Oleh: Rachman Untung Budiman, S.E., M.B.A.
(Dosen Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Pendahuluan
DepokNews–Mahasiswa yang mempelajari bidang investasi/keuangan hampir dipastikan mengenal baik CAPM (Capital Asset Pricing Model) yang digagas William Sharpe pada tahun 1964. Sharpe menerima hadiah Nobel di bidang Ekonomi pada tahun 1990 atas kontribusi CAPM tersebut dalam penentuan keseimbangan harga aset di pasar modal.
Ironisnya CAPM menjadi salah satu topik yang paling sering diperdebatkan terkait bukti empiris terhadap validitas CAPM di pasar saham. Akademisi Fama & French dalam artikel “The CAPM is Wanted, Dead or Alive” yang dimuat di Journal of Finance Desember 1996 menyatakan bahwa secara empiris CAPM gagal menjelaskan return saham di pasar modal Amerika Serikat.
Ulasan berikut ini berupaya memberikan gambaran keterbatasan aplikasi CAPM dalam pasar saham secara umum.
Teori CAPM
Harga aset keuangan secara teori didasarkan pada prinsip “high risk-high return, low risk-low return”. Dalam teori CAPM, investasi dalam satu atau beberapa saham terlalu berisiko sehiggga investor saham harus memiliki portfolio saham yang terdiversifikasi. Dengan kata lain risiko dalam berinvestasi saham adalah risiko fluktuasi return dari pasar saham yang diwakili oleh indeks harga saham tertentu. Dengan demikian risiko saham tertentu dihubungkan dengan seberapa besar risiko saham tersebut dibandingkan risiko pasar saham (beta saham). Semakin tinggi risiko sahamnya i.e. beta saham, maka semakin tinggi pula tuntutan return terhadap saham tersebut dibandingkan return pasar. Formulasi hubungannya adalah sebagai berikut:
E(ri) = rf + Beta (E(rm) – rf)
E(ri): harapan return dari saham i
Rf: tingkat bunga bebas risiko (obligasi pemerintah)
Beta: risiko relatif saham i terhadap risiko pasar saham
E(rm): harapan return dari pasar saham (diwakili oleh indeks harga saham tertentu)
Aplikasi CAPM
Sebagaimana model keuangan pada umumnya, maka dibalik formulasi/model perhitungannya ada asumsi-asumsi yang mendasarinya. Dengan demikian, aplikasi CAPM dalam praktiknya akan tergantung pada pemenuhan asumsi-asumsi tersebut di dunia nyata. Beberapa asumsi dasar dari CAPM diantaranya: investor tidak memiliki kemampuan untuk memengaruhi harga pasar, informasi terkait analisis saham tersedia secara umum dan tanpa biaya, tidak ada pajak atas hasil investasi saham, dan tidak ada biaya transaksi saham.
Bagaimana jika dalam praktiknya ada asumsi CAPM yang dilanggar/tidak terpenuhi? Tentu akan berakibat kepada validitas CAPM tergantung dari asumsi mana yang dilanggar. Terkait pemenuhan terhadap asumsi pertama yakni investor tidak dapat memengaruhi harga pasar, hampir dapat dipastikan tidak terjadi. Dalam dunia nyata, investor institusi seperti pengelola reksa dana, pengelola dana pensiun, dan pemilik mayoritas saham perusahaan publik memiliki kemampuan ekonomi/dana yang jauh lebih tinggi dibandingkan investor individu. Dengan kata lain pasar saham akan selalu didikte oleh investor kakap, dimanapun pasar itu berada.
Seberapa jauh pasar saham terdistorsi oleh aksi investor kakap akan dipengaruhi juga oleh kelembagaan dan peraturan pasar modal masing-masing negara. Di negara yang lebih maju dengan kelembagaan dan peraturan pasar modal yang kuat serta penegakan hukum yang nyata, distorsi terutama dalam kaitan manipulasi pasar saham masih terjadi. Jika bukti empiris di pasar saham Amerika Serikat yang sudah ada sejak tahun 1792 saja mempertanyakan validitas CAPM, apalagi validitas CAPM di pasar saham negara berkembang seperti Indonesia yang tentunya masih tertinggal dari pasar saham Amerika Serikat.
Sebaran kepemilikan perusahaan publik merupakan salah satu indikator terpenuhinya asumsi pertama. Data kepemilikan saham di Amerika Serikat, khususnya 50 perusahaan publik dengan kapitalisasi pasar tertinggi menunjukkan tidak adanya pemilik mayoritas atau lebih dari 50% modal saham yang dikeluarkan. Di Indonesia, 50 perusahaan publik dengan kapitaliasi pasar tertinggi umumnya dikuasai/dikendalikan oleh pemegang saham mayoritas tertentu seperti pemerintah, grup usaha asing atau grup usaha lokal.
Jika demikian sulitnya asumsi pertama dipenuhi, bagaimana penjelasan jika ada penelitian empiris yang mendukung validitas CAPM? Apakah jika ada satu bukti dengan demikian otomatis CAPM masih valid? Mengingat kondisi asumsi pertama yang hampir tidak dapat dipenuhi, maka hasil penelitian tersebut sejatinya lebih merupakan anomali atau suatu kebetulan daripada dukungan terhadap validitas CAPM.
Kesimpulan
Model keuangan selalu memiliki asumsi-asumsi penting agar model tersebut secara teoritis diterima. Kesulitan terjadi manakala bukti empiris yang menyangkal validitas model tersebut. Apakah dengan demikian teori CAPM tidak benar karena bukti empirisnya tidak mendukung? Apakah otomatis tidak ada manfaat dari teori CAPM? Sebagai teori, CAPM memberikan kontribusi berupa diversifikasi dan risk-return trade-off terlepas dari bukti empirisnya. Sedangkan aplikasi dan validilitas CAPM di pasar modal khususnya saham, sangat terbatas mengingat asumsi pertama hampir pasti tidak dapat dipenuhi.







