Sapto: Gerakan 212 Berpengaruh terhadap Konstelasi Nasional

DepokNews–Reuni akbar alumni aksi 212 yang berlangsung di kawasan Monumen Nasional, Jakarta dengan tertib dan lancar menunjukkan pengaruh gerakan sosial yang besar. Jutaan warga datang secara sukarela dari berbagai penjuru daerah melakukan aksi damai. Aksi tersebut juga bersifat gerakan moral karena diisi zikir dan doa, serta imbauan untuk memperbaiki kondisi umat dan bangsa Indonesia sesuai  teladan Nabi Muhammad Saw.

Pengamat gerakan sosial dari Center for Indonesian Reform (CIR), Sapto Waluyo, melihat pengaruh gerakan 212 secara politik cukup besar bagi perubahan konstelasi nasional. “Tak bisa dihindari karena aksi massa terbesar dalam sejarah Indonesia itu menampilkan tokoh-tokoh lokal dan nasional yang vokal. Kekompakan dan ketertiban aksi yang berdurasi panjang, mulai jam 03.00 dini hingga jam 11.00, menimbulkan kesan mendalam bahwa mobilisasi umat bersifat konstruktif jika diarahkan,” ujar Sapto selaku Direktur CIR. Sapto pernah meneliti gerakan antikorupsi di Indonesia pasca reformasi 1998.
Sementara itu, Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan (LKSP) melakukan survei nasional tentang partisipasi politik umat Islam. Survei dilakukan 1-15 November 2018 dengan jumlah sampel 2.940 responden dari 33 provinsi di seluruh Indonesia (kecuali Sulawesi Tengah yang sedang terkena bencana). Pengambilan sampel dilakukan secara systematic multistage random, tersebar di 294 TPS (tempat pemungutan suara) di 294 desa terpilih. Jumlah sampel TPS diambil secara proporsional dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. Margin of error 2 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Pembina LKSP, Muhsinin Fauzi, menjelaskan karakteristik responden diupayakan sesuai dengan karakteristik pemilih tahun 2019. Dari segi usia: 22,4 persen (26-35 tahun), 25,2 persen (36-45), dan 22,0 persen (46-55). Hanya pemilih millennial (16-25 tahun) yang kurang proporsional (12,5 persen). Padahal mestinya lebih besar, sekitar 20 persen. Dari segi pendidikan responden: tidak sekolah.tidak tamat SD (14,7 persen), SD/MI (26,0), SMP/MTs (19,5) dan SMA/MA (29,3) cukup representatif sesuai sensus BPS 2017.

Berdasarkan agama responden: Muslim (90 persen), Protestan (4), Katolik (4), dan Hindu-Budha (2). Sedangkan jenis kelamin responden dibuat seimbang: lelaki (51 persen) dan perempuan (49). Dari segi perilaku keberagamaan responden sangat beragam: 22,6 persen menyatakan berafiliasi ke ormas NU, Muhammadiyah (3,4) dan ormas lainnya (22,9). Sementara yang tidak menyebut afiliasi organisasi cukup besar (51,0). Hal itu menunjukkan independensi responden.

Untuk mengukur tingkat keibadahan sebagai Muslim (mayoritas responden) dipakai beberapa kriteria. Dari segi menjalankan shalat lima waktu: 56 persen menyatakan selalu menjalankan, sering (17), kadang-kadang (15) dan tidak pernah (10). Melaksanakan puasa Ramadhan: selalu (65), sering (17), kadag-kadang (7), dan tidak pernah (10). Membaca al-Qur’an: selalu (18), sering (20), kadang-kadang (43), dan tidak pernah (10). Ikut pengajian: selalu (16), sering (21), kadang-kadang (40), tidak pernah (10).

Bagi responden yang ikut pengajian, sebagian besar (50 persen) mendengarkan nasehat “Ustadz”, Kiai (22), Gus (1), Habib dan lainnya (7). “Ustadz merupakan gelar popular untuk pengajar agama yang sesuai kondisi jamaah kekinian, seperti Ustadz Abdul Shomad, Ustad Adi Hidayat atau Ustadz Arifin Ilham. Sedangkan gelar Kiai lebih ditujukan pada figur yang memimpin pesantren, termasuk Gus yang berpenampilan nyentrik. Figur Habib juga mencuat di kalangan umat,” ungkap Muhsinin.

Menurut responden, agama menjadi pertimbangan yang sangat signifikan dalam memilih Calon Presiden (73 persen), partai dalam Pileg (65) dan Caleg (70). Demikian pula, keberpihakan Capres terhadap Islam/masalah keummatan menjadi pertimbangan pemilih (74 persen), termasuk keberpihakan partai (66) dan caleg (70).

Sebagian besar responden (52,8 persen) tahu aksi bela Islam 212 yang berlangsung beberapa seri dan ikut mendukung (31,0). Sementara pengetahuan responden tentang Ijtima Ulama yang merekomendasikan capres pilihan umat lebih sedkit (27,0), termasuk dukungannya (21,6). Namun, lebih banyak responden yang tahu tagar #2019GantiPresiden (46 persen) dibandingkan tahu #2019TetapJokowi/ #Jokowi2Periode. Reponden yang mendukung tagar #2019GantiPresien dan #2019TetapJokowi ternyata sama besar (24 persen).

“Berdasarkan kondisi responden tersebut, elektabilitas pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai capres petahana masih cukup tinggi (48,9). Meskipun elektabilitas kandidat penantang Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus bertumbuh (31,6) dan undecided voter (19,5). Peluang pergeseran sangat mungkin terjadi,” papar Muhsinin. Gerakan 212 berpengaruh karena dari tuntutan penistaan agama berkembang menjadi diskriminasi hukum dan penyimpangan kekuasaan.

Sebagaimana ditegaskan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang turut memberikan sambutan. “Hati-hati dengan proses politik. Karena dengan sekali tanda tangan penguasa saja, kebijakan sudah bisa dibuat dan mempengaruhi kepentingan semua orang,” sambut Anies di hadapan jutaan warga.

Sapto Waluyo mencermati hasil survei LKSP itu. “Peluang petahana belum aman dan mungkin terancam karena tidak mencapai suara lebih dari 50 persen, sedang penantang harus berjuang lebih keras untuk meyakinkan pemilih yang belum menentukan sikap. Di sini peran gerakan sosial berbasis moral dan mendapat dukungan inklusif berkelanjutan jadi penting karena yang terlibat dalam reuni aksi 212 bukan hanya Muslim dan berasal dari beragam afiliasi organisasi,” simpul Sapto.