Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform/CIR)
Setiap memperingati Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw, saya selalu menangis. Karena membayangkan ujian keimanan pada kaum Muslim terdahulu yang demikian berat. Pada tahap awal mereka membangun keyakinan baru, aqidah tauhid kepada Allah Yang Mahaesa, mereka telah diuji dengan peristiwa yang mengguncang akal manusia normal.
Nabi Muhammad Saw bercerita, pada suatu malam ditemani malaikat Jibril as, berziarah dari Masjid al-Haram di Mekah ke Masjid al-Aqsha di negeri Syam (Palestina). Jarak kota Mekah ke Baitul Maqdis sekitar 1.486 kilometer, tidak terbayangkan bagaimana sulitnya menempuh perjalanan jauh itu, apalagi di waktu malam. Dengan menggunakan mobil di masa kini saja, perjalanan darat Mekah ke Al-Quds bisa ditempuh 15-16 jam.
Muhammad Saw mengungkapkan perjalanan itu hanya ditempuh dalam waktu sekejap. Siapa percaya? Statusnya sebagai al-Amin (orang yang terpercaya) segera dipertanyakan. Sejak menyampaikan wahyu Allah yang pertama kali, “Iqra”, Muhammad Saw telah dituduh dengan berbagai gelar seram: penyebar kabar bohong, pemecah-belah masyarakat, pembenci ajaran nenek-moyang, tukang sihir atau juru dongeng.
Ketika Nabi Muhammad Saw menyatakan, bukan hanya “terbang” ke Baitul Maqdis, melainkan juga “mengangkasa” dari Masjid al-Aqsha ke Sidratul Muntaha; maka orang-orang menyebutnya gila (na’udzu billah min dzalik). Kosakata terbang, apalagi mengangkasa, belum ada dalam benak warga Arab Jahiliyah; termasuk juga bagi peradaban Persia dan Romawi yang lebih maju kala itu.
Hanya satu orang yang langsung percaya, ketika Muhammad Saw membeberkan kisah perjalanan super istimewanya. “Bila engkau menceritakan yang lebih dari itu, aku percaya,” kata Abu Bakar, sahabat yang setia. Karena itu, ia diberi gelar Ash-Shiddiq (yang paling benar/jujur). Di situ tampak jelas, loyalitas total seorang Mu’min kepada pemimpin yang ditaatinya.
Tiga belas abad kemudian, baru orang menyaksikan perjalanan kilat mungkin dilakukan dari suatu kota ke kota lain di dunia. Bahkan, perjalanan menembus angkasa raya bukan lagi suatu perkara yang mustahil. Meskipun, kecepatan Buraq sebagai kendaraan yang dinaiki Muhammad Saw belum ada yang bisa menandingi.
Peristiwa Isra dan Mi’raj, bila direnungkan lebih dalam, tidak hanya membuktikan kekokohan iman, kesinambungan risalah para Nabi dan Rasul, serta kewajiban shalat yang paling utama. Tetapi, juga menantang kecerdasan manusia sepanjang zaman, untuk membongkar rahasia alam semesta.
Dalam surat Ar-Rahman (55) ayat 33, Allah Swt berfirman: “Wahai seantero jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak akan sanggup menembusnya, kecuali dengan kekuatan.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat itu berkaitan dengan kemahakuasaan Allah Swt yang Maha Melihat dan Meliputi segala sesuatu. Sehingga jin dan manusia yang berbuat lalai tidak akan sanggup melarikan diri dan bersembunyi dari pengawasan Allah swt, di segenap pelosok langit dan bumi manapun. Tak ada yang luput dari kontrol Allah Yang Mahateliti.
Dalam pemahaman modern, ayat tersebut juga mengisyaratkan kemungkinan jin dan manusia menjelajahi langit dan bumi yang penuh misteri. Perkembangan ilmu dan teknologi modern kemudian menunjukkan manusia mampu membuat pesawat terbang dan pesawat luar angkasa. Manusia juga mampu merancang kapal selam dan menembus perut bumi. Kekuatan ilmu mendukung kemantapan iman.
Bagi kaum Muslimin, keimanan yang lurus dan benar lebih bernilai, karena mengatasi segala pengetahuan lain. Tatkala sebagian manusia masih terjebak kejahiliyahan dan keterbelakangan peradaban, kaum Muslimin telah membangun visi peradaban yang melampaui zamannya. Seluruh manusia terkagum-kagum dengan ucapan, pemikiran dan perilaku kaum Muslim di era perintis (as-sabiqun al-awalun) yang bersumber dari al-Qur’an al-Karim.
Segala perkara yang merupakan prinsip-prinsip kehidupan di dunia dan akhirattercantum dalam al-Qur’an, tak ada yang terlewatan. Tak ada pula keraguan atau kontradiksi di dalamnya. Bila ada ayat yang belum dipahami manusia, itu karena keterbatasan akalnya. Rahasia Allah Swt hanya sedikit yang diberikan kepada manusia.
Di antara rahasia itu adalah posisi penting Masjid al-Aqsha di Palestina. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isra (17) ayat 1: “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepada hamba tersebut tanda-tanda kekuasaan Kami. Sungguh Dia (Allah) yang Mahamendengar dan Mahamengetahui.”
Masjid al-Aqsha adalah salah satu rumah ibadah tertua di dunia, yang dibangun kembali di masa Khalifah Umar ibn Khathab ra membebaskan Palestina. Bangunan suci itu merupakan simbol kedamaian seluruh pemeluk agama samawi: Yahudi, Kristen dan Islam; sebagaimana dilukiskan oleh pemikir Kristen, Karen Armstrong.
Sejarah modern menorehkan tragedi, gerakan Zionis ekstremis telah merusak kesucian dan kedamaian al-Quds dengan melakukan teror terhadap penduduknya. Zionis menekan pemerintah protektorat Inggris yang semakin melemah pasca Perang Dunia II, hingga diproklamasikannya negara Israel secara sepihak. Amerika Serikat pertama sekali yang mengakui kemerdekaan Israel tahun 1948.
Bangsa Palestina yang terjajah dan terusir dari kampung halamanya sendiri tidak menyerah, mereka lakukan perlawanan dari generasi ke generasi. Saya bersyukur bisa bertemu dengan Syekh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual HAMAS (Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyah) yang mengobarkan gerakan Intifadlah untuk pertama kali (1987). Saya berkunjung ke Palestina sebagai wartawan, sekitar tahun 1995 untuk mewawancarai Syekh Yassin yang baru dibebaskan dari penjara rezim Zionis.Saya mendapat kontak beliau dari Abdul Aziz Rantisi dan Khaled Misy’al.
Di rumahnya yang sederhana di tepi kota Gaza, dan dari atas kursi rodanya, Syekh Yassin menjawab pertanyaan wartawan dari berbagai media internasional dengan tegas dan lugas. Ada wartawan dari Perancis (Le Monde dan Le Figaro) serta Inggris (Guardian) yang antri interview. Saya mewakili Majalah Gatra, ditemani seorang rekan mahasiswa Indonesia (almarhum M. Taufik Ridho) yang kuliah di Universitas Islam, Yordania.
Keberkahan masjid al-Aqsha dan negeri Palestina tidak berkurang, walaupun kondisinya hancur-lebur dibombardir tentara Zionis. Kondisi warganya amat memprihatinkan di tengah blokade berkepanjangan, namun optimisme tergambar dalam wajah-wajah yang penuh perjuangan. Bangsa Palestina menunjukkan sebagai bangsa yang paling tangguh dalam menghadapi penindasan paling keji dalam sejarah dunia. Dan negara-negara di dunia seakan tak kuasa menghadapi kebrutalan regim apartheid Israel.
Bangsa Palestina memperlihatkan sisi lain dari hikmah Isra dan Mi’raj, bahwa kemuliaan dan kejayaan umat tak bisa diraih hanya dengan kemantapan iman, namun harus diikuti kekuatan fisik/pertahanan dan solidaritas umat sedunia. Kemerdekaan sejati pasti akan datang. Waktunya sudah amat dekat. []