Sejarah Kampung Lio Depok

DepokNews — Di mata pakar sejarah, keberadaan Kampung Lio sebagai lokasi industri gerabah turut disinggung Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam dalam bukunya Berkembang dalam Bayang Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an.

Tri menjelaskan, Lio memang dihuni orang-orang kampung dengan latar belakang etnik Sunda, Jawa dan Betawi. Orang-orang Kampung Lio sejak dulu  dikenal  bekerja di industri gerabah.
Sementara itu, Pengurus Bidang Sejarah dan Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Ferdy Jonathans (63) punya kisah lain yang melengkapi sejarah Kampung Lio. Kemampuan warga mengolah tanah menjadi kerajinan, menurut Ferdy, diajarkan oleh Cornelis Chastelein, pemilik tanah Depok sekaligus mantan tenaga pembukuan VOC.
“Di Situ Rawa Besar dibuatlah pabrik bata, pemiliknya kaum Depok lama,” kata Ferdy. Kaum Depok lama adalah eks budak Chastelein yang dimerdekakan tuannya pada 1714.
Aktivitas kerajinan itu dimulai pada 1800-an. Sedangkan pembuatan pabrik pada 1900-an. Kaum Depok lama pun mempekerjakan warga kampung sekitar. Produk – produk yang dihasilkan berupa genteng, bata, ubin, tembikar.
Situ Rawa Besar dipilih karena kualitas tanah liatnya yang bagus. Ferdy menambahkan, beberapa warga kaum Depok lama yang mengelola usaha kerajinan tanah itu adalah JM Jonathans, Sam Loen dan Edi Laurens. Namun, perkembangan produksi gerabah, bata merah Kampung Lio meredup pada 1960-an.

Selain munculnya berbagai bahan bangunan baru yang bukan bersumber dari tanah liat, keberadaan lio-lio pun tergusur pemukiman warga. “Warga main bangun saja,” ujar Ferdy. Gubuk – gubuk Lio pun lenyap dan hanya menyisakan sebuah nama kampung. Generasi Kampung Lio masa kini pun jarang mewarisi  keterampilan leluhurnya mengolah tanah liat.

Dahulu, kata “LIO” dentik dengan tempat pembakaran bata merah atau pembuatan gerabah. Di kawasan Bandung raya, lokasi bernama lio masih bisa ditemukan, terutama di wilayah pinggirannya. Nama tersebut tetap lekat dengan aktivitas para perajin tanah liat. Ternyata, lio juga menjadi nama tempat di Kota Depok. Kampung Lio, begitu masyarakat Depok mengenalnya. Kampung tersebut berada di Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas. Ada empat RW yang masuk wilayahnya.
Lokasi kampung ini diapit Kantor Pemerintah Kota Depok dan Situ Rawa Besar. Nama Lio mengundang kepenasaran Pikiran Rakyat. Apakah penamaan tersebut terkait aktivitas kerajinan tanah liat? Pasalnya, tak terlihat jejak bangunan lio ataupun kegiatan warga mengolah tanah liat di tempat tersebut. ‎
Kampung Lio telah menjadi pemukiman padat yang dihuni ribuan warga. Gang-gang sempit kampung menjelma labirin yang dinaungi tembok bangunan. Rasa penasaran tersebut terjawab saat Pikiran Rakyat bertemu Ketua RW 13 Rohili.
Rohili merupakan warga Betawi asli yang lahir dan besar di Kampung Lio. Dia mengonfirmasi, kampung itu merupakan sentra kerajinan tanah liat Depok di masa lalu. Mulanya, tutur Rohili, kemampuan mengolah tanah menjadi kerajinan berasal dari para pendatang‎. “Awalnya dulu dari engkong (kakek) saya, bahwa waktu itu ada orang luar datang ke Depok sini,” ujarnya.
Dalam tradisi kampung di masa lalu, para pendatang yang memiliki urusan di Depok diperbolehkan tinggal di rumah warga. Mereka bahkan dijamu makan dan minum oleh warga. Rasa terima kasih membuat pendatang mengajarkan keterampilan mengolah tanah liat kepada warga.
Asal para pendatang itu tak jelas benar. Rohili menduga mereka masih warga pribumi yang bermukim di wilayah yang berdekatan dengan Depok seperti Bekasi.
Kemampuan membuat kerajinan menyebar kepada warga lainnya. Warga yang hanya memanfaatkan lahannnya guna bertani akhirnya beralih membuat gerabah, bata merah, sampai genting. Dari sana, tutur Rohili, munculah Lio – Lio sebagai tempat produksi kerajinan tanah liat. Tempat produksi sangat sederhana hanya berupa gubuk berdinding bilik yang berdiri di dekat Situ Rawa Besar.
Rohili kecil masih sempat menyaksikan aktivitas sang kakek membuat kerajinan tanah. Air situ dialirkan ke kobakan atau empang para perajin untuk keperluan tersebut. Produk-produk tanah liat dipasarkan di wilayah Depok hingga Jakarta.
“Dulu ngangkutnya pakai roda (gerobak) sapi,” ucapnya.
Untuk pemasaran lokal, kerajinan Kampung Lio diminati juga orang-orang Belanda di Depok. Kerajinan warga digunakan sebagai bahan bangunan mereka karena kualitasnya yang kuat.
“Kalau genting aslinya (produksi Kampung Lio) jatuh, tidak pecah,” tutur Rohili.
Produk kerajinan-kerajinan itu kuat dan tahan lama karena melewati proses pembakaran. “Pembakaran sampai merah,” ucapnya.