Mengenang dr. Arief Basuki, Pejuang Kemanusiaan dan Kerja Peradaban

Oleh: Sapto Waluyo (Direktur Center for Indonesia Reform)

Panitia diskusi WA mengajukan topik berat untuk mengenang dr. Arief Basuki, Sp.An. Seorang dokter ahli anestasi yang bertugas di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya dan mencapai syahidnya saat setia merawat pasien Covid-19. Topik itu di luar disiplin ilmu yang Penulis tekuni. Tapi, Penulis coba memaparkan beberapa momen perjumpaan dengan Dokter Arief yang tercatat sebagai salah seorang Pendiri BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia) dan Pembina Rumah Kepemimpinan Regional IV Surabaya. Ia memberi contoh: bagaimana melakukan kerja-kerja peradaban secara sederhana.

Perkenalan pertama sekitar tahun 1985, ketika Penulis kuliah di Universitas Airlangga. Saya harus berpindah-pindah tempat kost untuk mencari lingkungan yang tepat demi menghemat biaya karena berusaha hidup mandiri. Orangtua saya tinggal di Jakarta dan bekerja di perusahaan swasta, sehingga harus bekerja keras untuk menafkahi keluarga.

Salah satu tempat kost yang pernah saya tinggali di Jalan Kedung Tarukan, Surabaya bersama teman-teman dari Fakultas Kedokteran Unair. Saya sendiri kuliah di FISIP Unair, jurusan Hubungan Internasional. Entah mengapa, beberapa kali saya berbagi tempat kost dengan mahasiswa FK, malah tidak pernah tinggal bersama mahasiswa FISIP. Saya juga tidak pernah tinggal satu kost dengan Mas Arief, begitu saya memanggilnya, karena dia tinggal di sekitar Kedung Sroko.

Dalam interaksi antar mahasiswa itu, saya memahami perbedaan karakter dan cara belajar: mahasiswa jurusan eksakta versus humaniora. Mahasiswa eksakta terlihat lebih disiplin waktu, tertib belajar tiap paket dan termotivasi untuk mencapai nilai terbaik dan selesai secepatnya: menjadi dokter, misalnya. Sedangkan mahasiswa humaniora, wa bil khusus FISIP sebaliknya: mengatur waktu lebih santai, mau belajar banyak hal (terutama membaca buku, yang belum tentu dipakai di kampus), dan tidak terdorong menyelesaikan studi tepat waktu. Sebab, jika sudah selesai studi, mau kerja sebagai apa? Itu pertanyaan yang tidak mudah dijawab.

Kuliah saya pun jadi berkepanjangan, bahkan nyaris DO (drop out). Padahal, pada tahun-tahun pertama, nilai hasil studi saya termasuk yang terbaik di angkatan. Saya bersama kawan-kawan FISIP membentuk kelompok studi dan akhirnya jadi LSM bernama Pusat Bina Swadaya Ummat (PBSU). Salah satu kegiatan PBSU adalah membina anak-anak yatim dan dhuafa, termasuk kalangan anak-anak jalanan di sekitar Kampus Unair. Saya ikut meramaikan Masjid Nuruzzaman di lingkungan Kampus Unair dengan kegiatan Pendidikan Bocah. Aksi sosial seringkali diisi dengan pemeriksaan kesehatan, dan mas Arief mengerahkan calon-calon dokter muda untuk melakukan pelayanan medis standar.

Momen aksi paling mengesankan adalah Kafilah Kebajikan (Qafilat al-Birr) di Pulau Sapeken, Madura. Kita harus menyeberang ke Pulau Madura hingga sampai di ujung Sumenep, dari pelabuhan Kalianget menyeberang ke Pulau Kangean, dari sini nyeberang lagi menuju Sapeken. Pada era 1990-an masih ada kapal feri antar pulau, berangkat sepekan dua kali dari Surabaya dengan menempuh perjalanan laut sekitar 12 jam lamanya. Bila memakai kapal cepat bisa 5-6 jam, namun harus tahan dengan terjangan gelombang laut lepas.

Saya bertugas sebagai koordinator untuk kegiatan aksi sosial selama 3 bulan di Pulau Sapeken, jadi mirip KKN di pulau penghasil kerang mutiara, kepiting dan kerapu, serta berbagai jenis hasil laut. Alhamdulillah, kami didukung penuh KH Dailamy pimpinan Pondok Pesantren Abu Hurairah yang menjadi basecamp, sehingga berbagai kegiatan dapat dirancang tetap sasaran. Kami tak hanya melayani warga Sapeken yang berjumlah 5.000 jiwa, melainkan juga berkunjung ke pulau-pulau di sekitarnya: Pagerungan, Paliat, Sasiil, Sabunten dan lainnya (ada 21 pulau kecil berpenghuni di Kecamatan Sapeken, masih banyak lagi yang belum berpenghuni).

Kegiatan utama tim sosial adalah melatih santri dan berdakwah kepada beragam kelompok masyarakat. Sementara tim medis bergilir sepekan atau dua pekan sekali, melakukan layanan kesehatan keliling pulau. Dokter Arief yang mengatur jadwal tim medis dari Surabaya. Warga paling antusias menanti kedatangan tim medis agar mendapat vitamin dan tambahan makanan bergizi. Selain itu, kami dibantu tim insinyur dari ITS yang membangun pemancar radio/televisi, sehingga acara pengajian dari Masjid Abu Hurairah dapat dipancarkan ke seluruh rumah penduduk. Sayangnya, pemancar darurat belum bisa menembus gelombang lintas pulau yang dipisahkan oleh laut bebas. Pulau yang paling jauh dari Sapeken adalah Masalembo, berbatas Laut Sulawesi.

Belajar Islam di Kota

Selain menggerakkan kegiatan sosial, teman-teman kampus juga mendirikan lembaga pengajaran bahasa Arab dan ilmu keislaman (Ma’had Ukhuwah Islamiyah) dengan dukungan alumni Ponpes Gontor dan Universitas Islam dari Timur Tengah yang baru kembali ke Tanah Air. Saya bertugas sebagai Sekretaris dan ikut mengajar Tarikh Islam. Program bahasa Arab dan Ulum Islam diikuti peserta dari beragam latar belakang, termasuk mahasiswa kedokteran. Mas Arief termasuk yang rajin mengikuti kajian yang bisa disebut nyantri ala anak muda kota.

Saya sering memperhatikan sejumlah pengamat yang mengkritik cara belajar santri kota dengan menyindir belajar Islam di tengah jalan. Setelah saya cermati, persoalannya pada metodologi/kurikulum, referensi standar, dan kompetensi guru yang mengajar. Di Ma’had UI, kami berupaya memenuhi standar pengajaran Islam yang berlaku formal, meskipun kegiatan belajar masih berupa kursus/nonformal. Beberapa tahun kemudian, sesuai dengan kemampuan lembaga, proses belajar dibuat lebih formal dan berakreditasi.

Sebenarnya, belajar ala pesantren lebih berkesan karena setiap santri akan fokus kepada substansi dan target belajar, bukan nilai dan bukti formalitas (rapor/ijazah). Tetapi, kurikulum modern membuat proses belajar menjadi formal berjenjang, sehingga ada kualifikasi khusus untuk mengikuti jenjang lebih tinggi, meski substansi pelajaran belum tentu dikuasasinya. Demi melengkapi proses belajar, saya nyantri kalong ke Pesantren Persatuan Islam, Bangil, yang amat bersejarah karena didirikan oleh Ahmad Hassan, salah seorang guru bagi para pemikir modernis Muslim. Saya berinteraksi intensif dengan Ustadz Hud Abdullah Musa, yakni cucu A. Hassan, terutama belajar tentang sejarah dan falsafah Islam. Disamping dengan guru-guru lain yang kompeten di bidang Hadits dan Fiqh Islam.

Tidak hanya belajar tentang Islam, di Bangil akhirnya saya mengembangkan profesi sebagai penulis atau jurnalis, dengan menerima tugas redaksi di majalah al-Muslimun. Saya menulis berita khas dan opini aktual, serta sempat menerjemahkan beberapa artikel/buku tentang pemikiran Islam klasik. Tak disangka, artikel di majalah itu ternyata menjadi bacaan dan rujukan teman-teman di kampus, termasuk Dokter Arief. Kami sering berdiskusi tentang isu-isu kontemporer seperti perang di Afghanistan yang menyebabkan runtuhnya kedigdayaan Uni Sovyet. Saya meresapi cara berpikir Mas Arief sebagai orang eksakta dan dokter, tapi berjiwa kemanusiaan. Sebagai jurnalis, saya harus merekam semua sudut pandang dan merangkumnya jadi pandangan otentik. Saya baru merintis karir sebagai jurnalis, sementara beliau sudah menjadi dokter profesional.

Menghayati Profesi Jurnalis

Setelah menyelesaikan kuliah nyaris di akhir batas waktu, saya langsung bekerja di perusahaan media nasional. Sebenarnya sejak masih mahasiswa saya sudah bekerja sebagai kontributor dan penulis lepas untuk beberapa media lokal. Di Jakarta, saya meniti karir selaku reporter, kemudian redaktur dan koordinator liputan. Saya tak sempat magang jadi redaktur pelaksana dan selanjutnya berpeluang menjadi pemimpin redaksi, karena perbedaan sikap dengan pemilik modal. Saat itu, sedang menggelora semangat suksesi nasional dan gerakan reformasi (1996-1998).

Sebagai jurnalis, saya bertugas ke seluruh wilayah di Indonesia untuk meliputi beragam peristiwa. Mulai dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan penyenderaan warga oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sesekali saya bertugas ke Jawa Timur, antara lain meliputi peristiwa pembunuhan berantai terhadap dukun santet di kawasan Banyuwangi, Jember dan Malang. Mas Arief kadang mengontak untuk bertemu di sela tugasnya yang padat dan saya mendapat informasi lapangan dari seorang dokter yang akrab bergaul dengan masyarakat kelas bawah. Saya jadi tahu fakta dan informasi tidak hanya di permukaan dan formal belaka dari aparat keamanan.

Dalam rangka tugas jurnalistik pula, saya meliput hingga ke daerah konflik seperti Palestina, Iraq dan Bosnia-Herzegovina. Selain mewawancarai tokoh-tokoh penting di semua wilayah bergolak, saya menemukan jejak-jejak pahlawan kemanusiaan seperti dokter lintas negara (Medicins Sans Frontieres) yang membantu menyelamatkan korban perang. Mas Arief tak mengumbar kisahnya di berbagai wilayah bergolak sebagai relawan kemanusiaan, tetapi refleksinya saat bertemu sangat menyentuh.

Dari berbagai refleksi dan bacaan, akhirnya saya merumuskan sejumlah aspek vital dalam pengembangan diri (self mastery). Saya membagi tahapan perkembangan hingga mencapai kematangan seseorang dalam menggali potensi dirinya. Mulai dari HOBI (mengisi waktu luang dan menghibur diri) => OKUPASI (bekerja mengerahkan keterampilan untuk mendapatkan upah dan ganjaran) => PROFESI (bekerja penuh tanggung-jawab dan menjaga kode etik) dan akhirnya => DEVOSI (bekerja dengan semangat pengabdian yang tulus untuk kemanusiaan dan ibadah kepada Sang Pencipta).

Dalam sepi, saya acapkali bertanya pada diri sendiri: untuk apa saya bekerja sebagai jurnalis? Saya mewawancarai dan menulis berita tentang sejumlah orang yang kemudian menjadi tokoh terkenal (public figure). Tokoh-tokoh reformasi yang kemudian menjadi pejabat tinggi di lembaga negara. Sambil membayangkan perjuangan para dokter pahlawan kemanusiaan di garis depan, mereka bertaruh nyawa di wilayah bencana atau konflik/perang. Diam-diam Mas Arief menjadi salah seorang role model, disamping ayah saya almarhum yang pernah mendirikan sebuah perusahaan nasional sebelum dicaplok oleh pemilik modal besar.

Menjadi Aktivis

Di tengah aktivitas profesional sebagai jurnalis, saya juga bergabung dengan teman-teman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Nonpemerintah (NGO). Saya berkenalan dengan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang didirikan mantan Menteri Keuangan Marie Muhammad dan komunitas pengawas kebijakan, sempat menjadi Sekretaris Eksekutif. Melalui MTI. saya berinteraksi dengan teman-teman aktivis antikorupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW) dan organisasi antikorupsi lokal di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2001, akhirnya kita membentuk Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Indonesia dan saya dipercaya sebagai Konsulat Nasional. Banyak isu penting yang diadvokasi, salah satunya adalah produk kebijakan/Keputusan Presiden Soeharto yang dianggap menyimpang, ditelaah secara cermat dan dijadikan salah satu referensi untuk peradilan kasus korupsi Soeharto di masa pemerintahan Orde Baru.

Saya bersyukur, karena teman-teman aktivis dakwah juga membentuk organisasi swadaya semisal Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) di bawah Yayasan Nurul Fikri pada bulan Agustus 2002. Ini lembaga pembinaan mahasiswa yang bervisi jauh ke depan (create future leaders) tapi tetap berpijak pada akar sejarah bangsa. Saya ikut bergabung sejak angkatan pertama PPSDMS mengontrak rumah di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan dan melatih 20 mahasiswa terpilih dalam keterampilan jurnalistik. Pada waktu yang hampir bersamaan, berdiri pula Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang menampung tenaga kesehatan dan relawan kemanusiaan. Saya beberapa kali diundang pengurus BSMI untuk melakukan pelatihan media relation dan bertemu dengan Dokter Arief dalam banyak kesempatan. Sebagaimana biasanya, kami berdiskusi tentang masalah organisasi dan isu kontemporer.

Kerja Peradaban

Saya ingin berbagi refleksi sedikit tentang urgensi pembinaan SDM sebagai bagian dari kerja peradaban (civilizational action). Membangun karakter manusia berbeda dengan melatih keterampilan fisik (sebagai inti peradaban berburu), mengolah tanah (peradaban pertanian), mengelola pabrik dengan dukungan teknologi mesin (peradaban industri), dan mengolah data-informasi (peradaban informasi). Pembinaan SDM dibutuhkan pada setiap zaman demi menopang peradaban. Intinya, tidak akan berjalan maju suatu peradaban, bila SDM tidak sesuai dengan prasyarat yang diperlukan. Ibaratnya, lokomotif kereta yang berlari kencang (bak kereta cepat shinkansen) yang menarik gerbong kereta uap, akhirnya porak-poranda.

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang penuh dilema, kemajuan fisik dan infrastruktur tidak diikuti kualitas SDM memadai, Nenek moyang kita adalah pelaut dan Indonesia (Nusantara dahulu) merupakan kerajaan maritim yang disegani, tapi cerita SDM kelautan saat ini hanya derita WNI anak buah kapal yang tersiksa sebagai budak di kapal asing. Indonesia dikenal juga sebagai negeri agraris dengan stereotipe sawah yang menguning dan kebun yang menghijau, tapi kini mayoritas produk pangan diimpor dari negeri lain.

Untuk mengejar ketertinggalan dan kesenjangan peradaban (civilizational gap) itu kita perlu memperhatikan strategi pengembangan basis SDM (qaidah insaniyah) yang diperlukan. Kita memerlukan kelompok aktivis/penggerak (qaidah harakiyah) di berbagai bidang (teknisi/tenaga operasional) yang menyelesaikan persoalan di sekitarnya, bukan menjadi beban lingkungan. Selanjutnya kita memerlukan tenaga pembina (qaidah takwiniyah) yang mengerti bagaimana proses melejitkan segenap potensi, termasuk bakat tersembunyi, karena itu apresiasi harus diberikan kepada tenaga guru/dosen/trainer/mentor/tutor di semua bidang. Tahap krusial, kita menghajatkan kelompok pemikir (qaidah fikriyah) yang merancang dan mengevaluasi bekerjanya sistem nasional yang disepakati, di sinilah pentingnya kolaborasi semua disiplin keahlian.

Pada puncaknya, memang diperlukan basis kepemimpinan dan pengarah kebijakan (qaidah siyasiyah) yang arif-bijaksana, memandang semua persoalan secara komprehensif dan mencari solusi paling efektif. Dokter Arief, sesuai namanya, tipe pemimpin yang mendorong inisiatif untuk mencari solusi, bahkan berpikir jauh ke depan tentang generasi yang akan melanjutkan perjuangan. Saya bertambah syukur, karena Dokter Arief akhirnya bergabung dalam PPSDMS sebagai Pembina Regional IV Surabaya. PPSDMS kini sudah bermetamorfosis menjadi Rumah Kepemimpinan dan membina mahasiswa hingga angkatan ke-10, dengan prestasi dan kontribusi masing-masing.

Saya ingin menegaskan-ulang argumentasi yang pernah saya ajukan tentang dimensi-dimensi pergerakan yang sering diabaikan. Gerakan Moral menyentuh dan menyebarkan nilai-nilai normatif sebagai panduan masyarakat yang baik (good society), gerakan dakwah biasa bermula dari titik ini. Selanjutnya Gerakan Intelektual yang memberi alas rasional bagi perubahan masyarakat menuju kondisi lebih baik (betterment of society), kemampuan merancang teori dan menunjukkan bukti menjadi kunci. Gerakan moral dan intelektual tidak akan berbuah nyata, bila tak ada Gerakan Sosial yang membangun basis kongkrit untuk melakukan perubahan, sehingga perubahan bisa diuji dalam skala mikro (keluarga atau komunitas) sebelum diterapkan dalam skala makro (masyarakat atau negara).

Gerakan Politik kemudian memberi legitimasi bagi proses perubahan dari atas (top down) dengan melahirkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan bersama (maslahat al-ammah) serta mengalokasikan sumberdaya publik secara adil-merata. Sayangnya, banyak aktivis yang mengalami disorientasi perjuangan setelah berkenalan dengan kekuasaan, atau menjadi penguasa dalam level tertentu. Dari dedikasi Dokter Arief dan kawan-kawan pejuang kemanusiaan, saya mempelajari bagaimana bersikap konsisten dengan idealisme di masa muda. Karena, keberhasilan politik sehebat apapun tidak akan bertahan lama, tanpa Gerakan Kultural dan Peradaban yang menanamkan nilai-nilai bersama (shared values), bahkan membangun praktek bersama (collective action) yang disimbolkan oleh tertata dan terlembaganya layanan publik (public good and services) serta kearifan umum (general wisdom).

Bila artefak peradaban kuna ditandai oleh prasasti, candi dan istana/keraton, maka peradaban baru harus mengekalkan tanda pada sistem kerja birokrasi, pusat layanan pendidikan dan kesehatan, serta pasar-pasar tradisional yang tetap eksis dan berkembang di era modern dan teknologi digital. Berbagai aplikasi dan platform media yang berupaya mencerdaskan warga dan memberdayakan kaum lemah/miskin adalah artefak peradaban digital yang akan dikenang pada saat kita memperingati hati kemerdekaan dan kejayaan Republik Indonesia yang ke-100 atau 200 tahun.

Kontak Terakhir

Rangkaian kontak terakhir dengan Dokter Arief pada 8 Juni 2020, kami berdiskusi tentang: evolusi Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan kepemimpinan Xi Jinping yang membawa RRC sebagai adidaya dunia. Dokter Arief mengirim video UAS (Ustadz Abdul Shomad)  yang memberi ucapan selamat Milad kepada BSMI (2002-2020).

Esoknya (9 Juni), kami berdiskusi lagi tentang gerakan Antifasis (Antifa) di AS yang melawan kesombongan Presiden Trump. AS sedang berada di tubir kebobrokan negara adidaya. Pada 14 Juni 2020 (pukul 17.51), Dokter Arief bertanya tentang WNI di Amerika Serikat yang menjelek-jelekkan negeri sendiri. Saya tak sempat jawab, tapi menyitir Imam Shamsi Ali yang membuat catatan kritis tentang hal itu.

Setelah itu, saya dengar Dokter Arief dirawat di RSUD Dr. Soetomo. Saya terhenyak. Sebelumnya saya membaca berita tentang RSUD Dr. Soetomo yang terpaksa ditutup karena daya tampung terbatas, sedang jumlah pasien semakin membludak.

Tanggal 23 Juni 2020 (16.34), saya menulis pesan: “Dokter Arief Basuki ykh. Assalamu’alaikum, semoga segera pulih kembali.” Tidak ada balasan… Hingga sepekan kemudian (30 Juni 2020), sore hari yang mendung di Depok, saya mendapat kabar duka wafatnya seorang sahabat: pejuang kemanusiaan. Beberapa jam sebelumnya, saya juga mendapat kabar duka dari Lembang, Jawa Barat. Dua orang “Guru” berpulang pada hari yang bersamaan.

Profesinya sebagai dokter spesialis dibaktikan bukan untuk mencapai kekayaan, kemasyhuran atau kedudukan terhormat di mata manusia. Tapi, melayani semua orang. Bahkan, jiwanya dikorbankan demi menyelamatkan jiwa manusia lainnya. Sebuah Devosi nyaris tanpa pamrih. Semoga Allah Ta’ala meridhai segala amal perjuangannya, dan murid-muridnya menyadari: ada banyak perkerjaan besar (proyek peradaban) yang dimulai dari langkah kecil dan sederhana. []