DepokNews-+Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (UI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Kecamatan Woyla Barat, Kabupaten Aceh Barat, pada 4 dan 6 September 2025. Kegiatan yang digelar di dua gampong berbeda, Alue Keumuneng dan Simpang Teumarom, menghadirkan aparat desa serta kelompok ibu-ibu untuk memotret kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan masyarakat transmigran.
FGD dilaksanakan dalam dua kelompok. Kelompok pertama diikuti unsur aparatur desa seperti keuchik (kepala desa), sekretaris desa, bendahara, kepala dusun, kepala seksi, ketua tuha peut, koperasi merah putih, BUMG serta perwakilan kelompok tani. Kelompok kedua melibatkan unsur ibu-ibu, mulai dari kader posyandu, kader lansia, ibu balita, ibu hamil, hingga ketua dan anggota PKK.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Ekspedisi Patriot UI yang digagas Kementerian Transmigrasi. Tim beranggotakan delapan mahasiswa lintas fakultas dengan didampingi dua dosen, Ners Astuti (Fakultas Ilmu Keperawatan) dan Eko (FMIPA. Hasil ekspedisi akan difokuskan pada dua keluaran utama rekomendasi evaluasi kawasan transmigrasi dan desain pengembangan komoditas unggulan spesifik yang sesuai dengan potensi lokal.
Pada FGD pertama di Gampong Alue Keumuneng, 4 September 2025, warga menyampaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Bidang pendidikan mendapat sorotan utama. Bu Zahra, guru SDN Batee Puteh I, mengungkapkan sulitnya akses jaringan internet yang membuat proses belajar masih mengandalkan buku dan media alam. “Kalau mau ada jaringan, harus naik ke gunung dulu,” ujarnya. “Laptop hanya ada untuk kepala sekolah, listrik pun tidak ada di kelas,” lanjutnya.
Selain itu, keterlambatan guru dari luar desa juga menjadi masalah. Jalan menuju sekolah rusak dan licin sehingga banyak guru baru tiba sekitar pukul 10. Hal ini membuat jam belajar anak-anak menjadi berkurang.
Dalam bidang pertanian, warga mengandalkan sawit sebagai komoditas utama. Namun, pupuk subsidi sulit didapat karena syarat administrasi yang rumit. “Kami ada kelompok tani, tapi tidak semua warga punya kartu kelompok. Akhirnya, pupuk tidak bisa dibeli,” ungkap seorang petani.
Persoalan lain yang mengemuka adalah banjir yang melanda pemukiman saat musim hujan. Air meluap dari lahan milik perusahaan yang berada di dataran lebih tinggi, kemudian mengalir ke wilayah desa yang lebih rendah. Kondisi ini membuat rumah warga dan jalan desa tergenang sehingga aktivitas sehari-hari terganggu.
Dua hari kemudian, 6 September 2025, FGD digelar di Gampong Simpang Teumarom. Keuchik Simpang Teumarom, Pak Yahya, menyebutkan bahwa kondisi jalan di wilayahnya masih sekitar 20 persen rusak. Dana desa yang terbatas membuat pembangunan jalan aspal belum terealisasi. Sementara jembatan Alue Kemuning yang menjadi akses vital masih dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
Di bidang pendidikan, permasalahan serupa terjadi. Tidak ada guru yang menetap di desa. Akibatnya, jam belajar sering molor hingga pukul 9 pagi, terutama saat cuaca buruk. “Anak-anak jadi kurang waktu belajar. Fasilitas sekolah juga masih minim,” ungkap Risma, salah seorang peserta FGD.
Layanan kesehatan juga dinilai sangat terbatas. Tidak ada bidan maupun tenaga medis yang menetap, sementara fasilitas puskesmas pembantu belum lengkap. “Kalau ada keadaan darurat, warga sulit mendapat pertolongan pertama. Harus ada nakes yang tinggal di desa dengan peralatan memadai,” tambah Risma.
Untuk kebutuhan ekonomi, warga Simpang Teumarom masih bergantung pada pasar mingguan di Pasie Mali dan Kuala Bhee. Akses pasar ini pun tidak selalu mudah mengingat kondisi jalan yang buruk.
Meski berbagai keterbatasan masih dihadapi, warga transmigrasi di Woyla Barat juga mengakui adanya manfaat dari program transmigrasi. Lahan pertanian dan perkebunan sawit yang mereka kelola saat ini menjadi sumber penghidupan utama, meskipun belum sepenuhnya optimal. Beberapa keluarga juga menyebut sudah memiliki rumah permanen yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Dari dua FGD tersebut, sejumlah isu krusial yang perlu diperhatikan, yaitu perbaikan jalan dan jembatan, penyediaan listrik, akses internet yang stabil, kehadiran guru dan tenaga kesehatan yang menetap, serta kemudahan mendapatkan pupuk subsidi.
Tim Ekspedisi Patriot UI mencatat seluruh aspirasi masyarakat. Nantinya, hasil FGD akan disusun menjadi rekomendasi resmi yang dibagi dalam dua fokus, yakni evaluasi kawasan transmigrasi serta pengembangan komoditas unggulan. “Harapannya, masukan warga ini dapat menjadi bahan bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk mengambil kebijakan yang lebih tepat sasaran,” ujar Ary Maulana, salah satu anggota Tim Ekspedisi Patriot.
Dengan berbagai persoalan yang telah terhimpun, warga Woyla Barat berharap ekspedisi ini tidak hanya berhenti pada pendataan, melainkan dapat membuka jalan bagi hadirnya perubahan nyata di kawasan transmigrasi. Program transmigrasi diharapkan tidak hanya menjadi program pemerataan penduduk, tetapi mampu menjadi solusi pemerataan pembangunan di Indonesia.







