Oleh: Hamdi,S.Sos*
Orang-orang jahiliyah mempunyai kebiasaan melumuri Ka’bah dengan darah unta yang mereka kurbankan, maka para sahabat Nabi pun berkata,”Kita lebih berhak untuk melakukan hal itu.” Dalam kondisi demikian, turunlah ayat 37 surat Al Hajj yang artinya: “Daging-daging unta darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS Al Hajj : 37) Ayat ini mengandung arti bahwa Allah menerima amalan kaum muslimin yang didasarkan atas takwa, bukan atas dasar kebiasaan orang-orang jahiliyah.
Terkait ayat 37 surat Al-Hajj tersebut, dijelaskan di dalam Tafsir Al-Muyassar : “Daging dan darah sembelihan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketulusan niatlah yang akan sampai kepada-Nya. Dan seharusnya tujuan (niat) penyembelihan kurban hanyalah mengharap keridaan Allah. Demikianlah ia menundukkan hewan-hewan itu untuk kalian –wahai orang-orang yang berkurban- agar kalian mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya, atas petunjuk kebenaran yang diberikan kepada kalian. Sesungguhnya Dialah pemilik kebenaran itu. –Hai Muhammad- sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang berbuat kebaikan, beribadah hanya kepada Allah, dan berbuat baik kepada sesama bahwa setiap itu mendapat kebaikan dan kemenangan.”
Kurban (qurbaan) berasal dari kata qaruba yang artinya menghampiri atau mendekati. Dalam konsep fikih kurban bermakna binatang yang disembelih dalam rangka ibadah kepada Allah pada hari raya haji dan hari tasyrik. Dalam bahasa Indonesia, istilah kurban sangat dekat maknanya dengan ‘korban’. Salah satu makna korban menurut KBBI adalah pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya. Dalam konteks kurban, makna berkurban sama dengan berkorban.
Ritual berkurban memiliki dua aspek bagi individu yang melaksanakannya. Pertama, aspek spiritual yaitu upaya seorang hamba untuk berbakti dan mendekat kepada Tuhannya (hablum minallah). Kedua, aspek sosiologis yaitu dapat menjadi media kesetiakawanan antara si kaya dan si miskin sebagai manifestasi konsep hablum minannaas (relasi antarsesama).
Mengacu pada paparan di atas, berkurban sejatinya bisa menjadi media yang efektif untuk memperkokoh solidaritas umat dan menjadi perekat yang kuat agar tercipta kohesi sosial sesama muslim dan antarsesama manusia.
Untuk mencapai kondisi tersebut hanya dapat diperoleh melalui ketundukan dan keikhlasan terhadap segala perintah dan larangan-Nya, sebagaimana ketundukan dan keikhlasan Ibrahim a.s. serta Ismail a.s. ketika mereka mendapat titah dari Rabbnya untuk mengerjakan kurban (QS Ash Shaffaat : 102 – 103).
Di saat musibah berupa bencana alam mendera sebagian dari saudara-saudara kita, sudah seharusnya kita mengintrospeksi diri tentang nilai kemanusiaan kita. Saudara-saudara kita yang terkena dampak musibah di berbagai pelosok negeri sangat membutuhkan uluran tangan kita sesama anak bangsa. Salah satu media untuk membantu mereka adalah lewat pengiriman daging kurban yang sudah siap olah atau siap saji, baik oleh perorangan, kelompok maupun lembaga.
Semoga pengorbanan dan kepasrahan kita dalam menunaikan salah satu ajaran Islam ini dapat mengantarkan kita menjadi dekat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta lebih peduli kepada sesama. Aamiin. Wallahu a’lam bish shawab.
Keterangan :
*Penulis adalah anggota Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI). Tinggal di Depok.