Penulis : Untung Kasirin_Mahasiswa Program Pascasarjana STEI SEBI_
Zakat adalah pilar keempat dalam Islam. Ia bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga representasi nyata dari kepedulian sosial, penghapusan kesenjangan, dan manifestasi tanggung jawab moral seorang Muslim kepada sesama. Namun, di tengah urgensinya, muncul satu pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Apakah lembaga pengelola zakat di Indonesia telah sungguh-sungguh menerapkan prinsip-prinsip syariah secara menyeluruh, khususnya dalam hal pengawasan dan audit?
Pertanyaan ini mendapatkan sorotan tajam melalui penelitian yang dilakukan oleh Rini, Yessi Fitri, dan Ahmad Baehaqi (2021). Dalam studinya, mereka mengangkat persoalan serius mengenai lemahnya tata kelola syariah dan belum optimalnya pelaksanaan audit syariah pada Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Indonesia, baik BAZNAS maupun LAZ. Temuan ini menunjukkan bahwa belum semua OPZ menjalankan prinsip kepatuhan syariah secara komprehensif.
*Potret Buram Pengawasan Syariah*
Salah satu temuan utama dari penelitian tersebut adalah bahwa banyak Dewan Pengawas Syariah (DPS), terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tidak aktif menjalankan tugasnya. Beberapa bahkan tidak diberi honorarium atau kejelasan tugas, sehingga kontribusi mereka terhadap pengawasan internal menjadi sangat minim. Padahal, keberadaan DPS sangat vital untuk memastikan bahwa proses pengumpulan, pengelolaan, dan distribusi zakat sesuai dengan ketentuan syariah.
Masalah tidak berhenti di sana. Dari 633 OPZ yang tercatat secara nasional, hanya sekitar 47% yang telah menjalani audit syariah oleh Kementerian Agama. Ini menunjukkan masih banyak OPZ yang belum tersentuh proses pengawasan eksternal yang seharusnya menjadi alat kontrol penting bagi publik. Keterbatasan jumlah auditor syariah dan belum meratanya pelatihan menjadi faktor utama dari minimnya pelaksanaan audit ini.
Selain itu, terdapat ketimpangan regulasi antara BAZNAS dan LAZ. Hanya LAZ yang diwajibkan memiliki DPS, sementara BAZNAS tidak. Padahal keduanya sama-sama mengelola dana zakat dalam jumlah besar dan memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam menjaga amanah umat. Ketidakseimbangan ini menimbulkan kesan diskriminatif dan berpotensi menciptakan celah dalam sistem pengawasan syariah nasional.
*Rekomendasi Penting dari Penelitian*
Penelitian ini tidak hanya mengungkap kelemahan, tetapi juga memberikan sejumlah rekomendasi strategis yang dapat menjadi arah perbaikan ke depan. Pertama, perlu dilakukan penguatan peran dan kapasitas DPS di lembaga zakat, khususnya melalui pelatihan, pemberian insentif, dan sistem pelaporan resmi kepada otoritas syariah seperti MUI. Langkah ini akan meningkatkan profesionalisme dan komitmen DPS dalam menjalankan fungsinya.
Kedua, kewajiban memiliki DPS juga harus diberlakukan kepada BAZNAS. Ketentuan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada disparitas perlakuan antara LAZ dan BAZNAS dalam hal pengawasan syariah, mengingat keduanya memiliki peran strategis yang sama.
Ketiga, untuk mengatasi keterbatasan auditor syariah, pemerintah perlu membuka peluang bagi kalangan profesional dan akademisi untuk menjadi auditor eksternal. Dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi, mereka dapat berperan aktif dalam memperluas jangkauan audit syariah di Indonesia.
Keempat, auditor dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengaudit OPZ juga perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang akuntansi syariah dan regulasi zakat. Pemahaman ini krusial agar audit yang dilakukan benar-benar menilai kepatuhan syariah, bukan hanya aspek teknis keuangan.
Terakhir, perlu ditetapkan standar nasional kepatuhan syariah bagi seluruh OPZ. Standar ini akan menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan zakat, sekaligus dasar dalam evaluasi dan audit. Dengan adanya standar yang seragam, inkonsistensi dan penyimpangan dapat diminimalkan.
*Refleksi: Menjaga Amanah Umat*
Zakat bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Ia adalah ibadah, amanah, dan titipan umat yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Lemahnya pengawasan syariah berarti membuka peluang terjadinya penyimpangan yang tidak hanya merugikan mustahik, tetapi juga mencederai nilai-nilai dasar dari ibadah itu sendiri.
Sudah saatnya pengawasan syariah tidak lagi dianggap sebagai beban administratif, melainkan sebagai komitmen spiritual dan sosial. Dengan memperkuat pengawasan syariah, kita tidak hanya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik bahwa zakat mereka benar-benar dikelola sesuai kehendak Allah SWT.







