Pembuangan Limbah Tailing Nikel, PKS: Pemerintah Harus Hati-Hati

Jakarta (7/9) Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, ingatkan Pemerintah untuk berhati-hati memberikan izin pembuangan tailing dari industri pemurnian nikel ke laut. Tailing adalah material sisa proses pengolahan batuan yang telah diambil kandungan logamnya.

Menurut Mulyanto sebelum mengeluarkan izin, Pemerintah harus mengkaji benar dampak degradasi lingkungan akibat pembuangan jutaan ton sisa tambang di peraian laut sekitarnya.

“Pemerintah dan pengusaha tidak boleh mengambil mudahnya saja atau sekedar mengejar keuntungan jangka pendek dengan membuang tailing dalam jumlah sangat besar ke laut.

Laut itu ruang hidup masyarakat luas. Jangan sampai masyarakat dirugikan akibat keputusan ini. Jadi sebelum memutuskan memberi izin, Pemerintah harus mengkaji secara cermat dan seksama,” ujar Mulyanto.

Sebelumnya Pemerintah menyampaikan rencana pembuangan tailing dari kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara ke laut dalam atau Deep Sea Tailing Placement (DSTP).

Berdasarkan data yang ada, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) khususnya mineral Nikel tersebar di Kabupaten Morowali sebanyak 40 IUP, Morowali Utara sebanyak 30 IUP dan Kabupaten Banggai sebanyak 21 IUP.

Kemudian, ada sekitar 20 smelter yang tersebar di delapan kawasan se-Sulteng antara lain PT Indonesia Guang Ching Nickel And Stainless Steel Industry; PT Tsingshan Nickel Iron Indonesia; PT Tsingshan Billiton Stailess Steel; PT Indonesia Ruipu Nickel Chrome Alloy; PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel; dll.

Menurut Mulyanto, perlu dihitung secara hati-hati, apakah pembuangan sisa tambang ke peraian laut tersebut memang benar-benar aman, baik secara ekonomi maupun kesehatan lingkungan masyarakat.

Jangan sampai, akibat pembuangan itu perairan laut yang terdampak tidak dapat lagi didayagunakan oleh masyarakat baik untuk perikanan tangkap, wisata bahari, budidaya rumput laut dan kegiatan ekonomi kelautan lainnya. Termasuk juga dampak bagi kesehatan penduduk yang berada di pesisir.

“Kita punya pengalaman yang mirip yakni kasus pembuangan tailing tambang Newmont di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara.

Kasus ini sempat heboh, karena masyarakat merasa mengalami dampak negatif dari pembuangan tailing tersebut.

Pada tahun 2004 Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup memutuskan, bahwa PT. Newmont terbukti mencemari teluk Buyat dan mengusulkan agar perusahaan tersebut melakukan pemantauan hingga 30 tahun ke depan,” imbuh Mulyanto.

Mantan Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi ini mengatakan berdasarkan literatur lingkungan tambang, metode pembuangan limbang tambah ke laut dalam sudah ditinggalkan.

Dari 2500-an tambang ukuran industri yang beroperasi di dunia kurang dari 0.7% saja yang masih menggunakan metode usang ini. Selebihnya mereka mengelola tambang secara terlokalisasi di daratan sesuai dengan prinsip pengelolaan lingkungan.

“Mengingat dampaknya terhadap lingkungan akan sangat besar sebaiknya Pemerintah perlu mengkaji secara komprehensif. Jangan hanya mengedepankan kepentingan ekonomi, tapi perlu dipikirkan pula kepentingan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Jangan sampai kasus Teluk Buyat terulang kembali,” tandas Mulyanto.