PKS Tolak Kenaikan Harga BBM Paska Pandemi Covid-19

DepokNews- Langkah pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya Pertalite dan Solar Subsidi di saat rakyat Indonesia masih berjuang memperbaiki pondasi ekonomi dari pandemi Covid-19, disoroti Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Depok Novi Anggriani.

Menurut pemerhati perempuan dan anak asal Depok ini, kebijakan tersebut tidak elok dilakukan, karena akan menambah penderitaan rakyat. Sebab, akan memicu kenaikan kebutuhan pokok lainnya.

“Sangat tidak elok ya. Seharusnya pemerintah memikirkan penderitaan rakyat, kita masih berjuang memperbaiki ekonomi karena dihantam pandemi Covid-19 lebih dari dua tahun,” kata Novi.

Novi Anggriani pun menilai, rencana kenaikan harga BBM tersebut tidak beralasan, dan dengan tegas ia menolak kenaikan bahan bakar minyak tersebut.

“Sangat jelas jika ditanya, saya pun akan tegas menolak,” ucapnya.

Hal tersebut selaras dengan Fraksi PKS yang juga menolak kenaikan BBM. Seperti yang disampaikan Anggota Banggar dari Fraksi PKS DPR RI Sukamta yang menolak kenaikan harga BBM. Menurut Sukamta, alasan pemerintah menaikan harga BBM tak beralasan.

“Alasan pemerintah bahwa subsidi BBM tahun 2022 sudah mencapai Rp500 trilliun itu tidak benar. Subsidi energi tahun 2022 sebesar Rp208,9 triliun itu pun terdiri dari subsidi BBM dan LPG pertamina Rp149,4 triliun, serta subsidi listrik Rp59,6 triliun. Pemerintah seharusnya jujur, bukan membuat framing utang,” ungkap Sukamta dikutip dari laman fraksi.pks.id.

“Sisanya dari mana? sisanya Rp343 trilliun untuk membayar utang kompensasi alias utang pemerintah ke Pertamina dan PLN tahun 2022 sebesar Rp234,6 triliun dan utang tahun 2021 sebesar Rp108,4 triliun. Kompensasi ini alasannya untuk mendukung operasional Pertamina dan PLN dalam menyediakan BBM subsidi. Jadi ini subsidi ke Pertamina dan PLN bukan ke rakyat,” imbuhnya.

Ironinya, Sukamta melanjutkan, kompensasi yang diberikan kepada PLN dan Pertamina sebagian besar untuk membayar utang BUMN tersebut dan untuk menanggung beban umum dan administrasi perusahaan termasuk membayar gaji-gaji direktur, komisaris dan manajemen.

“Pertamina saja beban umumnya sangat besar mencapai Rp29 trilliun pada tahun 2021. Tahun 2022 angkanya kemungkinan tidak akan berbeda jauh,” tegasnya.

Jadi, lanjut Sukamta, pemerintah ini bikin pesan agar ada alasan utang pemerintah ke Pertamina dan PLN dibayar oleh rakyat.

“Dalihnya terlalu banyak subsidi BBM yang mencapai Rp500 triliun. Padahal pemerintah ini tidak sanggup membayar utang ke Pertamina dan PLN,” kata Sukamta.

“Berdasarkan fakta-fakta ini kami PKS menolak rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah. Permasalahan bahan bakar minyak (BBM) ini ibarat bom waktu namun pemerintah tidak siap menghadapinya,” ucap Sukamta.

Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, ungkap Sukamta yang duduk di Komisi I DPR RI ini, merupakan kebijakan paling mudah. Padahal masih banyak strategi yang bisa dilakukan.

“Misalnya mendorong penurunan konsumsi BBM dengan mendorong peningkatan layanan transportasi umum, peningkatan pajak kendaraan mewah, mendorong penggunaan mobil listrik,” urainya.

Bisa juga, kata Sukamta, dengan subsidi terbatas. Misalkan berdasarkan data GAIKINDO dari rata-rata penjualan kendaraan roda empat dan lebih mulai dari LCGC, truk, bus, pickup mencapai 40 persen dari total penjualan.

“Segmen inilah yang seharusnya pemerintah tetap memberikan subsidi kepada kendaraan yang menggerakkan ekonomi masyarakat dan kelas menengah ke bawah,” tuturnya.

Cara pemerintah mencabut subsidi tanpa melihat kemampuan masyarakat bawah yang menggunakan pertalite untuk transportasi kendaraan bermotor, kata Sukamta, akan menambah sengsara rakyat di tengah pemulihan kondisi ekonomi pasca pandemi.

“Dampaknya jumlah angka kemiskinan, gizi buruk akan meningkatdi kemudian hari,” tutup Sukamta.