DepokNews–Jakarta (9/8), Negosiasi antar partai politik semakin alot menjelang penetapan bakal calon presiden dan wakil presiden. Baik kubu petahana (Joko Widodo) maupun oposisi (Prabowo Subianto) belum mengajukan pasangan definitif kepada Komisi Pemiihan Umum (KPU) menjelang batas akhir pendaftaran (10/8). Hal itu menunjukkan kualitas kepemimpinan yang sedang berkompetisi, sebagaimana terungkap dalam diskusi Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP).
Kubu oposisi dimotori Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebenarnya punya modal sangat kuat karena mendapat dukungan Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional yang merekomendasikan Salim Segaf al-Jufri dan Ustadz Abdul Shomad sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo. Namun Prabowo ragu, apakah pasangan itu dapat mengangkat elektabilitasnya saat berhadapan dengan Jokowi.
“Survei kami menunjukkan elektabilitas pasangan Prabowo-Salim cukup tinggi (64,1 persen) bisa mengalahkan pasangan petahana Jokowi-Ma’ruf Amin (35,9 persen). Simulasi itu jika faktor ulama dijadikan pertimbangan utama. Bila Jokowi menggandeng Moeldoko sebagai mantan Panglima TNI, maka elektabilitas Jokowi-Moeldoko naik sedikit (43,2) tapi tak bisa mengalahkan Prabowo-Salim (56,8),” ungkap Muhsinin Fauzi, Direktur LKSP.
Rapid Survei dilakukan 1-4 Agustus 2018 dengan metoda wawancara melalui telepon dan menjangkau 800 responden di seluruh Indonesia. Komposisi responden disesuaikan dengan karakteristik pemilih yang terdaftar dalam DPT tahun 2014 dan dibagi secara proporsional dalam sembilan zona: Sumbagut, Sumbagsel, DKI-Banten, Jabar, DIY-Jateng, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua. Aplikasi pengacakan nomor telepon menggunakan integer generator. Tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 4,8 persen.
Pembicara lain dalam diskusi bertema “Menangkap Aspirasi Politik Kaum Muda-Milenial dan Populisme Islam” adalah Ali Abdillah (mantan Ketua BEM UI), Adjie Alfarabi (Lingkaran Survei Indonesia) dan Pipin Sopian (Jubir PKS Muda). Ali Abdillah melihat karakteristik responden sangat unik karena mayoritas (65,8) berusia 17-25 tahun, tergolong generasi milenial. “Aspirasi kaum muda terbukti menginginkan perubahan. Prabowo diuntungkan karena mendapat dukungan ulama dan tokoh yang menuntut perubahan juga. Pada pemilu 2014, orang mengalami euforia dengan sosok Jokowi sehingga membentuk beragam relawan. Setelah empat tahun berkuasa, banyak yang kecewa dengan Jokowi, mereka membentuk relawan untuk mengganti presiden,” ujar Ali yang menamatkan studi pascasarjana di Universitas Leiden, Belanda.
Survei juga memperlihatkan bila Prabowo berpasangan dengan tokoh muda Ahmad Heryawan (53,4) berpeluang menang atas pasangan Jokowi-Muhaimin (46,6). Atau pasangan alternatif Anies Baswedan-Aher (57,0) berpeluang menang lebih besar melawan Jokowi-Sri Mulyani (43,0). Jokowi hanya berpeluang menang tipis bila berpasangan dengan Chairul Tanjung (50,5) melawan pasangan alternatif Gatot Nurmantyo-Aher (49,5). Tapi selisih suaranya sangat tipis, masih di bawah margin of error, sehingga belum bisa dipastikan keunggulan Jokowi.
Dari berbagai simulasi tampak jelas posisi petahana sangat rentan, efek eforia Jokowi sudah hilang. Tidak berpengaruh terhadap elektabilitas partai pendukungnya (coat-tail effect), apalagi mengangkat elektabilitas pasangan Jokowi sendiri sudah sulit sekali. Posisi Prabowo dan partai oposisi diuntungkan dengan bangkitnya sentimen populisme Islam, sebagaimana ditemukan Adjie Alfarabi. “Populisme Jokowi dulu tampil karena sosok sederhana dan merakyat. Populisme sekarang mencuat karena tekanan ekonomi (sulitnya lapangan kerja, kenaikan harga sembako dan isu serbuan tenaga kerja asing) serta pengekangan demokrasi (kriminalisasi ulama dan Perppu Ormas). Arus ini yang menentukan sikap pemilih dalam pilpres 2019,” simpul Adjie.
Jubir PKS Muda, Pipin Sopian melihat pertemuan antara aspirasi kaum muda-milenial dengan bangkitnya populisme Islam. “Populisme saat ini sudah menjadi fenomena global dengan karakteristik masing-masing. Populisme di Indonesia digerakkan para ulama dan aktivis pergerakan, karena itu kami mengawal Ijtima Ulama. PKS tidak ngotot, tapi konsisten mengawal aspirasi ulama dan umat. Jika Prabowo atau Gerindra ragu dengan fenomena itu, kami sudah membuktikannya dalam pilkada di DKI Jakarta (2017) dan Jawa Barat (2018) serta di wilayah lain,” tegas Pipin. Prabowo akan ditinggalkan umat bila mengabaikan ijtima ulama dan tuntutan perubahan akan mati suri.