Oleh: Sapto Waluyo
DepokNews–Cuitan pendiri pasar daring BukaLapak (@achmadzaky) tentang rendahnya anggaran riset dan pengembangan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain telah menimbulkan kontraversi nasional. Bahkan, menjadi trending topic global. Semua gegara, Zaki berharap semoga ada perubahan kebijakan di tangan ‘presiden baru’.
Para netizen yang super sensitif segera menyerang Zaki yang dipandang hanya mencari sensasi. Padahal, twit jahanam itu diketik pada waktu malam menjelang rehat (13 Februari 2019, jam 10. 25 PM). Baru keesokan paginya Zaky ngeh banyak respon pro-kontra di lini masanya. Karena dianggap tidak tahu terima kasih, netizen yang sewot melancarkan gerakan #UninstallBukalapak. Dalam waktu singkat, tagar itu berada di puncak TT nasional.
Tetapi, di kalangan netizen ternyata banyak pula yang simpati pada Zaky. Meski diakui salah kutip data, namun maksudnya benar untuk mendorong kebijakan risbang, bila Indonesia serius menuju industri level 4.0. Soal sosok presiden baru bisa siapa saja (tidak otomatis Prabowo), mungkin Jokowi bila terpilih lagi. Yang mengejutkan, sebagai reaksi atas gerakan boikot BukaLapak, sebagian netizen menginisiasi tagar tandingan #UnistallJokowi yang tetiba menjadi TT global. Akibatnya, isu domestik itu berubah menjadi percakapan lintas negara.
Perang tagar itu menarik untuk disimak, bahkan dijadikan topik riset. Sudah banyak skripsi, tesis atau disertasi yang membahas twitwar sejak era internet melanda Indonesia. Namun, di sini kita tak akan membahasnya lebih jauh. Saya hanya terganggu dengan sebagian netizen yang sangat reaktif dan memberi label negatif kepada Zaky yang mungkin sedang iseng atau keseleo. Padahal, Zaky sudah minta maaf apabila cuitannya menimbulkan mispersepsi (14 Februari 2019, jam 19.54). Tak cukup berkicau, Zaky datang langsung ke Istana Negara untuk bertemu Presiden Jokowi yang ditemani Mensesneg Pratikno dan mantan Kepala Staf Presiden Teten Masduki.
Walau sudah minta maaf, sumpah serapah masih ditujukan kepada pengusaha muda kelahiran Sragen, 32 tahun lalu (24 Agustus 1986) itu. Pencari sensasi tidak tahu berterima kasih, anak durhaka yang menikam ‘ayahnya’, kampret berlagak lugu, orang kaya baru (OKB) yang arogan, CEO milenial tak beradab, atau Unicorn lupa asalnya. Zaky seperti manusia lain yang tidak saya kenal. Bak monster jahat berubah wujud.
Perkenalan saya dengan Zaky dan kawan-kawannya di Bandung berlangsung singkat, sekitar tahun 2007-2008, lebih satu dekade lalu. Waktu itu dia mahasiswa serius dengan kacamata minus untuk ukuran ITB (Institut Teknologi Bandung) yang penuh dinamika politik. Saya nggak tahu kelakuannya di kampus Ganesha, karena seringnya bertemu di asrama PPSDMS NF, Jalan Tubagus Ismail, Bandung. Seingat saya, kamarnya paling berantakan karena dibuat ngoprek komputer atau hape dan entah apa lagi.
Sebagai trainer jurnalistik waktu itu, tugas saya memang transfer pengalaman dan keterampilan: bagaimana menulis efektif tapi sekaligus kreatif. Soal kerapihan dan kebersihan kamar, itu tanggung-jawab pribadi masing-masing. Mahasiswa mah sudah dewasa, nggak perlu diawasi ketat, walau ada supervisor. Biasanya saya mengisi dua sessi, kelas malam akhir pekan dan besok subuh harinya.
Asrama Tubagus diisi 20 mahasiswa, masing-masing 10 orang dari ITB dan Universitas Padjadjaran (Unpad). Bisa terbayang ya suasananya, gajah dan beruang dalam satu kandang. Sependek ingatan saya, dalam soal tulis-menulis, mahasiswa Unpad lebih produktif dibanding ITB. Zaky dan genk ITB lebih mahir bikin proposal bisnis atau prototipe aplikasi untuk kompetisi teknologi. Kala sedang mengisi kelas malam, saya sering melihat beberapa mahasiswa ambil posisi di pojok ruangan. Bergaya serius mendengarkan, padahal diam-diam mendengkur ketiduran.
Alhamdulillah, teori dan praktek jurnalistik yang saya sampaikan berfungsi sebagai pengantar tidur yang nyaman. Kasihan anak-anak muda itu, dikuras energinya di kampus dan dicekam masa depan yang belum pasti: mau nulis skripsi tentang apa, mau kerja di mana, mau menikah dengan siapa (itu juga kalau ada yang berminat)? Saya percaya, di alam bawah sadar sebagian mahasiswa itu akan tertanam kebajikan yang akan bertahan sepanjang hidup mereka. Karena itu, saya sebagai trainer harus serius, nggak boleh ngantuk. Bisa bubar majelis, bila saya tergeletak di tengah ruangan diskusi.
Demi menarik perhatian mahasiswa peserta kelas jurnalistik, saya beri resep sederhana: menulislah seperti kita berpikir dan bercakap-cakap. Jujur mengalir. Orang yang berpikir waras tentu berbicara dengan tertib dan pada gilirannya akan menulis dengan sistematis. Untuk itu, saya sarankan bagi rekan-rekan mahasiswa yang belum lancar menulis, agar berbicara bebas (lebih bagus lagi: berpidato) dan direkam, lalu rekaman itu ditranskrip. Maka, jadilah sebuah tulisan spontan. Tinggal diedit dan ditambahi referensi yang memadai.
Lha, bagaimana bagi mereka yang tidak pandai ngomong atau pidato? Ini perlu kelas khusus. Pelatihan creative writing memang erat kaitannya dengan public speaking. Itu salah satu syarat jadi pemimpin. Kebetulan Asrama PPSDMS punya logo dan motto: Create Future Leaders.
Saya tegaskan salah satu prinsip: orang yang berpikir waras, maka omongannya akan waras dan tulisannya juga akan waras. Jadi, sejak satu dasawarsa lalu, kami sudah menumbuhkan dan mempertahankan akal sehat. Perbedaan pendapat merupakan hal lumrah, sehingga opini yang tertuang dalam artikel mahasiswa juga bervariasi. Saya tak ingat, apakah Zaky pernah mengirimkan artikel karyanya untuk saya bahas. Tapi, saya biasa membaca artikel mahasiswa yang melompat-lompat seperti kijang yang lari dari kejaran singa.
Ketika membaca twit Zaky yang bikin geger jagat maya itu, saya teringat kelas malam yang dingin tetiba menjadi hangat karena seluruh peserta menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Saya khawatir, suara mahasiswa yang nyaring akan mengganggu tetangga yang mungkin sedang menonton acara televisi bersama keluarga. Yang paling membekas dalam memori hingga hari ini, teriakan lantang para mahasiswa tentang “Idealisme Kami”:
“Kami ingin agar bangsa ini mengetahui bahwa kami membawa misi yang bersih dan suci, bersih dari ambisi pribadi, kepentingan dunia dan hawa nafsu. Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia, tidak mengharap harta benda atau imbalan lain, tidak juga popularitas apalagi sekadar ucapan terima kasih.”
Zaky yang telah merintis perusahaan BukaLapak bersama dua orang rekannya dari garasi mobil, saya yakin masih memegang idealisme itu. Tahun 2010, dia membawa proposal dengan anggaran puluhan juta rupiah. Saya menyesal, tidak membeli saham BukaLapak delapan tahun lalu hanya dengan modal ratusan ribu rupiah. Sekarang, BukaLapak telah menjadi salah satu Unicorn dengan omzet transaksi total sekitar Rp 1 triliun per bulan dan menampung 4 juta pelapak UMKM. Membantu pedagang kecil telah menjadi obsesi Zaky dan mengingatkan pada perjuangan orangtuanya di kampung. Achmad Zaky Syaifudin tahu persis penderitaan rakyat kecil karena pernah gagal dan bangkrut sebagai penjual mie ayam.
Kepada netizen yang masih bersikukuh tentang Zaky sebagai pemburu sensasi, durhaka, arogan, tak beradab, dan kampret; saya sarankan untuk belajar menulis lagi. Karena menulis yang baik akan membantu kita berpikir lebih baik. Atau sebaliknya, belajar berpikir: karena berpikir yang tertib akan membimbing kita untuk menulis opini yang jernih. []
Jaringan Media Profetik (JMP)
Email: sapto.waluyo@gmail.com
Twit/Insta: @sapto_waluyo