Masa Depan Pemberantasan Korupsi Ditentukan Pendidikan

DepokNews — Depok (18/2) – Tindak pidana korupsi ternyata menyeret orang-orang berpendidikan tinggi, seperti terlihat dari para tersangka dan terpidana korupsi yang pernah diadili. Isu itu mencuat dalam diskusi Center for Strategic Development Studies (CSDS) di gedung MITI Center, Depok. Hadir sebagai pembicara Abdullah Hehamahua (mantan Penasehat KPK RI), Suwidi Tono (Pendiri Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi), dan Mustafa Fakhri (Dosen FH Universitas Indonesia).

            Abdullah menyebut dari sekitar 700 terpidana korupsi di Indonesia, ada 10 orang bergelar profesor dan 100 orang bergelar doktor, selebihnya sarjana. “Hanya sedikit koruptor berpendidikan SMA ke bawah. Sistem pendidikan kita belum membentuk karakter jujur dan amanah, sehingga tingginya pengetahuan dan keterampilan tidak sejalan dengan perilaku sehari-hari,” papar Abdullah.

            Untuk itu, Abdullah mengusulkan pendidikan antikorupsi diterapkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tidak hanya bersifat teori, tetapi pembiasaan nilai dan sikap positif. Disamping itu, hukuman bagi terpidana korupsi bukan dipenjara karena dalam penjara justru banyak fasilitas. “Tetapi, pemiskinan dengan menyita harta koruptor sesuai kerugian atas keuangan dan perekonomian negara. Selain itu, kerja sosial seperti membersihkan jalan atau sungai dalam jangka waktu tertentu. Jika perlu diisolasi, para koruptor ditempatkan di sebuah pulau terpencil dan diawasi ketat,” tegas Abdullah.

            Wakil Ketua CSDS, As Natio Lasman sepakat, bahwa memberantas korupsi harus dimulai dari diri sendiri dengan modal kejujuran. Itulah yang hilang di Indonesia. “Dulu, di masa Kerajaan Kalingga (674 M), ada Ratu Shima yang adil dan tegas, menerapkan hukum potong tangan bagi mereka yang terbukti mencuri.Kehidupan rakyat relatif sejahtera saat itu dan kriminalitas minim,” As Natio menjelaskan.

            Pada masa modern, banyak negara menerapkan nilai kejujuran dan keterbukaan. Contohnya di Jerman, gelar akademik disebut “Verleihung”, artinyapenghargaan atau pinjaman. “Jika pemilik gelar itu melakukan perbuatan tercela, misalnya korupsi, maka gelar akan dicabut kembali dan orang tersebut tidak diakui sebagai alumni perguruan tinggi tersebut. Hal ini perlu ditiru di Indonesia,” usul As Natio.

            Aktivis GAK Lintas PT, Suwidi Tono, menambahkan kesadaran dan partisipasi masyarakat juga harus ditingkatkan dalam pengawasan dan pencegahan korupsi. “Masyarakat perlu diingatkan terus-menerus akan dampak korupsi yang menyusahkan hidup mereka. Ketimpangan akan meluas, pengangguran merebak dan eksploitasi sumberdaya alam merusak lingkungan. Itu sebagian dampak korupsi, disamping pelayanan dan infrastruktur publik yang buruk,” Suwidi menguraikan. Sebagai wartawan senior, ia melihat fakta lapangan di berbagai daerah akibat pejabatnya korupsi.

            Peneliti CSDS sekaligus moderator diskusi, Sapto Waluyo, mengamati penanaman nilai-nilai antikorupsi harus dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat luas. Generasi muda perlu melihat teladan pemimpin yang hidup bersih dari korupsi, semisal Mohammad Hatta atau M. Natsir. “Dengan teladan itu, mereka membentuk identitas sosial baru sebagai generasi antikorupsi menghadapi korupsi sistemik dan endemik saat ini. Mereka akan bertahan jika melakukan kolaborasi sesama aktivis antikorupsi,” simpul Sapto yang sedang melakukan riset tentang transformasi aktor antikorupsi di kalangan masyarakat sipil. Masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia sangat bergantung pada lahirnya generasi baru.