Oleh : T. Farida Rachmayanti, Anggota Legislatif Dapil Beji Cinere Limo Fraksi PKS Depok
Masalah dan tantangan keluarga Indonesia dewasa ini adalah tidak optimalnya fungsi dan peran keluarga sehingga menimbulkan banyaknya permasalahan sosial anak. KPAI menyatakan Indonesia darurat kekerasan pada anak, BNN juga menyatakan Indonesia darurat narkoba merupakan salah satu gambaran permasalahan sosial anak. Fungsi keluarga ditandai dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar baik fisik maupun kebutuhan emosi dan perkembangan yang dipandang mampu melahirkan generasi penerus yang berkualitas.
Ketidakberfungsian keluarga ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga Indonesia. Menurut data BKKBN tahun 2013 dari 66 juta keluarga di Indonesia 43 persennya atau 28,5 juta keluarga masuk kategori prasejahtera dan keluarga sejahtera tingkat I (KS I). Mereka baru bisa makan tiga kali sehari dan hanya memenuhi kebutuhan yang paling dasar. Untuk kebutuhan pendidikan, lebih mengandalkan subsidi. Kemampuan keluarga ini sangat rendah, apalagi untuk berkembang, tidak bisa, sehingga tidak bisa menjalankan peran sebagai institusi pembangun masyarakat yang berkualitas.
Sebab yang kedua, orang tua abai terhadap keluarga karena kesibukannya bekerja dari pagi hingga malam dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga.Ketika tidak ada pembagian tugas dan peran secara proporsional dalam keluarga maka keluarga tidak dapat berfungsi dengan baik. Peran dalam keluarga dibagi dua yaitu peran instrumental (ayah) yaitu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan fisik. Kemudian ada peran ekspresi (ibu) yaitu memberikan cinta,kasih sayang, perhatian. mengelola rumah tangga. Orang tua secara bersama-sama mempunyai tugas memberikan pengasuhan yang baik,pengasuhan yang menghadirkan hati dan memberikan ketrampilan hidup untuk anak-anak nya.
Bila kedua orang tua tidak mempunyai waktu untuk anak-anak, energi orang tua sudah habis ditempat kerja,maka mereka tidak bisa mengajari anak mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, bagaimana keluarga bisa melindungi anak? Saat ini, keluarga yang mampu belum tentu bisa melindungi, apalagi keluarga yang tidak memiliki kapasitas. Banyak anak-anak yang tidak mengetahui bagaimana menjalani kehidupan dengan benar, banyak anak-anak yang tidak mampu mengatakan tidak untuk rokok, mabuk, dan kongkow tidak bermanfaat.Perlu penguatan keluarga-keluarga yang tidak berdaya agar peradaban tetap terjaga dan tidak muncul ancaman lain.
Adapun penyebab ketiga berkaitan dengan faktor ekstrenal. Kondisi lingkungan yang tidak kondusif baik yang ada di dunia nyata maupun dunia maya, yang meningkatkan kerentanan, sehingga terpapar risiko. Disfungsi keluarga dalam membangun imunitas membuat anak mudah terpapar. Keterpaparan tinggi , pasti risiko juga tinggi. Padahal menghadapi kondisi kekinian sungguh anak membutuhkan imunitas yang kuat untuk bisa bertahan. Pada posisi ini peran keluarga mengaktivasi fungsi agama sangat dibutuhkan. Sehingga anak selalu terkoneksi dengan penciptaNya. Keluarga bertanggungjawab membangun proses kesadaran beragama sejak dini. Memahamkan kepada mereka arti kehidupan dan melatih untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah agar mereka terjaga dari keburukan dan kemudharatan.
Jadi jelas, bahwa keluarga tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri. Keterbatasan keluarga dalam menjalankan fungsinya ini memerlukan intervensi pemerintah. Kota Layak Anak merupakan bentuk kehadiran negara dalam membantu keluarga untuk memenuhi hak anak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Menjadi Kota Layak Anak dicerminkan dalam indikator-indikator yang tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.12 tahun 2011 yang terdiri dari penguatan kelembagan dan pemenuhan hak anak yang berjumlah 31 indikator. Pemenuhan hak anak terdiri dari lima cluster hak anak yaitu hak sipil dan kebebasan, hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dan kesejahteraan dasar, hak pendidikan, dan perlindungan khusus.
Proses menuju Kota Layak Anak membutuhkan penguatan peran kelembagaan. Diantaranya keberadaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pemenuhan hak anak (Perda, Perwako, Instruksi, Edaran). Kemudian seberapa besar anggaran yang disediakan untuk mendukung proses yang berkesinambungan yang menyertakan peran lintas sektoral. Secara detail berapa presentase anggaran untuk pemenuhan hak anak?? Termasuk anggaran untuk penguatan kelembagaan, jumlah peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang mendapatkan masukan dari Forum Anak dan kelompok anak lainnya. Pada sisi lain dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) terlatih KHA (Konvensi Hak Anak) dan mampu menerapkan hak anak ke dalam kebijakan, program dan kegiatan.Tersedia data anak terpilah menurut jenis kelamin, umur sangatlah penting. Selain itu juga adanya keterlibatan lembaga masyarakat dalam pemenuhan hak anak dan keterlibatan dunia usaha dalam pemenuhan hak anak .
Dilihat dari indikator diatas kebijakan Kota Layak Anak mengamanatkan kepada pemerintah untuk memenuhi hak anak yang berdampak langsung pada anak. Sementara permasalahan anak yang muncul banyak yang disebabkan oleh kebijakan yang berdampak tidak langsung seperti ekonomi, sosial, budaya, politik bangsa dan faktor lain yang terkait misalnya kemajuan teknologi dan informasi. Artinya Kota Layak Anak bukan satu-satunya solusi pemecahan masalah anak atau tidak serta merta tidak ada permasalahan anak.
Apalagi jika kita lihat definisi yang tertuang dalam peraturan perundangan. Bahwa Kota Layak Anak adalah kota yang memiliki sistem pembangunan dan pelayanan publik dari pemerintah kota dengan dukungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, swasta dan Forum Anak guna pemenuhan hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan melalui kebijakan, program, kegiatan, dan penganggaran untuk kesejahteraan anak. Jadi ada dua kata kunci yang menjadi karakter asasi yang harus melekat pada kota tersebut, yaitu adanya sistem pembangunan yang ramah anak dan pelayanan publik yang ramah anak. Dan ini sejalan dengan UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Belum ada satupun pendefinisian yang menyatakan kota layak anak tanpa masalah anak. Rasanya memang naif menuntut suatu kota yang tengah berproses menuju kondisi layak anak menjadi kota tanpa masalah anak. Namun hal yang wajar dipertanyakan adalah bagaimana konsistensi perwujudannya? Mampukah menjaga komitmen bersama? Bahkan meluaskan komitnen itu dengan semakin banyak pemangku kepentingan anak. Sejauh apa regulasi yang ada ditindaklanjuti dalam bentuk SOP yang lebih detil dan teknis? Sehingga misalnya, penanganan kasus anak semakin cepat dan efektif. Bagaimana mengoptimalkan lembaga mitra (P2TP2A, LK3, atau Program PUSPAGA) agar lebih berkinerja? Baik yang sifatnya antisipstif maupun solutif. Bagaimana pengelolaan dan sistem dukungan pada skala kecamatan dan kelurahan? Mampukah para perangkat daerah di kewilayahan menghidupkam dinamika membangun lingkungan yang layak dan ramah anak??
Jadi marilah tetap optimis untuk bersama dan bersabar membangun kota ini secara berproses agar layak dan ramah terhadapi anak. Kritik membangun sungguh harus dilakukan, agar percepatan merakit sistem pembangunam dan pelayanan publik bisa menyeimbangkan kondisi-kondisi riil atas munculnya permasalahan. Karena kita tidak sedang membangun sebuah gedung yang menjulang. Yang bisa langsung terlihat kesuksesannya saat berdiri tegak. Kita sedang menata manusia. Kita sedang membangun kesamaan persepsi, nilai, sikap, tindakan tentang bagaimana memenuhi dan melindungi hak anak. Walau pada sisi lain kitapun harus membangun hal-hal fisik yang layak untuk anak.
Pada akhirnya kita berharap Kebijakan Kota Layak Anak sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada pemenuhan hak anak dan perlindungan anak secara berkelanjutan yang didukung dengan kebijakan pemerintah lainnya (ekonomi, sosial, budaya, politik) yang berdampak pada keluarga dan berorientasi pada kesejahteraan keluarga, sehingga bisa mendorong keluarga menjalankan fungsinya dengan baik dan pada akhirnya mengurangi munculnya permasalahan anak.