Psikolog Menilai Situs nikahsirri.com Jadi Ajang ‘Variasi’ Perjodohan Online

DepokNews- Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai, kasus situs www.nikahsirri.com yang dilakukan oleh Aris Wahyudi sebagai pemilik situs. Sebagai salah satu ‘variasi’ dari perjodohan online yang semakin jauh hingga ke arah pernikahan.
Biro jodoh memang sudah ada sejak dahulu kala dan semakin berkembang mulai dari mulut ke mulut, menggunakan media massa baik koran, majalah dan lainnya. Bahkan saat ini melebar hingga dilakukan melalui aplikasi di internet.
“Secara umum pada dasarnya sebenarnya ini adalah ‘usaha’ untuk mempermudah bertemunya pihak yang saling membutuhkan,” katanya, Senin (25/9).
Sayangnya, alasan dari pertemuan ini memang menjadi tidak etis karena lebih mengedepankan pengesahan perkawinan yang didasarkan pada ‘kebutuhan’ semata. Misalnya kebutuhan pemenuhan nafsu seksual (dari pihak pria) atau pemenuhan  kebutuhan ekonomi seperti membayar kuliah dll dari pihak wanita seperti yang disampaikan pemilik situs.
“Hal ini jelas sdh melenceng dr tujuan awal biro jodoh. Pernikahan tentunya harus dilandasi hal-hal yang jauh lebih penting daripada ‘sekedar’ menghalalkan hubungan seksual melalui pernikahan siri,” ungkapnya.
Pernikahan tentunya memerlukan keterlibatan fisik emosional psikologis bagi kedua belah pihak. Tanggungjawab dan komitmen tentunya adalah hal utama yang dikedepankan. UU Perkawinan di Indonesia sebenarnya telah mengatur secara ketat mengenai hal ini. Hak dan kewajiban suami dalam rumah tangga dan lainnya. Kesulitan menikah bukan hanya pada ‘biaya’ menikah, tetapi setelah pernikahan itu sendiri timbullah konsekuensi logis. Jika pernikahan siri hanya dianggap sebagai solusi zina, Sinta menuturkan itu jelas meremehkan lembaga pernikahan itu sendiri.
Jika dilihat dari situs itu dia berpendapat bahwa ini bisa dikatakan prostitusi online. Dimana pemilik situs memang cukup cerdas dan kreatif untuk melihat celah atau peluang yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungannya. Dia juga paham bahwa penggunaan baju ‘agama’ jauh lebih dapat diterima oleh masyarakat yang cenderung- mudah terpengaruh pada hal-hal yang dibungkus dengan kedok agama.
“Asal menggunakan agama hampir semua dapat diterima dan dimaafkan, padahal sudah banyak kasus terjadi penipuan bekedok agama,” ungkap Aully.
Potensi kesana (prostitusi) sangat besar. Karena tidak ada yang mengawasi dan atas dasar mau sama mau yang diperantarai orang ketiga. Kemudian ada mahar yang dibayarkan dan ini tentu  menjadi modus prostitusi. Mahar ini sebenarnya sama dengan tarif prostitusi, hanya ‘dikemas’ dengan lebih sopan.
“Hal tersebut secara nyata sudah banyak dilakukan di berbagai daerah yang juga dikenal dengan sebutan kawin kontrak,” jelasnya.
Dalam dunia prostitusi, ekonomi kerap dituding sebagai penyebabnya. Padahal sebenarnya tidak selalu berkorelasi dengan hal itu. Artinya saat pada situasi kemiskinan prostitusi adalah pilihan, orang bisa memilih untuk mendapat penghasilan dari sana atau tidak. Kalau motifnya untuk bisa mendapat uang tanpa modal berarti karena modal ada pada diri sendiri, tidak perlu diasah melalui pendidikn keteranpilan tertentu.
“Prostitusi memang menjadi pilihan yang sangat menarik,” tukasnya.
Perkembangan teknologi saat ini memudahkan masyarakat melakukan apapun termasuk akses kepada hal seperti ini. Euphoria akan penggunaan internet masih besar di masyarakat kita. Sehingga sangat mudah terprovokasi, baik pengguna maupun pembuat aplikasinya. Kalau bisa apapun dibuat aplikasinya karena hal yang bisa diakses melalui aplikasi di internet dinilai lebih keren dan kekinian. Tak bisa dipungkiri bahwa masih sangat banyak masyarakat kita yang tidak paham, tidak dewasa, dan tidak cukup cerdas dalam menggunakan internet, sehingga sangat mudah terpengaruh dengan berbagai informasi yang datang dengan sangat cepat dan mudah. Termasuk mencari jodoh, menikahi perawan dan menikah siri.
“Sehingga hal yang seharusnya sakral dan bermotif ibadah ‘dimudahkan’ oleh pembuat aplikasi menjadi hal yang sifatnya transaksional. Dan ini jelas serupa dengan prostitusi,” tegasnya.
Seharusnya provider android melakukan juga review dan seleksi untuk bisa masuk sebagai aplikasinya. Kalau orientasinya hanya kepentingan bisnis semata jelas tidak akan ada review, maka pemerintahlah yang wajib mereview aplikasi-aplikasi ini. Meskipun biasanya Android menyerahkan popularitas aplikasi pada pasar. Artinya kkalau banyak diakses maka akan bertahan, kalau tidak maka mati sendiri. Tetapi seharusnya ada aturan yang juga terkait dengan aturan hukum yang ada. Aplikasi ini jelas akan melanggar UU perkawinan.
“Ini juga bisa mendongkrak popularitas. Selain banyak orang yang awalnya ‘hanya’ ingin tahu hingga mendonlot aplikasi ini sampai ke tindakan yang lebih serius yang sangat mungkin menimbulkan berbagai ekses negatif. Sampai sejauh inilah dampak yang harus dipikirkan baik oleh pembuat aplikasi, pihak yang berwenang atas approval aplikasi, pemerintah, dan juga pengguna,” pungkasnya.(mia)