) untuk yang lain agar tidak berperilaku serupa.

Sanksi bagi gay adalah hukuman mati sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan agar sepasang pelakunya dibunuh. Ijma’ atau kesepakatan para sahabat pun menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku gay adalah hukuman mati bagi pelaku dan obyeknya. Sehingga bisa terputuslah siklus perilaku bejat ini dari peredarannya di tengah masyarakat. Sudah barang tentu sanksi tegas ini hanya bisa diterapkan manakala sistem berdasarkan syariah Islam yang kaffah (menyeluruh).

Walhasil, sistem demokrasi penyubur ide liberal yang melegalkan LGBT sudah jelas bertentangan dengan ketegasan Islam dengan standar halal-haramnya. Dan LGBT pun merupakan racun liberal yang memaksakan diri untuk legal. Sehingga patutkah kita masih tunduk pada demokrasi liberal pendukung LGBT yang menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan?

*)HELP-S (Healthcare Professional for Sharia) merupakan komunitas yang menghimpun tenaga kesehatan baik dalam dan luar negeri yang bervisi-misi mendukung penerapan syariah.