Hidayat Nur Wahid : Masa Depan Indonesia ditentukan Kaum Muda Paham Sejarah

            Peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia biasanya dilakukan dengan mengenang sejarah perjuangan generasi perintis. Namun, Institut Indonesia untuk Kajian Keumatan dan Kebangsaan melakukan diskusi daring tentang masa depan “Indonesia yang Dicita-citakan” pada Selasa (18/8). Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid semula didapuk sebagai pembicara kunci, tapi lebih memilih untuk mendengarkan paparan pembicara lain.

            “Keempat narasumber adalah tokoh yang kompeten di bidangnya, sehingga kita merasa tenang bila Indonesia masa depan dipimpin tokoh-tokoh muda yang siap berdialog dan mencari solusi atas masalah bangsa,” ujar Hidayat. Diskusi melalui aplikasi perbincangan daring itu diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

            Direktur Eksekutif Institut Indonesia, Muhammad Iqbal, menjelaskan panitia terpaksa membatasi jumlah peserta karena pendaftar membludak. Sehingga dibuka kanal diskusi melalui Facebook dan Youtube. Narasumber yang tampil mewakili organisasi yang berakar kuat di masyarakat, yakni KH Dr. Muhammad Cholil Nafis (tokoh muda NU yang menjabat Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat), Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak (tokoh muda Muhammadiyah yang menjadi Juru Bicara Menteri Pertahanan RI), Dr. Irfan Syauqi Beik (Ketua Dewan Pakar PUI), dan Habib Idrus Salim al-Jufri (Ketua Himpunan Dai Muda Indonesia yang juga cicit dari Sayid Idrus al-Jufri pendiri Al-Khairat).

            Cholil Nafis memaparkan perjuangan para ulama, mulai dari Syeh Yusuf al-Makassari, Syekh Abdul Shomad al-Palimbani, Kiai Nawawi al-Bantani hingga KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Ulama adalah peletak dasar kehidupan bernegara. Kegigihan para ulama tak lepas dari konsep jihad yang mereka pegang. “Penjajah adalah orang zalim yang telah merampas kedaulatan umat serta ingin menghancurkan agama. Jadi, memerangi penjajah termasuk jihad dan wajib bagi kaum Muslimin untuk melaksanakannya. Dari situlah lahir Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah, serta Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) yang mengawali perang 10 Nopember 1945 di kota Surabaya,” ujar Nafis.

            Ironisnya, menurut Nafis, berbagai kelompok bisa bersatu saat berjuang, namun sulit bersatu saat meraih kemenangan atau mengisi kemerdekaan. Untuk itu, Dahnil Anzar mengajukan resep: modalitas utama mengisi kemerdekaan dan mendorong kemajuan bangsa adalah kesiapan berdialog dan berdialektika. Tokoh-tokoh Muhammadiyah selain dikenal dengan aksi nyata dalam perubahan sosial (KH Ahmad Dahlan), adalah juga sosok yang siap berdialog untuk membahas fondasi kebangsaan seperti Ki Bagoes Hadikusumo (anggota BPUPK) dan Kasman Singodimejo (PPKI).

            “Bahkan, sebenarnya tokoh Proklamator RI Soekarno merupakan kader Muhammadiyah (saat diasingkan ke Bengkulu), Jenderal Soedirman adalah guru Muhammadiyah dan PM Juanda yang terkenal dengan Deklarasi kesatuan wilayah NKRI adalah warga Muhammadiyah,” ungkap Dahnil. Yang unik, proklamasi pertama Indonesia merdeka dilakukan pada tanggal 23 Januari 1942 di Gorontalo oleh Nani Wartabone (tokoh Muhammadiyah). Sejarah mencatat keberanian tokoh daerah di masa pendudukan Belanda dan Jepang.

            Pembicara lain dari kalangan lebih muda, yakni Irfan Syauqi Beik, menguraikan peran pendiri Persatuan Umat Islam (PUI) KH Abdul Halim yang terlibat dalam BPUPK serta menjaga wilayah Jawa Barat agar tetap setiap dengan NKRI. Abdul Halim tidak hanya menolak Negara Pasundan bentukan Belanda, melainkan juga meluruskan sikap perlawanan Darul Islam yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat Soekarno. “Energi keimanan menjadi dasar merebut kemerdekaan. Saat ini kita memaknai kemerdekaan dengan mendorong peran negara yang lebih komprehensif dalam memperkuat ideologi dan turunan kebijakannya, peran pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” usul Irfan yang dikenal sebagai pakar ekonomi syariah.

            Narasumber paling muda, Idrus Salim al-Jufri adalah cicit (turunan keempat dari pendiri organisasi Al-Khairat, Sayid Idrus Salim al Jufri). Ia menjelaskan jasa para ulama dan habaib tak  hanya membangkitkan semangat perjuangan, namun juga mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Sayid Idrus bersahabat dengan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan telah bertekad untuk mendukung perjuangan Bung Karno, mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. “Kedua tokoh itu memiliki guru yang sama dan Sayid Idrus memohon dukungan untuk mengembangkan lembaga pendidikan di Indonesia bagian timur,” jelas Idrus.

            Pembicara pamungkas Hidayat Nur Wahid sekali lagi mengapresiasi tokoh-tokoh muda yang memahami sejarah dan bertekad membagun masa depan Indonesia yang lebih baik. Hidayat mengingatkan jejak sejarah yang tidak boleh dilupakan bukan hanya diwariskan kalangan Ulama, melainkan juga Umara (tokoh pemerintahan) dan Umat. “Kalangan umara seperti Sultan Syarif Kasim II dari Kesultanan Siak Sri Indrapura mewakafkan harta senilai 13 juta gulden (setara Rp 1 triliun) untuk mendukung kemerdekaan RI. Bahkan, wilayah kesultanan dinyatakan sebagai bagian dari NKRI. Sikap serupa dilakukan Sultan Hamengkubowono IX dan raja-raja Nusantara,” Hidayat mengingatkan.

            Kontribusi umat pun tak terkira dengan pembentukan lembaga sosial (sejak masa Jamiat Kheir), dakwah pendidikan (Muhammadiyah/NU dll) dan ekonomi (Serikat Dagang Islam) hingga politik (Sarekat Islam). Termasuk pembentukan laskar-laskar rakyat dan tentara pelajar yang menjadi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia. “Perjuangan kaum muda saat ini mempersiapkan SDM yang hebat dalam berbagai bidang dengan meneladani sikap para Pendiri Bangsa yang istiqamah,” simpul Hidayat. []