Oleh : Hamdi, S.Sos**
Kota Depok sedang dihangatkan oleh program baru yang berjuluk Sistem Satu Arah (SSA). SSA digadang-gadang oleh Dishub Kota Depok dapat membawa perbaikan yang signifikan terhadap persoalan kemacetan di beberapa ruas jalan utama, seperti jalan Margonda; Dewi Sartika; Arif Rahman Hakim (ARH); Nusantara dan Kartini. Rekayasa lalu lintasnya adalah jalan Dewi Sartika dibuat satu arah menuju Sawangan, jalan Nusantara satu arah menuju Dewi Sartika dan Sawangan, dan jalan ARH dibuat satu arah menuju jalan Nusantara (jam 15.00-22.00).
Sudah sebulan lebih SSA digulirkan dan hasilnya pun telah dirasakan oleh warga baik mereka yang merasa diuntungkan maupun yang merasa dirugikan. Pro dan kontra pun muncul akibat penerapan SSA tersebut. Warga Depok yang diuntungkan oleh SSA, tentunya sangat mendukung karena lalu lintas tambah lancar dan lebih menghemat waktu tempuh. Misalnya, pada jam 15.00-22.00 lalu lintas jalan ARH sangat lancar dari lampu merah Ramanda menuju jalan Nusantara.
Sedangkan bagi yang kontra, penerapan SSA tersebut justru menimbulkan kemacetan yang lebih parah (khususnya di jalan Dewi Sartika) terutama pada jam-jam sibuk. Bagi para pedagang di kawasan Nusantara dan Dewi Sartika penerapan SSA memunculkan masalah baru, yaitu menurunnya omzet penjualan hingga 60 % karena pembeli yang berkurang. Menurut mereka banyak (calon) pembeli yang enggan berbelanja karena ada yang harus menempuh jalan yang lebih jauh ke tempat tersebut. Belum lagi keluhan warga di Perumnas Depok I (Depok Jaya) yang merasa terganggu karena ramai dan bisingnya kendaraan yang melewati jalan perumahan karena menghindari jalur SSA di jalan Nusantara. Bahkan menurut warga pernah terjadi beberapa insiden kecelakaan akibat banyaknya kendaraan yang melewati perumahan tersebut. Untuk mengatasi kondisi tersebut warga membuat portal di depan perumahan agar tidak dilewati pengendara.
Insiden kecelakaan pun kerap terjadi di ruas jalan Nusantara, jalan Dewi Sartika dan jalan ARH. Bahkan sudah puluhan kali terjadi kecelakaan akibat banyak pengendara yang ngebut di jalur SSA Dewi Sartika, begitu menurut pengakuan seorang warga yang tinggal di sekitar jalan tersebut. Terakhir terjadi kecelakaan di dekat Pospol lampu Nusantara yang menewaskan seorang pengendara motor dan melukai anaknya akibat dihantam sebuah mobil yang langsung kabur serta seorang penyeberang jalan yang tewas akibat ditabrak mobil di jalan Dewi Sartika. Karena seringnya terjadi kecelakaan di jalur SSA hingga warga menyebutnya sebagai “jalur neraka”. Menurut Gandara Budiana (Kadishub kota Depok) bahwa banyaknya terjadi kecelakaan itu bukan karena diberlakukannya SSA tetapi akibat perilaku pengendara yang ngebut dan ugal-ugalan di jalan. Dishub pun sudah memasang sejumlah rambu lalu lintas seperti peringatan dilarang ngebut dan pita kejut untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan.
Ramainya pro kontra SSA juga terjadi di media sosial. Di beberapa grup whatsapp (WAG) warga Depok, masalah SSA menjadi isu yang hangat hingga berhari-hari. Anggota WAG yang rata-rata berpendidikan menengah ke atas saling adu argumen soal dampak positif dan negatif dari penerapan SSA. Ada juga di antara mereka yang bersikap netral karena tidak langsung merasakan dampaknya. Tetapi tidak sedikit juga anggota WAG yang memberikan masukan serta solusi terhadap permasalahan kemacetan lalu lintas di kota Depok di luar program SSA. Itulah salah satu manfaat bermedia sosial, selain sebagai ajang silaturahmi juga bisa saling berbagi dan memberikan solusi terhadap permasalahan di masyarakat.
Program SSA yang baru seumur jagung tak luput dari protes sebagian warga. Hal ini bisa dilihat adanya beberapa spanduk penolakan SSA yang dipasang di beberapa ruas jalan, seperti di jalan ARH dan Nusantara. Bahkan ada spanduk penolakan SSA yang meminta Presiden Jokowi agar turun melihat langsung penerapan SSA dan dampaknya. Tidak hanya itu, penolakan SSA juga dilakukan dalam bentuk demonstrasi warga dan LSM. Sepengetahuan penulis sudah ada dua kali demonstrasi penolakan SSA yang ditengarai banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain menambah kemacetan, seringnya kecelakaan hingga kerugian ekonomi.
Menyikapi reaksi warga Depok terhadap program SSA (khususnya mereka yang menolak) pihak Dinas Perhubungan (Dishub) Depok menilainya sebagai suatu yang wajar. Tetapi Dishub sendiri berpendapat pelaksanaan SSA berjalan lancar dan berhasil mengurai kemacetan di ruas jalan di mana SSA itu berlaku. Pihak Dishub pun berjanji akan mengevaluasi penerapan SSA itu berdasarkan pantauan di lapangan serta masukan masyarakat baik yang pro maupun yang kontra.
Menurut penulis program SSA ini patut diapresiasi sebagai salah satu upaya Pemkot Depok untuk mengatasi masalah kemacetan di kota belimbing ini. Terlepas adanya pro kontra, program ini adalah sebuah terobosan baru di samping program lalu lintas lainnya yang pernah diberlakukan, seperti One Day No Car (ODNC) dan contra flow yang akhirnya tidak berlanjut. Di tengah hangatnya polemik tersebut muncul kembali (yang katanya program Pemkot Depok) isu rencana pembuatan fly over di persilangan KA Dewi Sartika. Fly over tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah kemacetan yang akut di tempat tersebut seperti fly over yang dibangun di atas rel jalan ARH. Berlakunya SSA di daerah ini boleh dibilang tidak banyak membantu mengurai kemacetan yang ada, justru titik krusial kemacetan ada di pintu perlintasan KA Dewi Sartika mengingat frekuensi kereta yang melintas relatif sering, yaitu 10-15 menit sekali.
Sebagian pihak ada yang menuding kehadiran Transmart (Carefuor)) di jalan Dewi Sartika sebagai keladi macetnya lalu lintas jalan Dewi Sartika. Sepengamatan penulis sebelum dan sesudah ada pusat perbelanjaan milik taipan Chairul Tanjung itu kemacetan memang kerap terjadi di jalan tersebut.
Memang menilai dan mengkaji sebuah program pemerintah daerah, seperti SSA di Depok ini, tidak bisa bersifat parsial. Hal ini butuh kajian yang komprehensif dan lintas sektoral, apalagi terkait dengan hajat hidup orang banyak. Program SSA ini tidak bisa dipandang hanya persoalan lalu lintas dan transportasi semata, tetapi juga menyangkut nyawa manusia; periuk para pedagang serta perilaku berlalu lintas warga Depok.
Perilaku berlalu lintas juga harus mendapat perhatian warga Depok terutama pengguna jalan (pengendara dan pejalan kaki) setelah pemberlakuan SSA. Para pengendara harus rela memperpanjang jarak tempuh perjalanannya karena penerapan SSA, misalnya perjalanan dari arah Sawangan menuju Depok Utara (Beji) yang biasanya lebih singkat lewat jalan Nusantara harus memutar melalui jalan Dewi Sartika, jalan Baru sisi rel KA, dan jalan ARH. Alternatif lainnya bisa lewat jalan lingkungan Perumnas Depok I (Depok Jaya) yang tidak jarang menimbulkan resistensi warga setempat. Kondisi tersebut tidak heran memunculkan keluhan para pengendara karena belum terbiasa dengan peraturan itu.
Tetapi, seperti bunyi pepatah : alah bisa karena biasa, peraturan SSA yang mulanya terasa berat insyaa Allah akan terasa ringan jika terbiasa dilakukan. Sudah saatnya kita sebagai warga yang baik dan patuh hukum untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk di jalan, seperti perilaku suka menerabas lampu merah; melawan arus; dan berhenti tidak pada tempatnya dengan alasan tidak melihat rambu, mengejar waktu, dan seribu satu alasan lainnya.
Di sisi lain, pemkot Depok (dalam hal ini Dishub kota Depok) harus mendengar dan menyerap semua masukan serta informasi terkait penerapan SSA selama sebulan ini. Apalagi SSA ini dari awal dimaksudkan sebagai program uji coba untuk mengurai kemacetan sehingga wajar harus dievaluasi dan dikaji ulang oleh pihak-pihak terkait, tidak hanya Dishub. Evaluasi tersebut sangat diperlukan selain karena manfaat positif yang dirasakan, juga karena munculnya ekses negatif yang mungkin tidak diduga sebelumnya, Ekses itu antara lain terjadinya kecelakaan akibat pengendara yang ngebut; berkurangnya pemasukan para pedagang di jalur SSA; dan terganggunya kenyamanan warga perumahan yang dilalui pengendara yang menghindari SSA.
Oleh karena itu, menurut penulis harus ada kerjasama yang sinergis di antara stake holder yang berkepentingan dengan program SSA ini, seperti Dishub, kepolisian, anggota DPRD komisi C, Disperindag, dan warga masyarakat. Bentuknya bisa berupa forum atau wadah komunikasi lintas unsur yang saling terbuka dan semangat mencari jalan keluar. Diharapkan lewat forum tersebut akan muncul solusi terbaik untuk mengatasi masalah kemacetan di kota Depok, paling tidak bisa mengurangi mudharatnya. Memang tidak ada satu pun program atau kebijakan yang sempurna dan seratus persen diterima oleh semua pihak. Oleh karena itu, sebagai warga kita berbaik sangka (positive thinking) dan objektif saja menilainya, seperti bunyi sebuah iklan : Enjoy Aja! Wallahu a’lam bish-shawab.
Keterangan :
*Tulisan ini dibuat untuk mengisi kolom Opini di Depoknews.com
**Penulis adalah pegiat pada Depok Public Opinion Watch (DePOt). Tinggal di Depok.
HP 0812-8706-0192.