Calon Tunggal Pilkada dan Ancaman Demokrasi

Jumari Suyudin, M.Si. Peneliti Center for Indonesian Reform (CIR)

Jumari Suyudin, M.Si. (Peneliti Center for Indonesian Reform (CIR))

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 baru saja dilaksanakan dengan segala dinamikanya. Meskipun dilaksanakan dalam keadaan new normal (adaptasi kebiasaan baru), namun hal itu diharapkan  tidak mengurangi legitimasi rakyat, sehingga mampu dilaksanakan secara demokratis dan bisa melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang lebih baik dan berkualitas.

Kalau ditelisik kembali ke belakang, Pilkada serentak secara nasional pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015, sejak disahkannya UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015. Proses Pilkada tidak selamanya berjalan linier, sangat dinamis dan cair, kadang disertai dengan sedikit kejutan. Misalnya ketika muncul calon tunggal di beberapa daerah, KPU seperti mengalami kebingungan, sebab ada semacam kekosongan landasan hukum.

Kemudian dengan hadirnya keputusan MK, PMK Nomor 2 Tahun 2015, berikutnya diubah menjadi PMK Nomor 2 Tahun 2017 memberi jawaban atas kebuntuan KPU atas realita tersebut. Dimana ketika terjadi setelah sampai batas waktu pendaftaran yang telah ditentukan selesai, dan calon peserta Pilkada hanya diikuti oleh sepasang calon (calon tunggal), maka Pilkada tetap bisa dilaksanakan.

Hingga saat ini, Pilkada serentak telah dilaksanakan sebanyak empat kali yaitu tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020. Tentu dengan berbagai macam problematikanya. Pilkada yang merupakan salah satu instrumen penting dalam demokrasi diharapkan bisa menghasilkan kepemimpinan daerah berkualitas dan memiliki legitimasi kuat. Fenomena calon tunggal dalam Pilkada merupakan tantangan tersendiri bagi demokrasi di tingkat lokal. Sering disebut sebagai salah satu tanda defisit demokrasi, ketika prosedur demokrasi formal tidak mencerminkan partisipasi warga yang sesungguhnya.   

Sejak Pilkada secara serentak mulai dilaksanakan, tidak semua daerah mampu memunculkan calon pasangan lebih dari satu. Ada beberapa daerah yang menampilkan satu calon.

Pertama, pada tahun 2015. Menurut data KPU, Pilkada dilaksanakan di 269 daerah, yang terdiri atas 20 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di 9 provinsi, 676 pasangan calon bupati dan wakil bupati di 223 kabupaten, serta ada 114 pasangan calon walikota dan wakil walikota di 36 kota. Di tengah euforia menyambut pelaksanaan Pilkada secara langsung, ada hal yang masih menjadi masalah yaitu dengan munculnya calon tunggal. Dalam Pilkada serentak tahun 2015 ditemukan ada sebanyak 4 daerah yang memiliki calon tunggal, yakni Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur), dan Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat).

Kedua, Pilkada serentak tahun 2017. Dalam Pilkada kali ini KPU menetapkan 101 wilayah di Indonesia yang akan melaksanakannya. Dengan rincian 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Lebih jelas Pilkada diikuti 328 pasangan calon yang terdiri dari 25 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, 246 pasangan calon bupati dan wakil bupati, dan 57 pasangan calon wali kota dan wakil wali kota. Untuk calon tunggal, di tahun 2017 ada  9 daerah yaitu, Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Lampung), Kabupaten Pati (Jawa Tengah), Kabupaten Landak (Kalimantan Barat), Kabupaten Buton (Sulawesi Tengara), Maluku Tengah (Maluku), Kota Jayapura (Papua), Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), dan Kota Sorong (Papua Barat).

Ketiga, Pilkada tahun 2018. Kontestasi Pilkada ini dilaksanakan di 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Tercatat 569  pasang calon, sebanyak 57 calon mendaftarkan diri untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur. Kemudian sebanyak 373 calon untuk pemilihan bupati/wakil bupati dan sisanya sebanyak 139 calon mendaftar untuk pemilihan walikota/wakil walikota di 39 kota. Dalam Pilkada ketiga secara serentak ini terdapat 11 calon tunggal yang tersebar di beberapa daerah yaitu Kota Prabumulih (Sumatera Selatan), Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara), Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan), Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), Kabupaten Jayawijaya (Papua), dan Kabupaten Padang Lawas Utara (Sumatera Utara).

Keempat, Pilkada tahun 2020. Pilkada kali ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan kompetisi sebelumnya, dimana berlangsung di tengah pandemi Covid-19, dengan suasana setengah dipaksakan. Tuntutan masyarakat agar pilkada ditunda tidak bias dipenuhi. Menurut data KPU, ada 270 daerah yang melaksanakan Pilkada, dengan perincian 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Pilkada diikuti sebanyak 715 pasangan calon, dengan rincian: 24 pasang calon gubernur dan wakil gubernur, serta 691 pasangan adalah calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota. Yang menarik dikaji, Pilkada kali ini diikuti pasangan calon tunggal lebih banyak, yakni 25 pasangan calon tunggal yang meliputi daerah Kabupaten Badung (Bali), Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Kebumen, Kota Semarang (Jawa Tengah), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB), Kabupaten Soppeng, Kabupaten Gowa (Sulsel), Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua), Kabupaten Bengkulu Utara (Bengkulu), Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Gunung Sitoli, Kabupaten Pematang Siantar (Sumatera Utara), Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Kertanegara (Kalimantan Timur), Kabupaten Kediri, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur), Kabupaten Mamuju Tengah (Sulawesi Barat), Kabupaten Manokwari Selatan (Papua Barat), Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), Kabupaten  Pasaman (Sumatera Barat).

Berdasarkan data tersebut, kecendrungan munculnya calon tunggal dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal itu menjadi evalusi bersama antara pemerintah dan partai politik serta lembaga-lembaga terkait yang mempunyai perhatian serius terhadap proses demokratisasi. Bila gejala itu dibiarkan terus terjadi, maka Indonesia mungkin mengalami kekurangan stok kepemimpinan daerah (defisit kepemimpinan lokal). Gejala itu tentu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi kita. Dalam khasanah ilmu politik ada istilah all politics is local (semua peristiwa politik sesungguh bersifat local). Locus politik Indonesia selama ini terlalu terpusat secara nasional, sehingga cenderung mengabaikan heterogenitas relasi dan problema lokal. Pilkada perlu didorong agar mampu memunculkan tokoh-tokoh lokal berkualitas untuk menjawab persoalan lokal yang benar-benar dirasakan warga. Sehingga daerah bisa menjadi basis-basis perubahan bagi bangsa Indonesia.

Untuk menekan gejala calon tunggal dalam pilkada, sehingga demokrasi bermakna perluasan partisipasi sekaligus penguatan kepemimpinan daerah, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan terutama oleh partai politik.

Pertama, penguatan struktur parpol. Partai politik memiliki peran yang sangat strategis sebagai jembatan penyambung antara kepentingan masyarakat dengan kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sehingga diharapkan kebijakan tersebut merupakan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat. Penguatan struktur partai di tingkat daerah menjadi sangat penting. Dari tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan hingga tingkat Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Dengan demikian partai politik memiliki mata dan telinga yang siap menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat melalui para wakil-wakilnya yang duduk di lembaga pemerintahan. Meminjam istilah faction (kelompok politik) dari James Madison, dapat disimpulkan bahwa kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi merupakan konsekuensi, bahkan bawaan (nature) atas pengakuan dan jaminan partisipasi golongan-golongan (faction) yang hidup dalam masyarakat (Nurul Fajri, 2019). Jangan sampai ada aspirasi kelompok warga yang terabaikan dan akhirnya berwujud kotak kosong dalam pilkada.

Kedua, memunculkan tokoh-tokoh lokal. Center for Indonesian Reform (CIR) melakukan survei pada 1-3 Desember 2020 terkait persepsi warga Kota Depok atas Pilkada 2020. Survei tersebut memperlihatkan dimensi kelompok umur responden, dimana lebih dari 80 persen pemilih adalah mereka yang berumur di bawah 50 tahun. Sisanya berumur di atas 50 tahun (20 persen). Hal itu menunjukkan bahwa bonus demografi, bertambahnya jumlah penduduk usia produktif secara signifikan telah terjadi. Meningkatnya penduduk usia produktif pada era ini didominasi generasi Y atau generasi milenial. Dalam bisnis, banyak sekali melenial yang sukses, seperti Yasa Paramita Singgih, 23 tahun, dengan Men’s Republic           e-Commerce, Leonika Sari Njoto, 25 tahun, dengan Reblood, Abraham Viktor, 25 tahun dengan Taralite, dan masih banyak yang lainnya. Dalam konteks politik, partai politik harus mengambil peran dengan melakukan rekrutmen dan pengkaderan serta mendorong munculnya para milenial untuk menjadi pemimpin-pemimpin lokal. Sehingga mereka bisa mengambil peran strategis bagi pembangunan daerahnya. Jika para milenial mengambil peran dalam politik, maka munculnya calon tunggal bisa diminimalisir karena partai mempunyai banyak tokoh dan masyarakat punya banyak pilihan untuk dijadikan pemimpin. Tidak ada lagi istilah 4L (Loe Lagi Loe Lagi). Sirkulasi elite politik didorng mulai dari tingkat daerah. Namun, upaya rejuvenasi politik itu harus disadari bisa bersinggungan dengan resiko politik dinasti. Sebagaimana kita saksikan dalam fenomena tampilnya Gibran Rakabuming Raka (putra Presiden Jokowi) dan Bobby Nasution (menantu presiden) dalam pilkada Kota Solo dan Medan (Harian Tempo, 10 Desember 2020).

Ketiga, pendidikan politik masyarakat. Secara umum pendidikan politik dimaknai sebagai usaha untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan hak dan kewajibannya secara politik. Sehingga masyarakat mempunyai pemahaman yang utuh tentang politik. Dalam konteks Pilkada, masyarakat tidak mudah tergiur tawaran-tawaran politik uang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Saat ini modus atau cara melakukan politik uang sangat beragam, bisa berupa memberikan uang kontan dalam amplop, saat malam atau pagi hari menjelang hari pemilihan, atau lebih dikenal dengan serangan fajar. Modus lain dengan memberikan bantuan sembako, serta dijanjikan sesuatu yang bernilai, dengan catatan jika di wilayah tersebut calon yang bersangkutan memperoleh suara terbanyak. Itu terjadi hampir di seluruh willayah, sehingga politik uang masih menjadi cara ampuh untuk memperoleh dukungan. Apalagi dalam Pilkada saat ini, dimana rakyat hidup dalam tekanan ekonomi akibat Covid-19. Membangun kesadaran dan pemahaman melalui pendidikan politik kepada masyarakat sangat penting agar masyarakat memiliki kemandirian dalam bersikap.

Memang memerlukan waktu yang cukup lama, namun harus terus dilakukan, agar demokrasi kita menjadi lebih berkualitas. Kita mengecam keras korupsi dana bantuan sosial yang melibatkan Menteri Sosial dan petinggi partai politik besar, karena tidak hanya merampas kesejahteraan warga, melainkan juga meruntuhkan kepercayaan terhadap pemerintah dan partai politik berkuasa. Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengusut tuntas perkara itu karena terjadi menjelang momen Pilkada dan tidak mustahil dilakukan untuk mempengaruhi proses Pilkada. []

Published
Categorized as Opini