Oleh : Pina Fauziah
Riba buyu’ ialah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang berbeda kualitas atau beda waktu penyerahannya (tidak tunai). Riba buyu’ disebut juga dengan riba fadhl yang riba yang timbul pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitas, sama kuantitasnya dan sama waktu penyerahanya.
Riba buyu’ ini berbeda dengan status hukum yang dimilikinya dimana para ulama berbeda pendapat tentang stus hukum riba buyu’. Perbedaan pendapat para ulama muncul dari perbedaan mereka tentang ‘illat barang-barang ribawi.
Rasulullah Saw. Menjalaskan tetang barang ribawi dalam beberapa hadistnya yang artinya “ ubadah bin ash shomit ra. Meriwayarkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: (pertukaran) antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam itu harus sama dan dibayar kontan. Jika berbeda (penukaran) barang di atas, maka juallah barang tersebut sekehendak kamu sekalian dengan syarat dibayar kontan”. (HR. Ahmad)
Hadist diatas menjelaskan tentang dua kelompok barang ribawai yaitu mata uang dengan makanan.
Penjelasan ulama kontemporer, bila disimpulkan bahwa pendpat yang kuat yaitu :
- ‘illat jenis mata uang adalah tsamaniyah (keberadaan sebagai barang berharga) mengapa? Karena emas dan perak yang dicontohkan dalam hadits diatas adalah mata uang yang berlaku ketika itu (yang berupa emas dan perak). Maka mata uang rupiah, emas yang dijual ditoko-toko merupakan barang ribawyat.
- ‘illat jenis makanan adalah tho’m maksudnya ialah setiap jenis makanan walaupun bukan makanan pokok dan tidak menguatkan. Maka roti, beras termasuk barang barang ribawiyat.
Keharaman riba buyu’ memiliki maqashid yaitu :
• Menghindari gharar dalam transaksi jual beli.
• Agar uang tidak dijadikan komoditas yang diperjual belikan.
Maqashid tersebut sejalan dengan pandangan ekonomi karena riba dapat dipandang sebagai transaksi yang bersifat eksploitatif karena mengambil untung besar secara tidak mengandung information asymmetry atau kondisi lain yang berakibat pada posisi tawar menawar yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak (pembeli atau penjual) berada dalam keadaan terpaksa atau tak berdaya sehingga akan menerima apa pun yang ditetapkan oleh pihak lain dalam transaksi.