DepokNews–Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyatakan pergeseran lingkungan strategis di tingkat global dan regional sangat mempengaruhi sikap Indonesia untuk terus mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.
“Dukungan terhadap kemerdekaan negara Palestina merupakan hutang sejarah bagi bangsa Indonesia, sebab ketika Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, rakyat Palestina juga memberikan dukungan penuh. Bukan hanya dukungan politik, melainkan juga dukungan finansial dan boikot terhadap kapal penjajah Belanda yang waktu itu bersandar di pelabuhan Mesir,” ungkap Hidayat Nur Wahid saat menjadi narasumber kunci dalam Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara di Hotel Aston, Jakarta (16/12/2025).
Diskusi aktual yang diselenggarakan MPR RI bekerjasama dengan Center for Indonesian Reform (CIR) membahas tema “Pergeseran Lingstra (Global, Regional dan Nasional) dan Respon Indonesia” dengan menampilkan pembicara Muhammad Kholid (Anggota DPR/MPR RI), Munadhil Abdul Muqsith (Penetliti BRIN), Yusuf Wibisono (Direktur Next Policy), dan M. Novel Ariyadi (Wakil Ketua ICSF). Hidayat melihat lingstra global dan regional mengalami pergeseran penting, tatkala posisi sentral Amerika Serika (AS) ditantang oleh kekuatan baru seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Russia yang telah membangun aliansi ekonomi BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan South Africa). Sejak awal tahun 2025, Indonesia telah resmi bergabung dengan BRICS menjadi anggota tetap bersama 10 negara lain.
Genosida yang terjadi di Palestina telah membuka mata dunia, bukan lagi sekadar konflik atau perang regional, melainkan pembasmian etnik dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim Zionis Israel. “Dulu kaum Yahudi menjadi korban keganasan Nazi Jerman, namun sekarang justru rezim Zionis Israel yang menjadi pelaku kejahatan paling keji dalam sejarah manusia. Apa yang terjadi di Palestina bukan konflik atau perang biasa, melainkan penjajahan yang ingin mengusir penduduk asli dari Tanah Airnya (settler colonialism),” papar Hidayat. “Karena itu, sikap Indonesia jelas sesuai dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 bahwa kita bertekad agar penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan, dan kita ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Selama Palestina belum merdeka dan berdaulat sepenuhnya serta masih ada penjajahan di dunia, maka Indonesia akan terus berjuang untuk melawan penjajahan. Hal itu ditegaskan oleh Bung Karno selaku proklamator dan Presiden pertama RI hingga Presiden Prabowo Subianto saat ini. Peneliti BRIN Munadhil menjelaskan kebijakan luar negeri Indonesia bergeser dari “non-alignment” menuju “strategic autonomy”. Sikap non-alignment klasik (era Perang Dingin) adalah tidak memihak dua blok militer yang konfrontatif. “Sementara otonomi strategik kontemporer membolehkan kerja sama intensif dengan semua pihak, tetapi keputusan kunci (tentang pertahanan, teknologi, dan pangan-energi) tidak boleh disandera satu kekuatan besar. Kebijakan luar negeri RI harus selaras dengan kepentingan pembangunan domestik (RPJM 2025–2029),” ujar alumni RUDN University, Russia itu. Karena itu, upaya untuk mendorong Indonesia dengan berbagai cara melakukan normalisasi hubungan dengan Israel (atas desakan AS) harus dipatahkan hingga Palestina merdeka dan berdaulat penuh.
Pakar national security Novel Ariyadi memaparkan pergeseran dan kehancuran multilaterialisme global akibat rangkaian hak veto AS dalam DK PBB terkait genosida di Gaza (2023-2025). Sejak jeda kemanusiaan (18 Oktober 2023) hingga gencatan senjata penuh (18 September 2025) scenario perdamaian gagal hanya karena satu suara veto AS, sementara suara anggota DK lain setuju. Sikap AS menyebabkan rusaknya mandat PBB untuk menghentikan perang dan melindungi warga sipil, sehingga rezim Zionis dibiarkan (impunity) membunuh anak, lansia, wartawan, petugas medis dan kemanusiaan dengan beragam metoda di luar batas kemanusiaan.
“Lebih jauh, fungsi PBB bergeser dari forum untuk mencari solusi menjadi panggung simbolik saja tempat pemimpin dunia bersilat lidah tanpa aksi nyata, hingga negara-negara Global South makin skeptis dan mencari alternatif BRICS, SCO dan koalisi Ad-Hoc. Genosida di Gaza, Palestina merupakan episentrum dari konflik global yang kini bereskalasi di 7 front utama,” jelas Novel, alumni LKY School of Publik Policy NUS dan Harvard Kennedy School of Public Policy. Front konflik saat ini di Timur Tengah (Israel-Palestina-Lebanon-Iran), Laut Merah (Yaman vs Armada AS), Eurasia (Ukraina vs Russia), Asia Selatan (India-Pakistan), Indo Pasifik (Laut Cina Selatan, RRT vs AS), Afrika (Sudan, Niger, Mali, Burkina), dan Amerika Latin (AS vs Venezuela). Tujuh front konflik saat ini lebih banyak dari front pertempuran yang menyebabkan Perang Dunia Pertama (4 front) dan Kedua (6 front). Dunia diambang Perang Dunia III.
Meskipun dunia di ambang konflik besar dan kemanusiaan terancam, namun Hidayat Nur Wahid masih melihat kemerdekaan negara Palestina dapat diwujudkan, karena solidaritas global tidak dapat dibendung lagi. Untuk itu, Indonesia harus terdepan menggalang dukungan di tingkat negara maupun masyarakat (organisasi kemanusiaan). Agar hutang sejarah Indonesia kepada rakyat Palestina dapat dilunasi. []






