DepokNews–Acara Reuni 212 telah berlangsung aman dan tertib pada Senin (2/12/2019) di sekitar lapangan Monas (Monumen Nasional), Jakarta. Ratusan ribu orang hadir dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk warga diaspora dari mancanegara (Viva News, 2/12/2019). Tidak hanya warga Muslim berpartisipasi, sejumlah warga non-Muslim juga hadir untuk mengetahui bagaimana suasana aksi massa yang dinilai pengamat telah membangkitkan politik identitas atau populisme Islam itu.
Sejumlah tokoh nasional hadir, antara lain Wakil Ketua MPR RI (Hidayat Nur Wahid), anggota DPR RI (Fadli Zon dan Mardani Ali Sera), Titiek Hediati (Partai Berkarya), Nur Asiah Uno (isteri mantan Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno), bergabung bersama para Ulama dan Habaib pengurus FPI dan Persatuan Alumni 212. Namun, bintang panggung saat itu adalah Gubernus DKI Jakarta Anies Baswedan yang turut memberikan sambutan, selain Habib Rizieq Shihab (Imam Besar FPI) yang menyampaikan video conference.
Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan (LKSP) melihat Reuni 212 sebagai gejala sosial penting yang perlu diteliti secara mendalam. Bukan hanya kemampuan dalam memobilisasi massa dalam jumlah besar dan menampilkan tokoh-tokoh publik vokal, melainkan juga pesan damai dan ketertiban umum yang langka ditampilkan.
Quick survey dilakukan pada 2 Desember 2019 terhadap 210 responden yang berhasil dijangkau dengan metoda available sampling. Karena peserta Reuni 212 tidak diketahui jumlah persisnya, maka sampel bersifat non-probability. Namun, diupayakan tetap proporsional antara jenis lelaki dan perempuan, serta dipilih secara acak dari kerumunan peserta. Petugas surveyor sama sekali tidak mengenal responden yang diwawancarai berdasar kuesioner singkat, terdiri dari 8 pertanyaan saja.
Identitas Responden
Responden yang berhasil diwawancarai terdiri dari 117 lelaki (55,7 persen) dan 93 perempuan (44,3 persen). Peserta lelaki tampak lebih banyak karena agenda acara Reuni 212 sangat padat dan cukup menguras stamina fisik. Dimulai dari shalat tahajud berjamaah pada jam 03.00 dini hari, shalat subuh berjamaah, membaca zikir dan doa/shalawat, hingga mendengarkan ceramah sampai jam 09.00 pagi. Selama sedikitnya enam jam itu para peserta berada di lapangan terbuka sekitar Monas, yang sehari sebelumnya telah diguyur hujan deras.
Dari segi usia, sebagian besar responden (44,3 persen) berusia 36-55 tahun dan 34,8 persen berusia 27-35 tahun. Namun, ada responden yang berusia lanjut (> 55 tahun): 18,6 persen dan remaja (<17 tahun): 2,3 persen.
Sementara itu, asal daerah responden sangat beragam yang menunjukkan betapa majemuknya peserta Reuni 212. Sebagian besar responden, 113 orang (53,8 persen) berasal dari wilayah DKI Jakarta. Sebagian lain berasal dari sekitar Jakarta, yakni Bekasi 23 orang (11,0 persen), Bogor 11 orang (5,2 persen), Depok 14 orang (6,7 persen), Tangerang/Banten 15 orang (7,1 persen), dan wilayah Jawa Barat lain (Cianjur, Garut, Tasikmalaya dll) sebanyak 10 orang (4,8 persen). Ada responden yang berasal dari Solo/Yogya (3 orang), Semarang (1), Jawa Timur (2), Banjarmasin (1). Responden terjauh berasal dari Halmahera Selatan, Maluku Utara (3).
Persepsi Responden
Mayoritas responden, yakni 133 orang (53,8 persen) mengetahui acara Reuni 212 dari kanal media sosial (Whats App, Facebook, dll). Ada pula yang mendapat informasi dari teman 36 orang (17,1 persen) atau keluarga 33 orang (15,7 persen). Informasi menyebar cepat dan langsung ke alat komunikasi personal. Sehingga memperkuat sikap pribadi.
Alasan responden menghadiri Reuni 212 sebagian besar (31,4 persen) karena inisiatif pribadi. Lalu, 26,7 persen responden hadir untuk reuni bersama teman-teman dan 17,1 persen untuk mengikuti acara Maulid Nabi Muhammad Saw karena panitia memang meminta izin penyelenggaraan Maulid Akbar kepada pihak keamanan. Yang menarik, ada 17,1 persen responden yang memberikan alasan lain, yakni prihatin dengan kondisi umat/bangsa serta ingin menjalin silaturahim/persatuan dengan sesama warga. Sejumlah alasan itu tidak ada yang mengarah pembentukan politik identitas, apalagi yang bersifat sektarian/aliran.
Sekitar 73 persen responden (153 orang) pernah menghadiri Aksi Bela Islam tahun 2016 yang menjadi pemicu gerakan 212. Namun, ada 27 persen (57 orang) yang tidak pernah menghadiri acara ABI 2016, sehingga tidak merasakan ketegangan yang muncul saat itu dan merupakan pengalaman pertama ikut Reuni 212.
Hal itu diperjelas lagi, oleh 25 persen responden (52 orang) yang tidak pernah mengikuti Reuni 212 pada tahun 2017 dan 2018. Kelompok ini merupakan lapisan baru yang akhirnya tertarik dengan gerakan 212 melalui informasi yang mereka dapatkan dari berbagai media. Partisipan atau dukungan terhadap gerakan 212 semakin bertambah, terbukti dari hadirnya kelompok baru, meskipun tingkat kehadiran disesuaikan dengan kondisi peserta.
Responden memiliki persepsi yang beragam tentang tujuan Reuni 212, walaupun panitia menegaskan bahwa kegiatan tersebut bersifat keagamaan (Maulid Nabi Saw) dan menjaga semangat persatuan (mengajak semua pihak). Menurut sebagian besar responden (51,4 persen) tujuan Reuni 212 adalah mewujudkan Ukhuwah Islamiyah karena dapat menghimpun umat dari berbagai latar belakang. Mereka bisa shalat, berzikir dan berdoa bersama adalah sebuah privilege tersendiri. Bahkan, ada yang bersedekah menyiapkan makanan dan minuman gratis untuk peserta. Reuni 212 memperlihatkan aksi kesukarelawanan (voluntary action) dalam skala besar.
Selain itu, tujuan Reuni 212 menurut 31,9 persen responden adalah menjaga Persatuan Bangsa karena sejalan dengan Ukhuwah Islamiyah. Umat Muslim adalah bagian dari bangsa Indonesia, dan bangsa Indonesia sebagian besar beragama Islam; suatu fakta yang tak bisa dinegasikan.
“Kita patut bersyukur dan memberi apresiasi karena fenomena reuni 212 menunjukkan keselarasan pandangan keagamaan dan kebangsaan. Peserta 212 menegaskan tak ada pertentangan antara misi ukhuwah keummatan dan persatuan bangsa, sebagaimana label atau stigma yang berkembang selama ini,” ujar Direktur LKSP, Astriana Baiti Sinaga. Gejala ini mestinya dirawat dan dikelola agar integrasi nasional Indonesia lebih kokoh.
Tujuan lain dari acara Reuni 212, yakni mengingatkan bahaya kasus penistaan agama dan gejala diskriminasi hukum atau kriminalisasi ulama menjadi faktor berikutnya. Ganjalan itu yang harus ditangani agar persepsi ukhuwah keagamaan/kebangsaan semakin solid.
Ketika ditanyakan, “Apakah Saudara setuju bila dikatakan bahwa Reuni 212 mencerminkan gerakan intoleransi dan radikalisme?”. Hampir semua responden (98,1 persen) menyatakan: tidak setuju. Mereka tidak melihat tindakan intoleran dan radikal selama acara, dan memang latar belakang sosial-politik saat ini berbeda dengan tahun 2016, tatkala merebak kasus penistaan agama menjelang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta.
Demikian pula, terhadap pertanyaan: “Apakah Saudara setuju Reuni 212 bila dikatakan bahwa Reuni 212 bertentangan dengan semangat persatuan nasional dan dakwah Islam yang rahmatan lil alamin?”. Sebagian besar responden (98,1 persen) menyatakan: tidak setuju. Sebagaimana jawaban sebelumnya, responden memandang Reuni 212 justru mewujudkan misi kebangsaan dan keagamaan secara selaras.
Karena berbagai alasan itu, maka 95,2 persen responden berpendapat Reuni 212 dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya, walaupun ada yang berpendapat (2,9 persen) cukup tahun ini saja atau tidak tahu (1,9 persen).
Direktur Center for Indonesian Reform (CIR), Sapto Waluyo, menanggapi hasil quick survey LKSP dengan nada kritis. “Survei itu terkait persepsi peserta atau partisipan Reuni 212. Perlu ditelusuri persepsi masyarakat pada umumnya yang tidak terlibat acara: bagaimana perasaan mereka memandang gerakan 212? Apakah sebagai ancaman atau rujukan untuk persatuan bangsa?” tanya Sapto. Dari resultante kedua pandangan itu bisa dilihat titik simpulnya.
Sebagai pelengkap, LKSP melakukan tracking media online dan media sosial pada periode 26 November – 3 Desember 2019. Pelacakan informasi dilakukan machine learning dengan memasukkan kata kunci tertentu.
Hasilnya cukup sejalan dengan Quick Survey. Terlacak 232.733 mention yang membincangkan Reuni 212, sebagian besar (96 persen) melalui media sosial dan sisanya (4 persen) melalui media online. Jumlah mention yang terlacak di media sosial, sebagian besar (92 persen) melalui kanal Twitter. Selain itu melalui Instagram (4 persen), Facebook (1 persen) dan Youtube (1 persen).
Sebagian besar netizen (61 persen) memandang positif acara Reuni 212, sebagai wujud ukhuwah kebangsaan. Namun, ada 31 persen netizen memandang negatif karena dipandang politisasi isu. Dari analisis emosi netizen lebih jelas lagi, setidaknya 6.800 posting yang bernada Senang dengan Reuni 212 dan 4.600 yang Percaya dengan tujuannya. Sekitar 4.800 posting mengantisipasi kelanjutan reuni. Sementara yang bernama terkejut, takut, marah atau sedih lebih kecil. []
Jakarta, 6 Desember 2019