20 Tahun Reformasi: Quo Vadis Gerakan Antikorupsi?

Oleh: Sapto Waluyo (Direktur Center for Indonesian Reform)

 Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional, lalu tanggal 21 Mei diperingati sebagai Hari Reformasi, yang ditandai lengsernya Presiden Soeharto dari singgasana kekuasaan Orde Baru. Gerakan Reformasi 1998 yang dipelopori mahasiswa dan kelompok masyarakat kritis tak bisa dipisahkan dari Gerakan Antikorupsi, karena salah satu tuntutan mahasiswa dan masyarakat sipil saat itu adalah menghapus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sampai ke akar-akarnya.

Penulis pada tahun 1998 telah bertugas sebagai wartawan di sebuah media nasional (Majalah Gatra), sehingga merekam langsung suasana ketika runtuhnya rezim Orba, sekaligus mewawancarai tokoh-tokoh mahasiswa yang kemudian menjadi figur penting di kancah nasional. Enam Visi Reformasi 1998 dilaungkan secara beragam, tapi sekurang-kurangnya mencakup: 1) Penegakan supremasi hukum; 2) Pemberantasan KKN, dimulai dengan pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; 3) Amandemen konstitusi (UUD 1945); 4) Pencabutan Dwifungsi ABRI; 5) Pemberian Otonomi Daerah seluas-luasnya; dan 6) Penerapan budaya demokrasi yang egaliter.

Sejak awal, visi reformasi itu dipandang terlalu ideal, sehingga sulit diwujudkan, apalagi jika hanya mengandalkan gerakan mahasiswa. Misalnya, implementasi visi kedua ditandai dengan proses pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto pada 31 Agustus 2000 dengan fokus gugatan penyalahgunaan dana publik dari tujuh yayasan yang pernah dipimpinnya (Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmasi), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.

Seperti diduga banyak pengamat sebelumnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh akhirnya mengeluarkan SKP3 (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara) atas perkara Soeharto pada 12 Mei 2006. Namun, 12 Juni 2006, PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan beberapa organisasi antikorupsi untuk membatalkan SKP3, sehingga tuntutan terhadap kasus Soeharto dibuka kembali. Pengadilan tidak berlanjut karena Soeharto sakit dan akhirnya meninggal dunia (27 Januari 2008).

Salah satu kelemahan peradilan Soeharto adalah kasusnya yang lemah karena menyangkut yayasan social yang pernah dibentuknya. Padahal, ada bukti yang lebih kuat yaitu Keputusan-keputusan Presiden yang menyimpang yang dibuat Soeharto selama berkuasa, sebagaimana diteliti oleh Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Kebetulan, penulis pernah menjadi Sekretaris Eksekutif MTI yang didirikan Marie Muhammad dan dipimpin Sudirman Said. Jika Kepres yang menyimpang dijadikan sebagai dasar gugatan, maka pemberantasan korupsi era Soeharto akan lebih fundamental.

Proses peradilan juga dilakukan terhadap anak dan krooni Soeharto, antara lain Tommy Soeharto pada 26 Juli 2002 dituduh mendalangi pembunuhan terhadap Ketua Muda MA (Syarifuddin Kartasasmita) dan dinyatakan bersalah serta divonis 15 tahun penjara. Dalam Peninjauan Kembali, hukuman Tommy dikurangi menjadi 10 tahun, lalu tahun 2006 dinyatakan bebas bersyarat. Pengadilan juga dilakukan terhadap Bob Hasan (alias The Kian Seng) atas dugaan penyalahgunaan proyek Departemen Kehutanan hingga divonis 2 tahun penjara pada 2 Februari 2003. Dalam kasus lain, BH didakwa menyelewengkan dana reboisasi, sehingga harus mendekam di LP Nusakambagan. Penegakan hukum yang parsial dan incremental itu membuat gerakan reformasi kehilangan elan vitalnya. Sejumlah tokoh yang menyebut diri “reformis” mulai bernegosiasi dan mencari kompromi dengan kekuatan lama (status quo).

Presiden B.J. Habibie hanya memerintah dalam waktu singkat (21 Mei 1998-20 Oktober 1999), namun sejumlah milestones telah dipancangkan. Antara lain, penetapan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, sehingga terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Fungsi KPKPN bersifat preventif, namun cukup mengangkat harapan public, meski akhirnya dilebur dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada masa Habibie pula ditetapkan UU Nomor 31 Tahun 1999 (diperbarui dalam UU Nomor 20 Tahun 2001) yang menyatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Karena itu, penangannya harus dilakukan secara luar biasa melalui Komisi Independen dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Inilah tonggak reformasi yang terpenting. Jika ada tokoh politik yang menyebut diri reformasi, lalu berteriak ingin membubarkan KPK, maka dia sudah mengkhianati salah satu cita-cita terpenting reformasi. KPK mungkin banyak kelemahan, tapi perannya di masa reformasi cukup signifikan dan kerena itu perlu revitalisasi, bukan dibubarkan.

Di awal transisi itulah muncul kasus Jaksa Agung Andi M. Ghalib yang diduga menerima suap dari dua penyumbang untuk kegiatan olahraga melalui rekening bersama Andi Ghalib sebagai Ketua Umum dan Thahir sebagai Bendahara Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI). Pada masa ini pula kasus penyelewengan dana cessie Bank Bali mencuat, dengan pelaku Djoko S. Tjandra (yang menjadi buron dan akhirnya pindah kewarganegaraan Papua New Guinea) dan Setya Novanto. Penegakan hukum menjadi kendala karena aparat kepolisian, kejaksaan, dan peradilan telah terjebak dalam gurita korupsi.

Pemerintahan Abdurrahman Wahid mencoba cari terobosan dengan membentuk badan adhoc, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), diinisiasi Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo Soetjipto. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi, TGPTPK akhirnya dibubarkan (2001) melalui suatu judicial review ke Mahkamah Agung yang melibatkan pengacara koruptor dan Hakim Agung yang sedang dijadikan target pemeriksaan. Inisiatif Presiden Gus Dur terbentur dengan masalah personal ketika muncul kasus Buloggate II dan Bruneigate yang akhirnya berujung pada Sidang Istimewa MPR RI untuk melengserkannya.

Pemerintahan Megawati Soekarnoputeri mencatat prestasi tersendiri dengan ditetapkannya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan setahun kemudian dilantik pimpinan KPK periode pertama (dengan Ketua Taufikurrahman Ruki). Kasus pertama yang ditangani KPK adalah penyalahgunaan dana APBD oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (Abdullah Puteh) untuk membeli helikopter bekas dari Russia. Kasus itu terbongkar karena pengadulan dari LSM antikorupsi lokal (Solidaritas Rakyat Antikorupsi Aceh).

Demikian pula, kasus kedua yang ditangani KPK, yakni penyelewengan dana APBD yang melibatkan seluruh anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat (kecuali anggota Zen Gomo) dilaporkan oleh LSM Badan Antikorupsi Sumatera Barat. Ini merupakan merupakan momen penting, ketika KPK mendapat dukungan kongkrit masyarakat sipil. Pada periode Pimpinan KPK berikut, kolaborasi dengan kalangan LSM makin luas, tetapi hanya bersifat seremoni/kampanye, tidak berorientasi advokasi. Pemerintahan Megawato menghadapi tantangan berat tatkala menangani kasus debitur BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang nakal. Megawati akhirnya memberikan pengampunan (release and discharge) kepada sejumlah konglomerat nakal. Padahal menurut audit BPK RI, kasus BLBI berpotensi merugikan negara hingga Rp 144,54 triliun.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan tradisi baru dengan mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi Nomor 5 Tahun 2004 bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada tanggal 9 Desember 2004. Inpres tersebut dijabarkan Bappenas dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009. Periode pertama pemerintahan SBY, mencoba konsisten dengan kebijakan antikorupsi, hingga tidak mengintervensi kasus yang menimpa besannya sendiri (Aulia Pohan) yang divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar. Tetapi, efek dari kasus itu adalah muncul upaya pelemahan KPK di bawah Antasari Azhar, hingga sang ketua ditangkap dan diadili dengan tuduhan terlibat pembunuhan terhadap seorang pengusaha.

Periode kedua pemerintahan SBY ditandai dengan pengukuhan RAN Pemberantasan Korupsi dalam Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi untuk jangka pendek (2012-2014) dan panjang (2012-2025). Pada masa itu dibentuk Satuan Tugas Mafia Pemberantasan Hukum dengan tokohnya Wamenhukham Denny Indrayana. Namun, komitmen politik formal tidak cukup karena perang melawan korupsi melibatkan aktor-aktor kelas kakap, termasuk penyelenggara negara. Shah dan Schacter (2004) membuat tipologi megakorupsi: grand corruption (penyimpangan otoritas dan sumberdaya publik secara massif) dan state capture atau regulatory capture (kolusi antara pejabat negara dan agen swasta untuk meraih kepentingan pribadi). Berbeda dengan tipe korupsi yang bersifat birokratik dan rutin (petty corruption).

Pasca reformasi, pelaku korupsi telah bertransformasi menjadi gurita raksasa, sementara aktor antikorupsi menghadapi masalah klasik lemahnya capacity building. Walaupun sejumlah aktif antikorupsi telah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dan menikmati fasilitas negara.

Pemerintahan Joko Widodo memberikan peluang seluas-luasnya kepada para relawan pendukungnya, termasuk mereka yang tergolong aktivis antikorupsi untuk berpartisipasi dalam lembaga pemerintahan, termasuk menjadi direksi dan komisaris di BUMN. Komitmen antikorupsi termaktub dalam Nawa Cita, Sembilan program prioritas Jokowi. Sebagai bukti komitmen itu, dikeluarkan Inpres Nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi untuk mendorong sistem kerja pemerintahan yang bersih dan efisien melalui E-Budgeting, E-Government, E-Purchasing, E-Catalog, E-Audit, dan pajak online. Pada 20 Oktober 2016 dibentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) melalui Perpres Nomor 87 Tahun 2016 dengan tugas: melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.

Bagaimana kinerja pemberantasan korupsi di masa Jokowi? Pengamat Burhanuddin Muhtadi memberikan penilaian tentang satu tahun pemerintahan Jokowi, yang digambarkannya terjebak di antara pelaksanaan agenda reformasi dan kepentingan politik oligarki. Meskipun telah berhasil melakukan konsolidasi politik dengan merangkul partai-partai pendukung di parlemen, namun kepemimpinan Jokowi yang lemah telah membuat situasi sulit (Jokowi’s First Year: A Weak President Caught bertween Reform and Oligarchic Politics, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, 2015).

Situasi tidak membaik pada tahun kedua pemerintahan Jokowi, sebagaimana penilaian Eve Warburton, betapa Jokowi telah membangun gaya kepemimpinan mirip Soeharto di era Orde Baru (New Developmentalism) yang lebih menekankan pembangunan infrastruktur dan kebutuhan pokok, serta mengabaikan pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM. (Jokowi and the New Developmentalism, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, 2017).

Pada tahun ketiga pemerintahan Jokowi, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberi catatan kritis: “Program pemberantasan korupsi, perbaikan sektor birokrasi dan perbaikan tata kelola pemerintahan pada sektor strategis seperti energi dan SDA tidak memuaskan. Usaha itu bukan tidak ada, namun tidak menunjukkan level yang serius dan berkomitmen. Akibatnya, berbagai implementasi kebijakan maupun substansi kebijakan belum sejalan dengan semangat Nawa Cita.”

ICW mencatat bawah 68,03 persen kekuatan partai yang mendukung Jkw-JK seharusnya menjadi kendaraan politik yang stabil bagi pemerintah untuk mengambil dan menjalankan kebijakan yang lebih tegas. Namun Presiden Jokowi tersandera untuk membalas budi dukungan pada anggota koalisinya, yang masing-masing memiliki interest atas kekuasaan, sehingga program reformasi dan perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik tidak banyak didukung. Kritisisme ICW itu penting, karena pendiri ICW (Teten Masduki) tercatat sebagai Koordinator Staf Khusus Presiden, sebelumnya menjadi Kepala Staf Presiden. Sejumlah inisiatif telah didorong Teten, antara lain kebijakan open government, namun jerat korupsi lebih kuat daripada kapasitas personal.

Penuntasan kasus E-KTP yang melibatkan Ketua DPR RI (Setya Novanto) dan pimpinan partai-partai besar/penguasa merupakan batu uji bagi KPK dan pemerintahan Jokowi: apakah mereka serius memberantas KKN sampai ke akar-akarnya, sesuai dengan visi reformasi 1998? Atau, kasus itu hanya akan menjadi alat tawar (bargaining) untuk kepentingan politik, karena para aktor utama tersandera dengan kasus masing-masing, termasuk Ketua KPK (Agus Raharjo) yang tertekan karena rekam jejaknya saat menjabat Ketua LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah).

Di tengah situasi saling sandera itu, muncul kekuatan baru Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi (GAK LPT). Salah seorang tokohnya, Bachtiar Firdaus adalah mantan Ketua BEM Universitas Indonesia di awal reformasi (2000) yang menuntut perubahan radikal dan menjuluki Setya Novanto sebagai “mahaguru koruptor”, dalam aksi Masyarakat Sipil Antikorupsi (14/9/2017). Keterlibatan para alumni dan aktivis mahasiswa memperlihatkan kebangkitan baru gerakan antikorupsi di Indonesia. []