Oleh :Ferdy Moidady
Manusia adalah makhluk sosial. Sejak lahir, kita membutuhkan sentuhan, perhatian, dan pengakuan dari orang lain. Bayi yang baru lahir menangis bukan hanya karena lapar atau haus, tetapi juga karena ingin dipeluk, ditimang, dan dihargai keberadaannya. Dengan kata lain, kebutuhan akan validasi sosial adalah sesuatu yang alami dan fitri.
Namun, perjalanan hidup tidak selalu menyediakan ruang yang hangat. Banyak orang tumbuh dalam keluarga yang miskin apresiasi. Tidak ada ucapan sederhana seperti “terima kasih”, “kamu hebat”, atau bahkan sekadar senyum tulus saat mereka mencoba melakukan sesuatu. Keluarga yang seharusnya menjadi sumur pertama tempat seseorang meneguk penghargaan, justru kadang menjadi tempat yang kering dan gersang.
Ketika itu terjadi, manusia tidak berhenti haus. Ia akan mencari “air” di luar rumah. Dalam konteks hari ini, tempat paling mudah untuk mencari pengakuan adalah media sosial. Satu unggahan foto selfie, satu video joget, satu konten flexing, bisa mendatangkan ratusan komentar dan ribuan like. Rasanya seperti meneguk air yang segar—meski hanya sebentar.
Fenomena ini menjelaskan mengapa orang begitu rajin memamerkan pencapaian, mengulang-ulang selfie, hingga mengikuti tren joget-joget di TikTok. Bahkan ada yang memilih jalan ekstrem: menorehkan nama dirinya atau kelompoknya di tembok rumah orang, fasilitas umum, atau jembatan kota. Itu semua bukan sekadar “pamer” atau “iseng”, melainkan bentuk lain dari teriakan batin: “Aku ada, aku ingin dilihat, tolong hargai keberadaanku.”
Masalahnya, validasi yang dicari di luar diri selalu rapuh. Like bisa datang dan pergi. Hari ini kita mungkin viral, besok kita dilupakan. Rasa haus itu tidak pernah benar-benar terpuaskan. Kita masuk ke dalam lingkaran tak berujung: haus → mencari perhatian → mendapat pengakuan → haus lagi.
Lalu, adakah jalan keluar dari dahaga ini?
Jawabannya ada pada pengalaman spiritual. Bagi orang yang dekat dengan Tuhan, ia menemukan sumber validasi yang tak tergoyahkan. Ia merasakan bahwa dirinya selalu dilihat, dihargai, dan dicintai oleh Yang Maha Kuasa—bahkan ketika dunia diam membisu. Orang semacam ini tidak lagi mendasarkan harga dirinya pada tepuk tangan keluarga, apalagi pada jempol biru di layar ponsel.
Dalam tradisi keagamaan, pengalaman semacam ini sering disebut sebagai rasa cukup. Ia tidak lagi haus validasi karena sumber pengakuannya bukan berasal dari luar, melainkan dari keyakinan batin bahwa hidupnya memiliki nilai di hadapan Tuhan. Dari sinilah lahir ketenangan sejati: tidak peduli apakah dunia memuji atau mencibir, ia tetap teguh karena tahu siapa yang menjadi sandarannya.
Maka, esensi dari validasi sosial bukanlah sekadar soal “diakui orang lain”, melainkan soal dari mana kita meneguk air kehidupan. Bila sumur keluarga mengering, orang akan mencari di medsos atau di tembok kota. Tapi bila seseorang sudah menemukan mata air spiritual, ia akan selalu merasa cukup, meski dunia menutup mata terhadap keberadaannya.
Pertanyaannya kini adalah:
Apakah kita mau terus hidup dari pengakuan semu yang cepat hilang, ataukah kita berani menempuh jalan sunyi yang meneguhkan—yaitu menemukan validasi abadi dari Tuhan yang tidak pernah meninggalkan kita?
_(Cinere, Ahad 21 September 2025)_







