Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)
DepokNews — Sepak terjang Gubernur DKI Jakarta (Anies Baswedan) dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno menjadi sorotan publik nasional. Berbeda dengan kepala daerah lain, seperti Gubernur Provinsi Banten atau Nanggroe Aceh Darussalam yang bisa bekerja dengan tenang pasca pemilihan kepala daerah, Anies-Sandi harus menghadapi kritik, caci-maki dan demonstrasi sejak hari pertama pelantikan (16 Oktober 2017).
Tapi, buat Anies, kritik adalah wajar dalam sistem demokrasi. “Rasulullah (Saw) saja yang uswatun hasanah, yang sempurna, mandi fitnah. Jadi, enggak usah kaget,” ujar Anies dalam dialog bersama K.H. Abdullah Gymnastiar di Masjid Istiqlal (14/1/2018). “Kalau mau masuk ke wilayah publik, maka jangan berkeluh kesah soal dimarahi, dikritik. Karena itu, sepertinya bagian sunnatullah. Yang namanya pemimpin, alamat kotak posnya adalah kritik,” Anies menegaskan.
Memasuki masa 100 hari masa kepemimpinannya, kebijakan Anies-Sandi kembali menyedot perhatian dan menjadi trending topic. Anies menyatakan akan mengizinkan becak beroperasi secara terbatas di wilayah Jakarta. Gagasan itu mengundang pro-kontra dari berbagai pihak. Tetapi setelah diteliti ternyata kebijakan Anies justru sejalan dengan kontrak politik yang pernah ditanda-tangani Joko Widodo pada tahun 2012 (saat itu masih berposisi calon Gubernur DKI Jakarta).
Kontrak politik diteken Jokowi pada 15 September 2012 di hadapan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta, Serikat Becak Jakarta (Sebaja), Komunitas Juang Perempuan (KJP), dan Urban Poor Consortium (UPC). Judulnya menarik: “Jakarta Baru: Pro-rakyat miskin, berbasis pelayanan, dan partisipasi warga”. Ada tiga poin penting yang disepakati, yakni pelibatan warga dalam penyusunan tata ruang wilayah dan perencanaan kota, pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota, serta keterbukaan dan penyebarluasan informasi kepada warga kota,
Poin kedua tentang pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota meliputi legalisasi kampung illegal, penataan pemukiman kumuh, dan penataan ekonomi informal (yakni mencakup pedagang kaki lima, becak, nelayan tradisional, pekerja rumah tangga, asongan, pedagang kecil, dan pasar tradisional). Dari kontrak itu jelas, bahwa hak tukang becak untuk mencari nafkah di Ibukota Jakarta akan dilindungi dan dipenuhi.
Kebijakan Anies yang terkesan membiarkan ‘anarki baru’ merupakan ikhtiar untuk melunasi janji politik dengan warga 15 kampung, perkumpulan pedagang kaki lima, dan serikat becak Jakarta. Kontrak politik Anies-Sandi dengan JRMK dan UPClebih sederhana, diteken 8 April 2017, berisi lima kesepakatan: perubahan tata ruang perkampungan, legalisasi lahan perkampungan, program hunian terjangkau untuk rakyat miskin, perizinan usaha bagi PK, dan bantuan alih profesi bagi tukang becak. Anies berupaya melunasi janji dalam kerangka kebijakan pemerintah daerah. Sebuah inovasi kebijakan publik (reinventing public policy) yang menarik dikaji.
Pertanyaan mengelitik, apakah seorang politisi wajib memenuhi janji yang diucapkan atau disetujui dalam rangka kampanye politik (misal, pemilihan kepala daerah)? Apakah konsekuensi yang akan dihadapi politisi tersebut, apabila mengingkari janjinya setelah memenangkan kompetisi politik? Apakah para pihak atau kelompok masyarakat dapat menuntut politisi tersebut setelah terbukti mengingkari janji kampanyenya?
Pertanyaan itu tak mudah dijawab, karena tak ada satupun undang-undang yang mengatur janji politik dan bagaimana konsekuensinya. Yang ada, hanya fatsoen (etika politk) bahwa seorang politisi harus memegang teguh dan memenuhi janjinya agar mendapat kepercayaan masyarakat. Jika fatsoen itu dilanggar, belum tentu bisa dituntut secara hukum, meskipun kontrak politik diabadikan dalam kertas bermaterai resmi.
Kontrak politik bermula dari tradisi demokrasi yang diajarkan Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya “Du Contrat Social ou Principes du Droit Politique” (1762), bahwa prinsip dasar politik berawal dari kontrak sosial. Setiap warga yang bebas mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian, menyerahkan sebagian kebebasannya untuk mendapat perlindungan dan pelayanan dari kelompok yang disebut pemerintah. Tentu saja, pemerintah yang mendapat kepercayaan masyarakat itu harus melaksanakan kewajiban yang juga ditetapkan dalam perjanjian itu. Di masa modern, kontrak sosial diwujudkan dalam bentuk konstitusi dan undang-undang atau peraturan daerah.
Pandangan lain bersumber dari Thomas Hobbes yang berasumsi, bahwa kondisi normal (state of nature) manusia adalah konflik yang penuh persaingan brutal. Satu-satunya bentuk pemerintahan berdaulat adalah dengan merealisasikan otoritas penguasa yang sifatnya tidak terbatas (monarki absolut). Hobbes menguraikan pandangannya yang terdengar ekstrem saat ini, dalam buku “Leviathan” (1651). Kekuasaan yang tertib dan kuat adalah kekuasaan yang berada di bawah satu orang atau penguasa yang diberikan kedaulatan penuh oleh masyarakatnya. Ketika masyarakat masuk dalam kontrak sosial, maka kekuasaan politik yang bersangkutan berakhir dan hak sipilnya tercabut.
Berbeda dengan Hobbes, John Locke berasumsi manusia memiliki sifat alamiah yang harmonis, teratur, serta produktif. Locke sampai pada pandangan ini tidak terlepas dari pandangan Kristen dan kondisi sosial yang dialaminya saat itu. Semua manusia pada dasarnya setara, karena merupakan bentuk realisasi dari keberadaan Tuhan. Setiap orang tidak hanya harus memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, namun harus juga memenuhi kebutuhan seluruh peradaban manusia. Tidak ada orang yang memiliki yurisdiksi atas tindakan manusia lain karena masing-masing telah memiliki hak yang sama yaitu untuk hidup (life), bebas (liberty), dan memiliki (property). Agar manusia keluar dari kondisi yang tidak aman, maka menciptakan kondisi artifisial dengan membentuk kontrak sosial. Buku Locke, “Two Treatises of Government” (1689) menempatkannya sebagai bapak liberalisme modern, karena menghormati hak-hak individu.
Berdasarkan logika Rousseau, kontrak politik mestinya bersifat mengikat (binding) bagi para pihak yang terlibat. Agar ikatan itu bersifat formal, maka isi kontrak politik harus diperjuangkan masuk dalam dokumen kebijakan, misalnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD) yang berjangka lima tahun dan akan dirinci dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya. Gubernur Anies memperlihatkan contoh positif, berupaya merealisasikan janji politiknya dan bahkan ikut menunaikan janji politik yang pernah dilontarkan politisi sebelumnya. Dari situ bisa ditakar integritas seorang pemimpin dalam mengelola kepercayaan masyarakat: siapa lebih terpercaya? Publik yang merasa tidak puas atau kecewa berat, dapat menghukum politisi dan penguasa melalui momen pilkada atau pemilu nasional.
Agar kebijakannya tidak bersifat pencitraan, Anies berusaha mengakomodasi aspirasi rakyat dalam RPJMD (melalui Musrenbang) dan mencari alokasi anggaran/program dalam APBD, serta membuka ruang kebijakan baru (Peraturan Gubernur) yang sejalan dengan visi-misi Pemprov. Sebagai catatan, visi-misi calon kepala daerah dicatat resmi oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan setelah memenangkan pilkada dibahas resmi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jadi, tak ada yang perlu ditutup-tutupi atau berlangsung kesepakatan di bawah meja. Masyarakat bisa mengawasi.
Sayangnya, media massa lebih tertarik menguliti 23 janji Anies-Sandi (DetikNews, 10/11/2016). Dari sederet janji itu, kita melihat ada beberapa yang menonjol: menghentikan reklamasi teluk Jakarta dengan mencabut rancangan Perda reklamasi dari DPRD dan mengirim surat pembatalan HGB pulau reklamasi ke Kepala BPN, membangun pemerintahan yang bersih dengan membentuk tim pencegahan korupsi dipimpin mantan Komisioner KPK (Bambang Widjojanto), membangun sistem transportasi terpadu dengan peluncuran OK OTrip, merevitalisasi layanan dokter komunitas dan fasilitas kesehatan primer dengan peluncuran OK OCare, meningkatkan bantuan sosial kepada lembaga pendidikan keagamaan/sosial melalui sistem E-HibahBansos, mempermudah akses kepemilikan rumah kepada masyarakat berpenghasilan rendah melalui pembangunan rusun DP nol rupiah, dll.
Tim Pakar Anies-Sandi di masa pilkada pernah merancang tiga klaster program yang akan dilakukan Anies-Sandi pada 100 hari pertama kepemimpinannya: 1) Rekonsiliasi berbagai golongan warga, 2) Fokus 3 program utama (pembukaan lapangan kerja di 44 pusat kewirausahaan, meningkatkan kualitas pendidikan dengan peluncuran KJP Plus, dan mengendalikan biaya hidup (dengan peluncuran kartu subsidi pangan, transportasi terpadu, pelayanan kesehatan terpadu, serta rumah hunian terjangkau). Penyediaan hunian terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah, lebih dikenal dengan rumah DP Nol Rupiah, juga menyulut kontraversi, sampai ada pengamat yang bertaruh potong kuping, jika janji itu dapat direalisasikan. Faktanya, Anies melakukan peletakan batu pertama rumah susun DP Nol Rupiah di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur dan akan menyusul lokasi berikutnya di kawasan Pusat Industri Kecil (PIK) Penggilingan, Cakung. Bukan hanya pembangunan fisik, Anies juga sudah mengantongi rekomendasi Bank Indonesia tentang skema pembayara cicilan dengan DP Nol Rupiah dan akan membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) untuk mengurusnya.
Yang masih jarang disorot ialah keseriusan Anies untuk membangun rekonsialisasi dengan berbagai kelompok yang berbeda kepentingan dan aspirasi sosial-politik. Anies-Sandi ingin menjadi pengayom bagi semua warga, bukan hanya pendukungnya. Publik harus mencatat, kunjungan perdana Anies setelah pelantikan ke rumah ibadah adalah ke gereja dan pura. Anies disambut antusias oleh warga Kristen dan Hindu yang menyampaikan berbagai uneg-uneg. Tudingan politisasi isu SARA dan berkembangnya suasana intoleransi pasca pilkada buyar pada hari-hari pertama. Hanya kelompok kecil yang keras kepala dan tidak bisa move on. Bahkan, Anies membuka lapangan Monas untuk kegiatan sosial-keagamaan, olahraga serta rekreasi publik, sehingga pagar kawat Monas tak lagi diperlukan.
Terobosan penting dan strategis yang dilakukan Anies, memberi ruang masyarakat miskin dan marjinal ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Mereka bukan pendatang haram atau warga kelas dua di tengah gemerlap pembangunan Ibukota. Mereka adalah warga negara sah dan memiliki hak yang sama untuk membangun Indonesia. Karena itu, Balaikota dijadikan wahana rembug warga dan aspirasi wong cilik ditampung dalam Community Action Plan (CAP). Sebuah eksperimen kebijakan yang berdampak nasional dan global, bila diimplementasikan dan dikawal secara konsisten. Mengembalikan spirit kepahlawanan M. Husni Thamrin dan keberpihakan Bang Ali Sadikin yang pernah mengembangkan Kampung Improvement Program (KIP).
Sikap kritis terhadap kebijakan Anies-Sandi perlu dijaga dengan konstruktif, tidak asal bunyi dan asal beda. Tantangan nyata yang dihadapi Anies-Sandi saat ini, antara lain pengelolaan aset Pemprov dan BUMD yang masih semerawut sebagai warisan masa lalu. Kerja ekstra keras, cermat dan sikap tegas diperlukan agar tidak ada hak publik terlantar atau digelapkan oknum tertentu. Itu merupakan tantangan klasik paling beresiko di Republik ini, sebagaimana kerepotan kantor Sekretariat Negara dan Kementerian BUMN mengelola aset nasional.
Seratus hari Anies-Sandi memang memancing kontraversi, bahkan sejak malam pertama Anies membacakan pidato yang memperlihatkan keberpihakannya pada pribumi marjinal. Tapi, kita patut bersyukur karena tidak perlu takut lagi diteriaki ‘maling’ atau ‘ta*k’ oleh penguasa yang merasa lebih hebat dari semua orang! Di tengah guncangan sosial-politik-ekonomi, warga Jakarta juga berhak berbahagia.