Takut Boleh, Berani Silakan,  Tetapi Jangan Lebay!

Oleh : Hamdi, S.Sos

           Tiada hari tanpa berita Covid-19. Begitulah realitas kehidupan masyarakat setahun belakangan ini. Covid-19 seolah-olah mengungkung kita dari segala arah : depan, belakang, kiri, kanan, atas, dan bawah.  Kita menjadi terpenjara gara-gara virus asal Wuhan ini. Mau keluar rumah takut tertular, tetap di rumah saja lama-lama bosan juga. Akhirnya terpaksa bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah pun di rumah pula. Covid-19 berhasil mengubah kebiasaan kita seratus delapan puluh derajat.

            Setiap hari kita menerima berita ada saudara, tetangga atau teman yang terpapar dan meninggal karena Covid-19. Berita tersebut menyebar cepat lewat Whatsapp, Facebook, dan sebagainya. Jika kita mendengar ada saudara, tetangga atau teman yang meninggal, alam bawah sadar kita (seolah-olah) berucap : “jangan-jangan meninggalnya karena Covid.” Semua penyakit (bergejala ringan hingga berat) atau kematian seseorang seringkali dikaitkan dengan Covid-19. Istilah populernya “dicovidkan.”

            Gegara Covid-19 masyarakat pun terbelah ke dalam dua kubu antara yang yang percaya Covid itu murni penyakit dan yang percaya Covid itu rekayasa sekelompok manusia yang punya kepentingan tertentu. Beragam spekulasi beredar sejak awal pandemi. Informasi yang keliru, bahkan hoaks, pun bertebaran.

          Teori konspirasi pun bermunculan, ditambah lagi dengan menguatnya ketegangan hubungan diplomatik antara China dan sejumlah negara, salah satunya Amerika Serikat. Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana virus Corona  itu pada akhirnya bisa masuk ke tubuh manusia. Dugaan awalnya, virus itu berasal dari kelelawar, lalu menulari manusia. Tetapi kemudian para ilmuwan menduga virus itu berpindah dari mamalia bersayap ke spesies lain sebelum akhirnya sampai ke manusia.

          Selain teori hewan sebagai penyebar virus, ada juga kecurigaan virus itu sebenarnya hasil rekayasa buatan manusia di laboratorium biologi rahasia di Wuhan yang kemudian bocor. Dugaan atau tuduhan itu menyebar cepat melalui daring.

          Ada juga sebagian orang yang menolak kehadiran Covid-19 karena alasan ideologis beraroma konspirasi. Menurut mereka pandemi Covid-19 adalah rekayasa atau skenario “musuh” Islam untuk menjauhkan umat dari agamanya, seperti penutupan masjid dan musholla. Meskipun boleh sholat di masjid mengapa  harus menjaga jarak antarjamaah, padahal perintah agama adalah jamaah harus merapatkan shaf. Di sisi lain, kenapa pasar dan mal kok tetap dibuka? Begitu kira-kira “ketidakmengertian” mereka atas kebijakan Pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19.

          Pandemi Covid-19 berhasil menghipnotis dan  membius psikologi manusia menjadi penakut serta paranoid. Akibat pandemi yang belum diketahui kapan berakhir ini bisa menimbulkan masalah kesehatan mental  yang berkepanjangan, bahkan lebih lama dari pandemi itu sendiri. Di Inggris, kelompok spesialis kesehatan masyarakat memperingatkan dalam British Medical Journal bahwa dampak pandemi terhadap kesehatan mental kemungkinan akan bertahan lebih lama daripada dampak kesehatan fisik.

             Gejala gangguan kesehatan mental yang muncul antara lain cemas yang berlebihan, merasa tak nyaman ketika melihat gambar sel virus Corona, waspada dengan kebersihan alat makan, stres terlalu lama dikarantina, dan  ketakutan saat naik transportasi umum (berkerumun). Kehilangan pekerjaan dan kesulitan finansial juga dikaitkan dengan penurunan kesehatan mental yang berkepanjangan.

          Munculnya virus varian  Delta yang lebih berbahaya daripada virus Corona membuat kecemasan dan ketakutan akan tertular semakin meningkat. Apalagi berita jumlah kasus positif Covid-19 yang meningkat cukup signifikan semakin “meneror” masyarakat dari hari ke hari. Anjuran untuk stay at home bagai makan buah sim…