Oleh: Catur Sasongko (Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Depoknews–Beberapa saat yang lalu saya menonton podcast di salah satu channel selebriti yang membuat hati saya miris. Narasumber dalam podcast tersebut adalah seorang penyanyi cilik yang beberapa waktu lalu pernah menghebohkan Indonesia dengan lagu dewasa yang ia nyanyikan di Istana Negara. Bukan tentang lagu dewasa yang dibawakan oleh penyanyi cilik tersebut yang akan saya bahas dalam artikel ini tetapi tentang pengelolaan keuangan pribadi yang tidak benar yang saya tangkap dari podcast tersebut.
Penyanyi cilik tersebut mengungkapan bahwa uang yang diperoleh dari hasil menyanyinya selama ini, yang dikelola oleh orang tuanya, ternyata hanya tersisa Rp10.000 pada suatu waktu. Tentu saja ini membingungkan bagi penyanyi cilik tersebut karena menurutnya uang yang diperoleh dari kerja kerasnya selama ini ternyata tersisa Rp10.000 saja. Ia pun menanyakan ke ayahnya dan mendapatkan jawaban “kamu selama ini boros sih,” yang semakin membuatnya boros selama ini. Ternyata penghasilan yang besar selama ini menguap begitu saja. Sebenarnya permasalahan yang sama juga banyak dialami oleh keluarga-keluarga lain di Indonesia berkaitan dengan pengelolaan keuangan pribadi. Banyak dijumpai di masyarakat katakanlah sang ayah memiliki penghasilan yang besar tetapi ternyata terliliit utang atau tidak memiliki dana darurat yang mencukupi jika terjadi suatu musibah yang membutuhkan pengeluaran dalam jumlah yang sangat besar. Belum lagi banyak dari masyarakat di Indonesia yang terlilit utang pinjol. Kemudian pertanyaannya bagaimana pengelolaan keuangan pribadi atau perorangan atau keluarga yang benar agar tidak mengalami kesulitan keuangan saat ini dan di masa depan?
Konsep 50 : 30 : 20
Ada konsep atau metode yang dapat kita gunakan sebagai acuan dalam pengelolaan keuangan pribadi atau keluarga. Konsep itu dikenal sebagai konsep 50 : 30 : 20. Apa sebenarnya konsep ini? Dengan konsep 50 : 30 : 20 kita membagi pengeluaran kita selama 1 bulan menjadi:
50% untuk memenuhi kebutuhan hidup sepert untuk membeli makanan, transportasi ke sekolah atau tempat kerja, uang sekolah atau kuliah anak, listrik, air, dan sebagainya.
30% untuk memenuhi keinginan seperti rekreasi, makan di restoran, membeli baju branded, nonton konser, hang-out di kafe, dan sebagainya.
20% untuk cicilan bulanan atau untuk menabung dan berivestasi.
Misalnya, Bp A memiliki penghasilan sebesar Rp10 juta per bulannya maka pembagian untuk kebutuhan, keinginan, dan menabung masing-masing sebesarRp5 juta, Rp3 Juta, dan Rp2 juta. Sepintas ini bukan seperti rocket science yang rumit tapi penerapannya tidak semudah yang dibayangkan.
Terkadang orang lebih fokus pemenuhan keinginanya bukan kebutuhan. Ada berbagai faktor misalnya FOMO (Fear of Missing Out) takut dikatakan “ketinggalan zaman” apabila tidak mengikuti gaya hidup yang sedang menjadi tren saat ini. Sebagai contoh, berolahrga itu adalah kebutuhan agar tubuh kita sehat sehingga katakanlah olahraga yang dipilih adalah lari setiap pagi. Namun, olahraga lari dapat menjadi keinginan apabila kemudian mengharuskan seseorang membeli sepatu lari kekinian dan membeli wearable yang nilainya tidak murah. Kemudian agar dianggap sebagai runner sejati maka ia juga mengkuti even-even lari baik yang diadakan di Indonesia maupun di luar negeri yang tentu saja membutuhkan uang yang tidak sedikit. Hal ini tidak berarti olahraga lari tidak baik untuk keuangan pribadi dan keluarga asalkan tidak memaksakan diri dan masih dapat dijangkau dengan kemampuan keuangan seseorang.
Faktor lainnya adalah “hausnya” pengakuan diri bahwa seseorang telah sukses dari orang lain. Pengakuan tersebut umumnya ditandai dengan kepemilikan barang-barang yang belum tentu dibutuhkan, misalnya mobil, pakaian, sepatu, dan lain-lain. Sekali lagi, jika mampu secara keuangan tidak mengapa tetapi apabila dipaksakan maka penghasilan yang ada tidak mencukupi dan yang dikhawatirkan adalah menutupi kekuragan tersebut dengan pinjol. Tentang pinjol nantikan tulisan saya berikutnya.
Berikutnya tentang menabung, ada beberapa kesalahan yang menyebabkan orang tidak dapat menabung. Pertama, banyak orang berpikir bahwa ada jumlah minimal penghasilan yang harus diperoleh seseorang agar dapat menabung. Katakan lah si A saat ini memiliki penghasilan sebesar Rp5 Juta dan tidak menabung. A berpikir bahwa gaji sebesar Rp10 Juta minimal harus ia peroleh agar dapat menabung. Saat A akhirnya memperoleh penghasilan sebesar Rp10 juta pun ternyata ia tidak bisa menabung. Mengapa ini terjadi? Karena saat penghasilan seseorang meningkat maka kebutuhan dan utamanya keinginan akan meningkat pula. Keinginan yang tadinya tidak terjangkau dengan kenaikan gaji maka jadi terjangkau. Alhasil A pun tak kunjung dapat menabung. Jadi tidak ada jumlah minimal penghasilan untuk dapat menabung karena berapapun penghasilan kita maka kita harus dapat menabung 20%nya. Kedua, banyak orang gagal menabung karena dalam pikiran mereka menabung itu berarti kalau ada sisa di akhir bulan. Apabila tidak ada yang tersisa maka tidak akan menabung. Ini adalah kesalahan umum yang sering terjadi. Menabung itu berarti kita menyisihkan sebagian dari penghasilan kita (20%nya) di awal bulan. Misalnya saat penghasilan Rp10 Juta sebulan maka sejak awal bulan Rp2 Juta sudah kita pisahkan dan dapat kita tempatkan di rekening tabungan yang akan digunakan apabila ada kebutuhan yang mendesak saja. Berarti dalam 1 bulan bagi yang berpenghasilan Rp10 Juta maka jumlah maksimal pengeluaran, untuk memenuhi kebutuhan dan keingan, adalah Rp8 Juta. “Menabung harus disisihkan di awal bukan menabung apa yang tersdia di akhir bulan.”
Dengan demikian agar kita tidak mengalami kesulitan keuangan maka strategi yang digunakan adalah dengan metode 50: 30: 20 adalah fokus pada pemenuhan kebutuhan bukan keinginan serta menabung dan berinvestasilah agar kita tidak mengalami kesulitan keuangan saat ini dan di masa depan.







