Oleh: Dwi Astuti Rosmianingrum Nainggolan SEAk. MBA. CA. PhD
Dosen Senior Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Depoknews–Latar Belakang: Perjalanan Adopsi Standar Pelaporan Keuangan Internasional dan Pasar Modal Indonesia
Sebagai seorang yang telah berkecimpung di dunia pasar modal Indonesia selama lebih dari dua dekade, saya menyaksikan langsung transformasi luar biasa yang terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari krisis finansial Asia 1997 hingga kini, pasar modal kita telah berkembang dari bursa domestik yang relatif kecil menjadi salah satu destinasi investasi paling dinamis di Asia Tenggara.
Pada Desember 2008, ketika pasar global sedang bergolak akibat krisis finansial, para pembuat kebijakan akuntansi Indonesia membuat keputusan penting yang akan mengubah wajah pasar modal kita. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengumumkan bahwa Indonesia akan mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS). Pada tahun 2012, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia (DSAK) menerbitkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia yang sebagian besar mengacu pada IFRS yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB) pada tahun 2009. Oleh karena itu, tahun 2009–2012 ditetapkan sebagai tahap pertama penerapan IFRS di Indonesia. Kesenjangan tiga tahun (3-years gap) antara SAK dan IFRS disebabkan oleh model konvergensi di Indonesia. Dengan dimulainya penerapan Standar IFRS tahap kedua pada tahun 2015, kesenjangan ini diperpendek menjadi hanya satu tahun.
Ini bukan sekadar perubahan teknis akuntansi—ini adalah langkah strategis untuk mengintegrasikan Indonesia lebih dalam ke pasar modal global dan menarik investasi internasional. Transisi ini berlangsung dalam fase-fase yang terencana: persiapan (2009-2012), adopsi formal (2012-2014), dan adopsi penuh (2015-sekarang). Sepanjang periode ini, pasar Indonesia diam-diam bertransformasi dengan cara yang tidak disadari sebagian besar investor, namun memiliki implikasi mendalam bagi strategi investasi dan efisiensi pasar. SAK yang berbasis IFRS ini pun menjadi standar pelaporan keuangan yang harus diacu oleh Emiten di BEI. Penelitian saya yang mencakup periode selama 13 (tiga belas tahun) dibagi menjadi 3 (tiga) periode yaitu Sebelum Adopsi IFRS (2007–2011), Masa Transisi (2012–2014), dan Setelah Adopsi IFRS (2015–2019).
Misteri di Balik Pergerakan Harga Saham
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa beberapa saham seperti menari dengan irama sendiri sementara yang lain bergerak seperti kawanan domba? Jawabannya terletak pada sesuatu yang disebut “informativeness harga saham” – pada dasarnya, seberapa banyak harga saham mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam perusahaan (emiten) versus apa yang terjadi di pasar saham. Bayangkan seperti ini: ketika harga saham Bank BCA bergerak, apakah itu karena kinerja dan prospek BCA sendiri, atau hanya karena mengikuti perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)? Semakin banyak harga saham mencerminkan berita dan fundamental spesifik perusahaan, semakin “informatif” saham tersebut bagi investor.
Revolusi Diam-Diam Indonesia
Antara tahun 2007 dan 2019, sesuatu yang luar biasa terjadi di pasar saham Indonesia yang mungkin luput diperhatikan sebagian besar investor. Penelitian saya yang mencakup 240 Perusahaan (Emiten) selama kurun waktu13 tahun mengungkapkan bagaimana adopsi IFRS secara fundamental mengubah perilaku harga saham di BEI. Sebelum IFRS (2007-2011), saham-saham Indonesia bergerak lebih seperti sekawanan burung – ketika pasar naik atau turun, sebagian besar saham mengikuti tanpa memperhatikan kinerja emiten secara individual. Hal ini membuat investor sulit membedakan antara emiten yang benar-benar bagus dengan yang hanya menumpang gelombang pasar. Setelah adopsi IFRS (2015-2019), sesuatu yang menarik terjadi: saham-saham mulai menjadi “pemikir independen”. Mereka mulai mencerminkan informasi spesifik Emiten dengan lebih akurat, membuat pasar lebih efisien dan memberikan investor yang cerdas peluang lebih baik untuk mengidentifikasi Emiten yang benar-benar bernilai.
Angka-Angka Bercerita
Penelitian ini menggunakan ukuran yang disebut “sinkronisitas harga saham” atau stock price synchronicity – bayangkan sebagai pengukur yang menunjukkan seberapa banyak saham bergerak bersama versus secara independen. Semakin rendah sinkronisitas, semakin banyak saham mencerminkan cerita perusahaan mereka sendiri daripada sekadar mood pasar.
Penelitian ini menggunakan ukuran yang disebut “sinkronisitas harga saham” atau stock price synchronicity – bayangkan sebagai pengukur yang menunjukkan seberapa banyak saham bergerak bersama versus secara independen. Semakin rendah sinkronisitas, semakin banyak saham mencerminkan cerita perusahaan mereka sendiri daripada sekadar mood pasar.
Penelitian ini melacak transformasi ini melalui perubahan terukur dalam perilaku saham selama tiga belas tahun. Pada tahun 2007, sebelum adopsi IFRS, sinkronisitas harga saham berada pada level -0,70, yang mewakili baseline di mana saham-saham BEI bergerak sebagian besar sejalan dengan sentimen pasar yang lebih luas. Selama periode transisi dari 2012 hingga 2014, ketika perusahaan mulai menerapkan SAK berbasis IFRS, sinkronisitas turun signifikan ke level sekitar -1,50, menunjukkan bahwa saham mulai mencerminkan lebih banyak karakteristik perusahaan individual daripada hanya mengikuti tren pasar. Pada periode implementasi penuh IFRS 2015-2019, sinkronisitas turun lagi mencapai level -1,65, menunjukkan bahwa saham-saham Indonesia telah menjadi jauh lebih mengacu pada informasi spesifik perusahaan dalam pergerakan harganya. Meskipun angka-angka ini mungkin terdengar seperti jargon teknis, mereka mewakili pergeseran fundamental dalam cara pasar saham Indonesia beroperasi, dengan implikasi mendalam bagi setiap investor. Pengukuran menggunakan stock price synchronicity juga digunakan di berbagai pasar modal regional maupun global dalam kurun waktu yang bervariasi pula.
Transformasi menuju sinkronisitas harga saham yang lebih rendah ini menciptakan tiga keuntungan utama bagi investor Indonesia. Pertama, memungkinkan penemuan harga yang lebih baik, artinya harga saham kini lebih akurat mencerminkan nilai mendasar Perusahaan yang sebenarnya (fundamental value) daripada hanya perubahan mood pasar. Kedua, mengarah pada pengambilan keputusan investasi yang lebih baik karena investor dapat lebih mudah mengidentifikasi perusahaan yang benar-benar undervalued atau overvalued berdasarkan merit individual Emiten daripada sentimen pasar. Akhirnya, mengurangi perilaku mentalitas kawanan yang destruktif, artinya akan ada lebih sedikit panic selling ketika pasar crash karena investor dapat lebih baik membedakan antara masalah spesifik perusahaan dan turbulensi pasar yang lebih luas.
Melihat ke Depan
Data tidak berbohong: saham-saham Indonesia kini menceritakan kisah yang lebih baik tentang perusahaan mereka. Adopsi IFRS di Indonesia bukan hanya perubahan akuntansi teknis—ini adalah upgrade fundamental terhadap cara pasar modal kita berfungsi. Pasar saham Indonesia hari ini lebih efisien, lebih informatif, dan lebih memberikan reward bagi investor yang melakukan riset mereka. Bagi investor Indonesia, ini berarti strategi lama yaitu hanya menumpang gelombang pasar menjadi kurang efektif. Pendekatan baru yang excell memerlukan pemahaman tentang Emiten secara individual, menganalisa laporan keuangan dengan cermat, dan membuat keputusan investasi berdasarkan analisis fundamental yang solid. Transformasi telah selesai, tetapi evolusi berlanjut. Investor Indonesia yang merangkul realitas baru ini akan menemukan diri mereka di lingkungan pasar yang lebih canggih, lebih efisien, dan pada akhirnya lebih menguntungkan.Pertanyaannya adalah: apakah Anda siap untuk berinvestasi dengan lebih cerdas?







