Oleh : Firdaus Bayu – Pusat Kajian Multidimensi
Satpol PP Kota Bandung mengamankan 25 terapis yang diduga memberikan jasa layanan
pijat plus-plus di Hotel Harapan Indah, Jalan Gatot Soebroto, Kelurahan Malabar, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung. Hal itu terungkap dari hasil operasi cipta kondisi Ramadan yang dilakukan Satpol PP Kota Bandung, Selasa (6/6). Anggota Satpol PP yang menggeledah satu persatu kamar dari hotel kelas melati tersebut menemukan ada dua kamar yang sedang melakukan aktivitas pijat memijat. Dari temuan di lapangan, hotel yang telah berubah fungsi menjadi tempat pijat ini diduga kuat digunakan untuk berbuat asusila. “Saat kita periksa, ada dua kamar sedang melakukan kegiatan pijat memijat. Kita OTT langsung. Kita duga lokasi ini menjadi tempat prostitusi terselubung. Kita temukan juga ada alat kontrasepsi,” ujar Kabid Penegakan Produk Hukum Daerah (PPHD) Satpol PP Kota Bandung Idris Kuswandi kepada wartawan di lokasi. (merdeka.com, 07/06/17).
Miris!
Miris, di tengah nuansa Ramadhan yang semesthinya menjadi momen peningkatan ketakwaan, tindakan asusila masih saja mewarnai negeri ini. Berita di atas tentu hanya satu di antara sekian banyak kejadian serupa lainnya. Tak bisa dipungkiri, dalam kontrol sistem liberalisme, Indonesia bisa dibilang teledor dalam mengatasi pornografi dan pornoaksi. Meski telah ada Undang-undang tentang pornografi, namun keberadaannya terbukti tak mampu membendung arus pornografi di negeri ini. “Menurut Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), Yuliandre Darwis, Indonesia menempati posisi dua dalam mengakses konton porno di dunia maya.” (jawapos.com, 07/05/16).
Protitusi bukan kebiasaan alami manusia. Prostitusi adalah bisnis perilaku menyimpang. Sebagaimana kejahatan lainnya yang tidak bisa dihilangkan sama sekali, prostitusi pun demikian. Karenanya, lokalisasi prostitusi harus disikapi sebagai mentolelir keharaman dan kejahatan, apapun pertimbangannya. Sesungguhnya tidak ada alasan untuk melakukan lokalisasi prositusi, meski begitu canggihnya bisnis haram ini atau begitu banyaknya orang yang menginginkannya.
Begitu pula dengan pornoaksi, tindakan asusila tersebut masih saja ada dan bahkan sebagiannya legal di negeri ini. Tidaklah sulit menggambarkan betapa akutnya pornoaksi di negeri ini. Di berbagai media, hampir setiap hari ada saja kasus asusila yang menimpa orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak sekalipun. Remaja hamil di luar nikah sudah hal biasa. Sungguh memprihatinkan, negeri berpopulasi muslim terbesar sedunia yang semesthinya berakhlak mulia terkungkung kaku dalam kubangan budaya kebebasan.
Secara konstitusi, batasan pornografi dan pornoaksi di negeri ini belumlah sesuai dengan nilai-nilai agama bagi umat muslim di negeri ini. Maka tak heran jika pada akhirnya ia tak mampu menjadi pembendung maraknya pornografi dan pornoaksi. Terlebih, adanya pembiaran tindakan asusila tersebut tanpa bisa diusut sebagai tindakan kriminal selama tidak mengandung unsur pemaksaan dan penyebaran adegannya, alias dilakukan secara sukarela di tempat aman dan tidak dipublikasikan. Semua kerusakan tersebut tak dapat dipungkiri merupakan dampak langsung dari budaya liberalisme yang secara leluasa telah merusak negeri ini sejak lama.
Butuh Sistem Solutif
Pemerintah sudah saatnya memberikan solusi atas semua problematika dalam negeri. Tidak cukup hanya dengan perbaikan beberapa regulasi. Restorasi sosial dan revolusi mentalpun tidak cukup mengatasi, khususnya untuk mencegah kasus ini. Pemerintah juga perlu tahu bahwa masyarakat resah dengan gagasan konyol pemerintah yang mewacanakan lokalisasi dan sertifikasi pelaku prostitusi untuk masalah hina ini.