Penerapan Maqashid Syariah Dalam Ketentuan Ekonomi Syariah

Oleh : Septiara Salwa Auliyah

Penerapan maqashid syariah ini merupakan penjabaran dari maqashid (tujuan) besarnya yaitu hifdzul mal (menjaga dan memenuhi hajat dan maslahat akan harta).

Menjaga dan memenuhi hajat akan harta tersebut adakalanya dari sisi sebagaimana mendapatkannya (min janibi al-‘adam).

Hifdzul mal tersebut juga menjadi rumpun kaidah dalam bidang muamalah, kaidah ini dijabarkan dengan maqashid’ammah (tujuan-tujuan umum) dan maqashid khassah (tujuan khusus) yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya.

Di bawah ini disebutkan beberapa maqashid’ammah (tujuan-tujuan umum) dan maqashid khassah (tujuan khusus) sebagai contoh penerapan maqashid syariah.

A. Maqashid ‘Ammah (Maqashid Umum) Ketentuan Ekonomi Syariah

Di antara maqashid umum tersebut adalah sebgai berikut.

1. Setiap  kesepakatan harus jelas

Setiap kesepakatan bisnis harus jelas diketahui oleh para pihak akad agar tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka.

Untuk mencapai target ini, syariat Islam memberlakukan ketentuan tautsiq (pengikatan) dalam akad muammalah maliah, seperti ketentuan bahwa setiap transaksi harus tercatat (kitabah) disaksikan (isyhad) dan boleh bergaransi.

2. Setiap kesepakatan bisnis harus adil

Di anatara prinsip adil yang diberlakukan dalam bisnis adalah kewajiban pelaku akad untuk menunaikan hak dan kewajibannya, seperti menginvestasikannya dengan cara-cara yag baik dan profesional, menyalurkannya dengan cara yang halal dan menunaikan kewajiban hak hartanya.

Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa adil dalam bisnis itu adalah bagaimana berbisnis dan mendapatkan harta itu dilakukan dengan cara yang tidak menzalimi orang lain, baik dengan cara komersil atau nonkomersil.

3. Komitmen dengan kesepakatan

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ

‘Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu’… (QS Al-Maidah [5]: 1 )

Ayat ini menegaskan tentang kewajiban memenuhi setiap kesepakatan dalam akad, termasuk akad-akad bisnis. Karena setiap akad berisi hak dan kewajiban setiap peserta akad. Dan setiap kesepakatan bisnis akan berhasil itu ditentukan oleh komitmen peserta akad dalam memenuhi setiap kesepakatan akad.

4. Melindungi hak kepemilikan

Para ulama telah sepakat bahwa mengambil harta orang lain dengan cara yang batil itu diharamkan. Oleh karena itu, Allah SWT. Memberikan hukuman atas setiap kesejahteraan terhadap harta (taaddi ‘ala amwal).

5. Ketentuan akad-akad syariah

Dalam teori akad-akad perpindahan hak milik (tamlikat) itu ada 5 tujuan (maqashid syariah) dalam ketentuan sah dan tidak sah akad tersebut.

Kelima maqashid tersebut adalah distribusi (rawaj), jelas (wudhuh), terpelihara (hifdz), stabil (tsabat) dan adil (‘adl).

6. Harta itu harus terdistribusi

Harta itu harus terdistribusi dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau distribusi.

7. Kawajiban bekerja dan memproduksi

Di antara maqashid syariah adalah kewajiban bekerja dan memproduksi. Kewajiban ini berdasarkan istiqra’ terhadap dali-dalil yang memberikan dilalah qath’iah (makna yang pasti) bahwa bekerja dan produksi itu hukumnya wajib sesuai dengan firman Allah SWT :

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagaimana dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS Al-Mulk [67]: 15)

Dalam ayat ini Allah SWT. Memerintahkan untuk berjalan di muka bumi ini untuk mencari rezeki Allah SWT.

8. Investasi harta

Investasi harta adalah salah satu tujuan yang Allah tetapkan dan harus dicapai dalam harta yang dimiliki setiap orang. Tujuan ini didasarkan pada dalil yang tidak terbatas, diantaranya istiqra’ yang menjadi pijakan mujtahid dalam berijtihad.

9. Investasi dengan akad mudharabah

Maksud syar’i dalam mudharabah bisa dilihat dalam dua hal berikut :

a. jika seseorang memiliki kelibihan harta dan memiliki kemampuan untuk mengelolanya, maka ia harus bekerja dan mengelolanya sendiri. Dan jika usaha berhasil, maka seluruh keuntungan menjadi haknya.

b. jika seseorang yang memiliki harta tetapi tidak mampu/tidak memiliki kemampuan dalam mengelolanya sendiri, maka ia harus menyerahkankannya kepada pihak lain untuk mengelolanya. Ini adalah salah satu tujuan dalam maqashid syariah.

10. Al-Kharraj bi adh-Dhaman (keseimbangan antara keuntungan dan risiko)

Kaidah al-kharraj bi adh-dhaman ini adalah prinsip dalam muamalat islam yang bersumber kepada dalil istiqra’ terhadap nash-nash syariat dan menghasilkan maqashid yang berstatus qath’i.

B. Maqashid Khassah (Maqashid Khusus) Ketentuan Ekonomi Syariah

Di antara maqashid tersebut adalah sebagai berikut :

1. Maqashid pelarangan riba dalam surat’Ali Imran ayat 130

Allah SWT. Menegaskan bahwa riba adalah terlarang dan diharamkan dalam islam, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali ‘Imran [3]: 130)

2. Maqashid pelarangan riba dalam surat Al-Baqarah ayat 275

Allah SWT berfirman :

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT. Telah mengahalalkan jual beli dan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [2]: 275)

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud riba dalam ayat diatas, sebagian ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Muawiyah berpendapat bahwa maksud riba dalam ayat di atas adalah riba menurut arti bahasa yaitu riba jahiliyah (riba qardh).

3. Maqashid perbedaan anatar jual beli dan riba

Allah SWT. Berfirman :

ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

Keadaan mereka yang demikian itu, adalahbdisebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual  beli dan mengharamkan riba. (QS Al-Baqarah [2]: 275)

Dalam ayat ini Allah SWT. Membedakan antara jual beli dan riba. Perbedaan antara jual beli adalah perbedaan antara kondisi pembeli dan peminjam, karena kebutuhan peminjam untuk menutupi hajat dirinya dan keluarganya.

Sedangkan pembeli melakukan transaksi ini karena ada kelebihan harta.                 

4. Maqashid larangan riba qadh

Riba qadh (riba jahiliyah) itu diharamkan menurut Al-Qur’an. Oleh karena itu, seluruh ulama tanpa terkecuali telah sepakat bahwa riba al-qard itu diharamkan dalam islam.

Banyak dalil yang menegaskan tentang keharaman ini, di antaranya ayat-ayat Al-Qur’an :

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

Padahal Allah SWT. Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Al-Baqarah [2]: 275)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqawalah kepada Allah SWT. Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Al-Baqarah [2]: 278)

Berdasarkan dalil-dalil diatas yang shahih dan sharih (jelas dan tegas) menunjukan bahwa riba qardh (riba jahiliyah/riba nasiah) ini termasuk tsawabit dan qath’iyat (hal yang prinsipin dan pundamen) dalam agama ini.

5. Maqashid larangan riba buyu’

Riba qard itu diharamkan dengan dalil yang qathiyu dilalah dan dengan konsesus ijma’ para ulama, sebaliknya, riba buyu’ ini berbeda dalam status hukumnya dimana para ulama berbeda pendapat tentang status hukum riba buu’ ini. Perbedaan mereka besumber dari perbedaan mereka tentang ‘illat barang-barang ribawi.

6. Maqashid larangan praktik talaqqi rukban

Rasulullah Saw. menegaskan bahwa talaqqi rukban adalah terlarang dan diharmkan.

Ar-rukban dalam hadis di atas adalah pihak yang mengimpor barang sedangkan lafadz talaqqihim itu maksudnya pihak yang menemui penjual komoditi dan membelinya dari mereka sebelum penjual tersebut masuk pasar.

Praktik talaqqi rukban mengakibatkan supply dan demand tidak bertemu sehingga tidak terjadi pasar yang sehat yang bisa menentukan harga dengan adil.

Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam,

Dr. Oni Sahroni, M.A.

Ir. Andiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P

Published
Categorized as Ragam