Dwi Astuti Rosmianingrum Nainggolan SEAk. MBA. CA. PhD Dosen Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Pengantar: Mitos yang Perlu Dipatahkan
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa beberapa perusahaan besar di Indonesia memiliki performa harga saham yang mengecewakan meskipun memiliki Dewan Komisaris dan Direksi yang “lengkap” dengan banyak anggota Komisaris Independen? Atau sebaliknya, mengapa perusahaan-perusahaan keluarga dengan struktur kepemilikan yang terkonsentrasi pada anggota keluarga justru seringkali memberikan return yang menarik?
Sebagai seorang yang telah berkecimpung di dunia pasar modal Indonesia selama lebih dari dua dekade, saya menyaksikan langsung transformasi luar biasa yang terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari krisis finansial Asia 1997 hingga kini, pasar modal kita telah berkembang dari bursa domestik yang relatif kecil menjadi salah satu destinasi investasi paling dinamis di Asia Tenggara.
Tata kelola perusahaan adalah sistem hubungan yang didefinisikan oleh struktur dan proses antara pemegang saham (sebagai penyedia modal), manajemen perusahaan, dan pemangku kepentingan dalam memaksimalkan return investasi pemegang saham. Terdapat hubungan tertentu antara manajemen perusahaan dan pemegang saham perusahaan. Dengan demikian, Dewan Direksi bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris, yang pada gilirannya harus bertanggung jawab kepada seluruh pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Penelitian yang saya lakukan menguji peran Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dalam mendorong laporan keuangan berkualitas tinggi yang berhubungan dengan informativeness harga saham. Dalam penelitian ini, karakteristik Dewan terdiri dari ukuran Dewan Direksi (atau Board of Directors size atau “BoD size”), ukuran Dewan Komisaris (atau Board of Commisioners size atau “BoC size”), dan ukuran Independensi Dewan (proporsi jumlah Komisaris Independen terhadap total jumlah Komisaris).
Antara tahun 2007 dan 2019, sesuatu yang luar biasa terjadi di pasar saham Indonesia yang mungkin luput diperhatikan sebagian besar investor. Penelitian saya yang mencakup 240 Perusahaan (Emiten) selama kurun waktu 13 tahun mengungkapkan fakta menarik dalam konteks Indonesia dimana praktik tata kelola perusahaan yang “ideal” menurut standar global ternyata tidak selalu menghasilkan performa yang optimal.
Temuan ini penting untuk dipahami oleh investor Indonesia, karena mengubah cara pandang kita tentang bagaimana mengevaluasi kualitas investasi di pasar modal Indonesia.
Realitas Unik Komposisi Dewan di Indonesia
Struktur yang Lebih Ramping
Berbeda dengan perusahaan-perusahaan di negara maju seperti Amerika Serikat atau Spanyol yang memiliki BoD size dengan 9-10 orang anggota, Emiten Indonesia ternyata beroperasi dengan struktur yang jauh lebih ramping. Rata-rata Dewan Direksi Indonesia hanya terdiri dari 4-5 orang anggota, sementara BoC size juga berkisar di angka yang sama yaitu 4-5 orang anggota Dewan Komisaris. Persentase ukuran Independensi Dewan rata-rata mencapai 40%, yang sudah di atas minimum regulasi dipersyaratkan oleh OJK yaitu sebesar 30%.
Struktur yang ramping ini bukan kebetulan, melainkan mencerminkan karakteristik Emiten di Indonesia yang didominasi perusahaan keluarga dengan budaya pengambilan keputusan yang lebih terpusat.
Temuan Menarik: Efek Ukuran Dewan
Selanjutnya penelitian saya mengungkap paradoks yang menarik: perusahaan dengan Ukuran Dewan yang lebih besar justru menunjukkan harga saham yang kurang informatif. Artinya, pergerakan harga saham Emiten lebih mencerminkan noise pasar saham secara umum daripada informasi spesifik perusahaan.
Penelitian ini mengidentifikasi beberapa penyebab mengapa hal ini terjadi. Pertama, masalah koordinasi menjadi kendala utama karena terlalu banyak anggota dewan dapat menciptakan kebingungan dan memperlambat proses pengambilan keputusan. Akibatnya terlalu banyak suara yang harus didengar, kualitas diskusi dan pengambilan keputusan justru menurun. Selain itu, terjadi konflik antara kecepatan versus kelengkapan, dimana perusahaan keluarga Indonesia yang terbiasa dengan pengambilan keputusan cepat mungkin terhambat oleh Ukuran Dewan yang terlalu besar.
Sweet Size untuk Indonesia: Penelitian menunjukkan bahwa ukuran optimal adalah 5-9 orang direktur dan 4-8 orang komisaris.
Ilusi Independensi: Ketika Regulasi Bertemu Realitas
Salah satu temuan paling “mengganggu” dari penelitian ini adalah minimal dampak jumlah komisaris independen (Independent Board size) terhadap informativeness harga saham, meskipun secara regulasi sudah memenuhi persyaratan minimum 30%.
Paling tidak ada empat faktor utama yang menyebabkan ukuran independensi dewan komisaris tidak berfungsi optimal. Pertama adalah masalah compliance versus substansi, dimana banyak perusahaan menunjuk komisaris independen hanya untuk memenuhi regulasi tanpa mempertimbangkan independensi yang sesungguhnya. Seringkali komisaris “independen” masih memiliki hubungan bisnis atau personal dengan pemilik mayoritas. Kedua adalah keterbatasan otoritas, dimana komisaris independen mungkin tidak memiliki kekuatan signifikan untuk mempengaruhi keputusan perusahaan. Ketiga adalah kesenjangan informasi, dimana Dewan dari luar perusahaan seringkali tidak mendapat informasi yang cukup untuk melakukan pengawasan efektif. Keempat adalah hambatan budaya, dimana budaya bisnis Indonesia yang menghargai harmoni dan menghindari konfrontasi langsung dapat membatasi efektivitas pengawasan independen.
Lanskap Kepemilikan yang Unik
Indonesia memiliki karakteristik kepemilikan perusahaan yang unik dibandingkan negara lain. Karakteristik kepemilikan perusahaan Indonesia menunjukkan dominasi keluarga yang sangat kuat dan persisten. Rata-rata 69% kepemilikan dikuasai oleh lima pemegang saham terbesar, dengan beberapa perusahaan bahkan memiliki kepemilikan yang hampir 100% terkonsentrasi. Struktur kepemilikan keluarga ini bertahan meskipun perusahaan sudah go public selama lebih dari 20 tahun.
Konsentrasi kepemilikan seperti pedang bermata dua yang memiliki sisi positif dan negatif. Dari sisi positif, struktur ini memungkinkan pengambilan keputusan yang cepat, menciptakan fokus jangka panjang karena pemilik tidak mudah melakukan exit, dan menunjukkan komitmen terhadap keberlangsungan perusahaan. Namun dari sisi negatif, terdapat risiko tunneling atau transfer aset untuk kepentingan pemilik mayoritas, perlindungan pemegang saham minoritas yang lemah, dan transparansi yang terbatas.
Tantangan Tambahan: Keberagaman dan Keahlian
Meskipun tidak dicover secara kuantitatif dalam penelitian, anggota Dewan perusahaan menghadapi tantangan dalam hal representasi dan keahlian. Hasil beberapa penelitian lain di Indonesia menunjukkan masalah representasi yang meliputi keterwakilan perempuan yang terbatas, latar belakang profesional yang kurang beragam, dan pengalaman internasional yang terbatas. Sementara dari sisi keahlian, banyak Dewan yang kekurangan expertise dalam transformasi digital, pengetahuan pasar internasional, dan pengalaman ESG (Environmental, Social, Governance).
Jalan ke Depan: Evolusi Governans Indonesia
Tata kelola perusahaan Indonesia sedang berevolusi, namun perubahan memerlukan waktu. Setidaknya terdapat tiga prioritas perbaikan jangka pendek. Pertama adalah right-sizing ukuran Dewan dengan menghindari mentalitas “semakin banyak semakin baik” dalam komposisi Dewan. Kedua adalah menciptakan independensi sejati dengan menunjuk komisaris independen yang benar-benar independen dan memiliki keahlian yang relevan. Ketiga adalah meningkatkan transparansi dengan mengungkapkan lebih baik aktivitas dewan dan proses pengambilan keputusan kepada publik.
Pesan utama penelitian ini jelas: dalam corporate governance Indonesia, yang penting bukan memiliki ukuran Dewan yang terbesar – melainkan memiliki orang yang tepat dengan keahlian yang mendukung sehingga membuat keputusan yang tepat untuk semua stakeholder.







