DepokNews–Direktorat Inovasi dan Inkubator Bisnis, Universitas Indonesia (UI) meluncurkan Website Warung Ilmiah Lapangan (Science Field Shops) dan Sistem Informasi Data Agrometeorologi Petani di Balai Sidang, Kampus UI, Depok. Desember 2018.
Acara peluncuran dibuka Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi UI, Prof. Dr. Rosari Saleh yang disaksikan Ketua Direktorat Inovasi dan Inkubator Bisnis UI, Dr. Taufiq W. Priambodo, M.Sc.
Ketua Tim Warung Ilmiah Lapangan (WIL) Science Field Shops) dan Website WIL, Prof. M.A. Yunita T. Winarto, Ms, MS memaparkan, berbagai konsekuensi perubahan iklim bagi pertanian seperti naiknya suhu minimum di malam hari.
“Keragaman pola pergantian musim dan kemungkinan terjadinya peristiwa iklim ekstrim, membuat petani tidak lagi dapat menggantungkan diri hanya pada pengetahuan tradisional dan pengetahuan empiris,”katanya.
Menanggapi hal itu, lanjut dia, suatu inovasi dalam pembelajaran petani menghadapi konsekuensi perubahan iklim telah diperkenalkan sejak 2008 di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, pada 2009 di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar), pada 2014 di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan pada 2018 di Kabupaten Sumedang, Jabar.
“Dalam kurun waktu satu dasa warsa itu, antropolog dari Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia menjalin kerja sama melalui pendekatan lintas-disiplin dengan pakar agrometeorologi, dan trans-disiplin dengan petani dalam menumbuhkembangkan program pembelajaran agrometeorologi dalam arena Warung Ilmiah Lapangan (WIL, Science Field Shops, SFSs).
Dia menambahkan, metode belajar secara berkesinambungan dengan petani sebagai peneliti dalam komunikasi secara dialogis dengan akademisi dan berbagai pihak merupakan pendekatan utama yang ditatamantapkan secara bersama oleh kedua pihak, petani dan ilmuwan.
Terdapat tujuh jasa layanan iklim (seven climate services) yang diperkenalkan dan dikembangkan dalam arena belajar itu, yakni, mengukur curah hujan setiap hari, mengamati dan mendokumentasikan kondisi agroekosistem lahan pertanian, mengevaluasi hasil panen, mengelola kegiatan WIL oleh petani sendiri, menyebarluaskan skenario musiman untuk tiga bulan ke depan yang diperbaharui setiap bulan, menyajikan pengetahuan baru yang dibutuhkan petani sesuai dengan kondisi di lahannya dan melaksanakan eksperimen “sama-sama menang” (win-win solution) di lahan petani.
“Berbagai aktivitas petani dalam melaksanakan ketujuh jasa layanan iklim itu telah kami dokumentasikan melalui beragam kegiatan dan media, baik oleh ilmuwan maupun petani sendiri,”katanya.
Koordinator Pengembangan Website dan Sistem Informasi WIL, Rhino Ariefiansyah mengutarakan, data curah hujan dan agroekosistem yang dihimpun petani yang tergabung dalam Asosiasi Pengukur Curah Hujan dalam kurun waktu beberapa tahun merupakan “harta kekayaan tidak ternilai” bagi petani.
“Melalui pengamatan yang lebih rinci, cermat, berkesinambungan, dan tercatat, petani mengembangkan kemampuan analisis, antisipasi, dan pengambilan keputusan tentang strategi budi daya tanaman yang lebih jitu dan tanggap dalam menghadapi kondisi iklim tertentu,”katanya.
Menurut Rhino, petani pengukur curah hujan menganggap, dokumentasi yang dicatatnya dalam “buku” merupakan sumber pengetahuan yang amat bermakna sebagai sumber rujukan bagi pengembangan kegiatan bercocok tanam yang lebih tangguh.
Terutama, dalam situasi semakin tidak menentu dan tidak dapat diduganya konsekuensi perubahan iklim bagi kegiatan pertanian yang dipengaruhi oleh kondisi El Niño Southern Oscillation (ENSO).
“Sepatutnyalah bila himpunan catatan dan pengalaman petani itu didokumentasikan secara seksama, tersistematisasi, dan sekaligus dapat menginspirasi berjuta-juta petani di Indonesia, akademisi, praktisi, berbagai pihak, dan warga masyarakat luas.