Priapun Bisa Jadi Korban KDRT

DepokNews- Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya terjadi pada kaum perempuan saja. Banyak pria atau suami juga mengalaminya, meski demikian kasus ini memang jarang disorot. Polresta Depok mencatat 2 kasus KDRT terjadi sepanjang tahun ini.
Kanit PPA Polresta Depok Iptu Jajang Rahmat mengatakan kasus KDRT yang menimpa seorang suami umumnya diawali dengan kasus kekerasan verbal. Untuk kasus KDRT yang menimpa dua orang korban di wilayah hukumnya, ke dua korban mengalami luka cakar di beberapa bagian tubuhnya.
“Kasus KDRT dengan korban suami hanya ada dua kasus, dan ke dua korban dicakar oleh istrinya,” ujarnya.
Ia menambahkan kasus KDRT yang menimpa suami masih kalah jumlah dengan kasus KDRT dengan korban anak dan istri. Tiap tahunnya tidak melebihi lima kasus.
“Kasus dengan korban suami ini dalam setahun bisa dihitung jari. Kalau korbannya perempuan dan anak masih cukup banyak, anak dan perempuan masih rentan menjadi korban, ” paparnya.
Sementara itu Pemerhati Keluarga yang juga anggota Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia Reza Indragiri mengatakan dalam  banyak kasus,  terdakwa perempuan yang melakukan KDRT kepada suami bahkan hingga menyebabkan kematian menggunakan istilah battered woman atau wife syndrome sebagai pembelaan diri.
Para terdakwa perempuan tersebut menyebut telah mengalami penghinaan, penistaan, dan penganiayaan yang sedemikian buruknya dari pasangan.
“Dalam kondisi sedemikian terpuruk, tiada lain yang terpikir oleh para perempuan  membela diri dan keluar dari situasi pedih itu. Caranya  dengan menghabisi pasangannya,” jelas Reza.
Dengan alasan itu, hakim bisa saja menjatuhkan vonis tidak bersalah kepada terdakwa.  “Jika teryakinkan bahwa terdakwa betul menderita battered woman/wife syndrome terdakwa bisa terbebas. Itu terdakwa perempuan. Tapi bagaimana jika yang teraniaya sedemikian rupa ialah lelaki?,” ucap dia.
Dirinya kerap tidak setuju, jika lelaki dikatakan  mayoritas pelaku KDRT. ” Bisa jadi banyak suami yang menjadi korban KDRT. Tetapi mereka tidak melapor karen aib. Melapor malah membuka resiko mengalami secondary victimization,” paparnya.
Pertanyaan selanjutnya kata Reza, bisakah terdakwa lelaki yang menghabisi pasangannya menggunakan istilah “battered man atau husband syndrome  sebagai pembelaan diri di persidangan?.
 “Semestinya bisa saja. Toh hukum tidak diskriminatif. Para lelaki juga bisa terzalimi, ” pungkasnya.(mia)