Depoknews.id, Depok – Jagat maya kota Depok masih dikerubungi sebuah kasus kontroversial yang menyeret dunia pendidikan dan seorang mahasiswa UNJ.
Bermula dari sebuah unggahan status yang disematkan di jejaring sosial Facebook beberapa waktu lalu oleh Andika Ramadhan Febriansyah, seorang tenaga pendidik honorer di SMAN 13 Kota Depok.
Dalam kasus yang kontroversi ini, tak sedikit yang menaruh dukungannya kepada Dika (begitu sapaan akrabnya) karena keberaniannya. Namun banyak juga yang berpikir Dika adalah guru yang menyebarkan paham liberal.
Lalu, sebenarnya seperti apa status yang diunggah oleh Dika dan bagaimana kehidupannya di media sosial? Yuk Simak dibawah ini.
Laman Facebook Andika
Diketahui dari laman profil Andika di Facebook, Dika adalah mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta atau yang dulu disebut sebagai IKIP Jakarta. Di UNJ, Dika tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Dalam laman utamanya, terlihat Andika menutup akses orang yang ingin melihat. Namun dari kiriman orang-orang yang sudah berteman dengan Andika nampak sangat banyak orang yang mendukung Andika.
Seperti unggahan yang juga menandai nama Andika oleh salah seorang teman yang bernama Ahmad Sajali. Andika dikenal sebagai perpanjangan lidah bagi orang-orang yang perlu diperjuangkan haknya.
Andika dikenal dari perjuangannya mempertahankan Sekolah Masjid Terminal (Master) di Depok, berada di barisan perlindungan hak korban tindakan asusila oknum dosen di kampus, bersama-sama menggagalkan upaya kampus memungut belasan juta rupiah dari mahasiswa baru, hingga bersolidaritas terhadap banyak perjuangan masyarakat.
Andika dipecat oleh Kepala Sekolah karena mengkritisi SMAN 13 Depok secara gambalang, jika sobat Depok belum sempat membacanya, yuk simak dibawah:
“Sebuah surat cinta yang sederhana untuk siswa-siswi SMAN 13 Depok”
Halo adik-adik. Apa kabar?
Saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman saya mengajar selama 5 bulan di sekolah kalian.
Saya masing ingat, ketika pertama kali saya mulai menginjakan kaki di SMAN 13 Depok pada akhir juli 2016 dengan santun, lugu, ramah dan senyum-sapa kepada siapapun yang saya temui. Melihat kondisi sekolah yang jauh dari kata layak, jelas saja membuat saya prihatin, dan bertanya; bagaimana mungkin sebuah kota yang dipenuhi dengan Mall dan Apartemen masih ditemui sekolah yang kondisinya memprihatinkan, bahkan mirip kandang ayam?
Barangkali mereka yang ada di lingkaran kekuasaan sana menganggap bahwa membangun Mall dan Apartemen, mengizinkan pendirian properti dan berbagai bisnis di sepanjang jalan Margonda jauh lebih penting dibandingkan membangun sekolah di Pasar Cisalak.
Alangkah indahnya bukan? Hidup di sebuah negeri yang pemerintahnya tak pernah peduli terhadap pendidikan dan nasib anak-anak yang dididik di dalamnya.
Tapi, keresahan saya terhadap kondisi gedung sekolah yang memprihatinkan sedikit demi sedikit hanyut ketika saya bertemu dengan kalian; bercanda, bercengkrama, tersenyum bersama, bahagia sama-sama.
Ketika saya melangkahkan kaki saya ke dalam kelas, saya melihat pandangan kalian yang tajam, gestur tubuh kalian yang menggugah semangat dan wajah kalian yang anggun dan energik. Di waktu itu pula saya berucap kecil di dalam hati;
“Aku tak akan menjadi guru yang dulu tidak aku sukai ketika masih jadi murid di sekolah, tak ingin jadi guru yang menyeramkan dan lebih mirip sipir keamanan ketimbang seorang pendidik. Aku ingin jadi guru seperti apa yang dulu aku inginkan ketika dulu aku masih menjadi seorang murid. Guru yang kedatangannya ditunggu dan dinanti, suaranya dirindukan, sosoknya yang selalu menggugah semangat, jalan hidupnya yang selalu memberikan inspirasi, dan aku ingin jadi guru yang kepergiannya pantas untuk ditangisi banyak orang.”
Pelan-pelan akhirnya kita saling mengenal, saling mengerti satu sama lain. Cuma satu yang ingin saya perjuangkan di sekolah ini; membuat sekolah kalian bukan hanya sekedar menjadi rumah kedua, tetapi menjadi taman, taman dan seperti taman! Saya ingin kalian bahagia ketika datang ke sekolah dan merasa sedih ketika bell pulang sekolah berbunyi. Bisakah kita memulainya adik-adikku?
Semua itu bisa diwujudkan ketika sekolah kita mau belajar, tidak kolot dan berwawasan sempit. Kenapa saya katakan sempit? Karena cara pandang sekolah kita melihat pendidikan sangatlah sempit.
Apakah mungkin tindakan mengeluarkan anak-anak yang bermasalah dari sekolah dapat dikatakan mendidik?
Jika tugas sekolah adalah mendidik, kenapa anak-anak yang dianggap bermasalah justru dikeluarkan bukan malah dididik?
Bisakah sekolah-sekolah di negeri ini menjawabnya?
Detik, menit dan hari-hari pun sudah lalu. Masa dimana hampir satu bulan saya menjadi pendidik di sekolah, saya terus melihat apa yang dulu saya benci, kini dilakukan oleh rekan-rekan saya sesama pendidik.
Rupa-rupanya ajaran generasi lama masih dianut oleh segelintir guru, seperti menggunakan kekerasan verbal untuk menertibkan siswa. Hingga kelas bukan menjadi ruang debat dan bicara pengetahuan, tapi lebih mirip penjara dan guru sebagai sipir keamanan.
Di sekolah, berkali-kali saya lihat siswa yang mondar mandir dengan baju tidak dimasukan diteriaki oleh guru mereka. “Bajunya masukin, mana lokasinya? mana logo sekolahnya? mana dasinya? mana topinya?” Sisa-sisa Orde Baru, dimana deretan pelajar disuruh diam dan patuh. Seakan-akan kepatuhan adalah gambaran pelajar ideal.
Dulu di zaman Orde Baru, pemerintahan Suharto, semua orang disuruh menghafal Pancasila tanpa diajari apa makna Pancasila bagi kehidupan mereka?
Begitupun yang terjadi dengan pelajar pelajar di sekolah, mereka disuruh menggunakan topi yang bertuliskan Tut Wuri Handayani, disuruh menghafal nama bapak Pendidikan tanpa diajari apa makna Tut Wuri Handayani dan pendidikan macam apa yang dicita-citakan bapak pendidikan kita?
Ki Hadjar Dewantara itu punya cita-cita bahwa pendidikan kita harus menyenangkan dan menggembirakan. Siswa harus bahagia ketika sampai di sekolah mereka layaknya sedang bermain di taman, bukan malah ditekan seperti di dalam penjara.
Beberapa kali pula saya melihat para pendidik mendorong kalian untuk bersaing agar menjadi yang terpintar di kelas. Gambaran siswa terbaik di mata beberapa guru adalah mereka yang nilainya bagus, tak peduli anak ini peduli lingkungan dan temannya atau tidak. Karena gambaran siswa yang ideal adalah yang paling individualis.
Tak jarang kalian melihat mereka yang juara di kelas adalah orang-orang yang kurang bergaul. Karena kalian hanya didorong untuk bersaing, saling menerkam layaknya kumpulan srigala, tanpa diajari bahwa hakikat menjadi manusia adalah menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Sudahkah kalian mencintai teman sebangku kalian, teman sekelas, teman satu sekolah?
Karena bagi saya, kalian pantas dibilang spesial dan favorit ketika kalian saling mencintai dan mengasihi, kalian harus, harus dan harus menyayangi mereka yang lemah!
Bukankah sejak kecil kita selalu diajarkan untuk menggunakan sebelah tangan kita untuk mengobati tangan lain yang terluka?
Bagaimana mungkin sebuah negeri bisa dibangun dengan logika kompetitif, sedangkan untuk membangun masa depan, negeri ini membutuhkan manusia-manusia yang mampu bekerjasama agar kita bisa mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan.
Belum lagi tentang pungutan uang gedung, uang seragam, uang remedial, sampai fotocopyan yang dibebankan kepada siswa tak sesuai dengan harga asli. Saya sering coba membicarakan masalah ini ke pihak berwenang tapi jawabannya jelas sangat tidak memuaskan.
“Sudah, biarkan saja pak Andika, itu kan sistem yang guru itu bangun. Kita tak bisa intervensi”
“Kita tak akan bisa berbuat apa-apa pak Andika, susah. Kita bukan siapa-siapa”
Geram mendengar jawaban tersebut, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengkritik guru bersangkutan. Kekecewaan saya memuncak di momen ini karena saya tak melihat lagi keberanian dan nyali para pendidik ketika melihat sesuatu yang tidak beres.
Ketika ada murid yang bajunya keluar, rambutnya gondrong dan tak mengerjakan PR pasti kena hukum, sedangkan ada guru yang melanggar hukum dan aturan, berani kah para guru menghukumnya? Atau membiarkan murid-murid untuk menegur?
Bagaimana mungkin negeri ini bisa terbebas dari korupsi jika murid-murid yang resah terhadap pungli sekolah malah disuruh diam dan tutup mulut?
Apakah ajaran di instansi pendidikan hanya melulu soal seragam, dasi ataupun penampilan, sedangkan para pendidik tak sama sekali melatih murid-murid mereka agar memiliki keberanian?
Tentu keberanian itu bukan hanya jadi sekedar omongan yang kosong.
Adik-adik, dulu ketika saya masih SMA, saya sering membaca buku tentang tokoh-tokoh dunia. Dari buku-buku itulah saya mengenal tokoh sekaliber Voltaire, Gandhi, Sukarno, Tan Malaka, Socrates, Fidel Castro sampai Abraham Lincoln. Dari sana pula kekaguman saya muncul ketika membaca kisah hidup Ahmadinejad, Presiden Iran yang rela hidup menderita karena ia menyumbangkan seluruh gajinya untuk orang-orang miskin. Karena baginya menjadi pemimpin artinya menjadi pelayan rakyat, bukan malah jadi perampok.
Dari merekalah saya belajar melatih nyali dan keberanian agar tidak takut melawan kezaliman. Terinspirasi dari kisah Presiden Iran itu, maka secara sadar saya akan menyumbangkan seluruh “uang buku” yang saya terima kemarin untuk mereka yang membutuhkan.
Beberapa waktu lalu, guru-guru di sekolah dapat uang dari hasil penjualan buku ke murid dan hingga detik ini saya meyakini kalau uang yang saya pegang ini bukanlah hak saya.
Secara resmi sumbangan ini akan saya berikan ke Kelompok Studi Merdeka, komunitas yang saya bentuk di SMAN 13 Depok yang beranggotakan murid-murid saya untuk di kelola menjadi Uang Milik Bersama. Kelak, jika ada di antara kalian, siswa-siswi SMAN 13 Depok yang tak bisa beli seragam ataupun buku, semoga uang yang dikelola KSM itu dapat membantu kalian.
Saya tak ingin ada anak yang tak bisa sekolah ataupun malu datang ke sekolah hanya karena tak bisa membeli seragam.
Hanya inilah yang bisa saya tuliskan untuk kalian. Adik-adik, generasi kitalah yang kelak akan mengeluarkan bangsa ini dari lubang keterpurukan, kitalah yang akan membangunkan bangsa kita yang selama ini berjalan dalam keadaan tertidur. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu kembali untuk memperjuangkan perjuangan yang sama. Sampai berjumpa di sekolah! sampai berjumpa di tulisan-tulisan berikutnya ya!
Dari guru mu,
Andika Ramadhan Febriansah
Presiden Republik Indonesia 2035