Oleh Edward Tanujaya, SE, Ak., MSc, CA, FCMA, CGMA – Dosen Departemen Akuntansi FEB Universitas Indonesia
DepokNews–Berdasarkan data Buku Statistik Pendidikan Tinggi Tahun 2022 yang dikutip dari Instagram PDDikti, program studi (prodi) akuntansi memiliki jumlah mahasiswa terbanyak, yaitu 417.882. Ada dua alasan utama yang dikemukakan oleh mahasiswa yang memilih jurusan ini:
Keinginan untuk menjadi profesional di bidang akuntansi.
Akuntansi banyak dibutuhkan oleh organisasi dan perusahaan di masa mendatang.
Para mahasiswa ini bergabung pada sekurang-kurangnya 600 universitas/institusi pendidikan tinggi di seluruh Indonesia dengan jumlah dosen sekitar 6.700 orang.
Namun demikian, secara kasat mata jumlah peminat jurusan akuntansi cenderung menurun. Tren ini terjadi tidak hanya di Indonesia, namun juga di tingkat global. Beberapa lembaga profesi asing seperti Institute of Chartered Accountant in England and Wales (ICAEW), Chartered Institute of Management Accountant (CIMA), dan ACCA – ketiganya berasal dari Inggris namun beroperasi secara global – melaporkan penurunan minat mahasiswa untuk mendaftar program akuntansi di universitas terkemuka. Bahkan organisasi profesi akuntansi global, yaitu International Federation of Accountants (IFAC), selama 3 tahun terakhir ini aktif mengampanyekan Attractiveness of the Profession bagi mahasiswa dan generasi muda akuntan.
Di Indonesia, tren ini juga terjadi. Setidaknya di FEB Universitas Indonesia dalam 5 tahun belakangan ini, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi S1 Manajemen melebihi Prodi S1 Akuntansi. Hal ini bertolak belakang dari tren hingga awal tahun 2000-an, di mana komposisi mahasiswa akuntansi lebih mendominasi. Secara umum, banyak perguruan tinggi melaporkan penurunan jumlah pendaftar calon mahasiswa yang memilih prodi akuntansi, baik di level diploma (D3/D4), sarjana (S1) maupun pascasarjana (S2/S3).
Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari anggapan bahwa ilmu akuntansi tidak diperlukan lagi karena sudah ada teknologi dan AI terbaru yang bisa menggantikan peran akuntan. Selain itu, generasi Z atau Alfa yang berorientasi pada work-life balance menganggap pekerjaan sebagai akuntan membutuhkan komitmen long-hours, berkaca pada pengalaman sebagai auditor eksternal di kantor akuntan publik (KAP). Terlepas dari kenyataan yang ada, kiranya ada hal-hal yang perlu diluruskan, setidaknya 2 poin yang ingin diangkat dalam tulisan ini.
Teknologi dan Akuntansi
Apakah karena adanya teknologi dan kecerdasan buatan (atau artificial intelligence – AI), keahlian atau kompetensi sebagai akuntan tidak diperlukan lagi? Satu hal yang perlu diperhatikan, kompetensi akuntansi tidak sama dengan tata buku atau book-keeping. Pada masa kini pencatatan transaksi yang merupakan esensi dari tata buku dapat dilakukan secara otomatis, bahkan peran manusia dalam tahapan ini sangat minim. Keberadaan database di perusahaan memungkinkan hal ini.
Bayangkan bahwa saat kita membeli suatu produk di supermarket, saat kasir melakukan pemindaian barcode pada mesin kasir, ternyata itu tidak hanya membuat proses transaksi dengan pelanggan lebih cepat. Ternyata, di balik itu semua, mulai dari jurnal penjualan barang, update stok barang dan nilai persediaan secara otomatis, dan secara real-time pula posisi keuangan dapat dilaporkan.
Namun demikian, akuntansi bukan sekedar pencatatan atau bookkeeping, karena setelah dilakukan pencatatan perlu dilakukan pelaporan dan analisis untuk pengambilan keputusan. Belum lagi perlu dipahami konteks lingkungan atau industri agar analisis dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan tepat. Di sinilah akuntan dengan segala kompetensi yang dimiliki memiliki peran strategis. Justru dengan adanya teknologi, akuntan dapat lebih fokus pada aspek analisis dan pengambilan keputusan sehingga bisa lebih akurat dan tepat waktu alias reliable and relevant.
Kompetensi dan Daya Tarik Akuntan
Dengan demikian, sangat salah jika tugas akuntan hanya sebatas pencatatan semata: mengecek bukti dokumen transaksi, mengisi jurnal, dan menyusun buku besar (ledger). Akuntan harus memiliki kompetensi yang memungkinkan untuk menyusun laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi keuangan (SAK) yang saat ini sudah mengadopsi standar global (International Financial Reporting Standards – IFRS). Akuntan juga harus memahami perkembangan dunia bisnis, mengingat pelaporan keuangan itu tidak terlepas dari aktivitas bisnis, sehingga ketika melakukan analisis harus ditempatkan pada kondisi lingkungan dan perekonomian. Maka sangat penting kalau akuntan juga belajar mengenai kompetensi bisnis, keuangan, serta memahami dinamika perekonomian baik nasional maupun global.
Dalam berbagai kesempatan, penulis sering bertanya, apakah ada di dunia ini organisasi yang tidak memerlukan uang. Hingga saat ini, jawabannya adalah TIDAK ADA. Bahkan organisasi sosial seperti LSM atau tempat ibadah seperti Masjid dan Gereja, tetap memerlukan uang atau dana. Jika demikian, seyogyanya semua organisasi perlu menyusun laporan keuangan sebagai bukti akuntabilitas yang baik. Dan rasanya tidak ada pihak yang lain yang lebih tepat untuk menyusun laporan keuangan, selain dari akuntan itu sendiri. Kompetensi pelaporan keuangan ini juga diperlukan mulai dari unit terkecil dari keluarga hingga korporasi besar maupun pemerintahan. Dengan demikian, pengelolaan keuangan dapat lebih rapi, lebih transparan dan akuntabel, serta pengambilan keputusan lebih akurat. Menjadi akuntan tidak hanya identik dengan akuntan publik yang bekerja pada KAP yang bertugas untuk mengaudit laporan keuangan. Justru laporan keuangan yang diaudit itu haruslah disusun oleh individu yang kompeten, dan mereka ini yang disebut sebagai akuntan.
Jadi, masih relevankah profesi akuntan saat ini dan ke depan?
Referensi:
[https://amci.or.id/blog/building-the-profession-through-accountancy-education-an-indonesian-perspective](https://amci.or.id/blog/building-the-profession-through-accountancy-education-an-indonesian-perspective)






