Oleh : H. R. Nurul Islam, S.Ag., M.Ed*
Hari Santri merupakan Janji Presiden Joko Widodo periode 2015 – 2019. Ketika itu beliau berjanji dihadapan para Nahdliyin peserta Muktamar NU ke 33 di Jawa Timur.
Janji tersebut menjadi berita gembira UNTUK UMAT Islam di Indonesia umumnya dan santri pada khususnya karena semakin memperkuat pengakuan negara terhadap eksistensi santri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sontak seluruh elemen masyarakat muslim menyambut gembira. Melalui Kementerian Agama berbagai ormas Islam yang dimotori oleh Nahdlatul Ulama mendorong agar legalitas formal penentuan Hari Santri segera disahkan. Maka konsekwensinya harus ada semacan Keputusan Presiden dibuat.
Namun untuk menuju terbentuk dan disahkannya Keputusan Presien dan dideklarasikannya Hari Santri jalannya tidak terlalu mulus karena opini dan narasi yang terbangun di khalayak saat itu bahwa Hari Santri berbau politis dan primordial dan seakan akan hanya diusung oleh satu ormas saja yakni Nahdlatul Ulama, sedang ormas ormas Islam lain tidak terlalu banyak terlibat. Padahal penyelenggaraan pesantren di mana di dalamnya ada “santri” juga diselenggarakan oleh ormas ormas Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, PUI, Persis, Al Irsyad, Al Khaeraat, Jam’iyyatul Wahsliyah, dan lain lain.
Selanjutnya melalui Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Tim yang ditunjuk saat itu mengadakan serangkaian kegiatan untuk mengawal janji presien Jokowidodo tersebut. Salah satu kegiatan untuk mengawal atau mensukseskan Hari Santri adalah dengan mengadakan Seminar yang dihadiri para pimpinan pondok pesantren, tokoh agama dan pejabat Kementerian Agama dengan Narasumber Ketua Umum PBNU dan Ketum PP Muhammadiyah di Hotel Salak Bogor. Alhamdulillah Ketum PBNU K.H. Agil Siraj bisa hadir. Adapun, PP Muhammadiyah diwakili Sekjennya yakni Dr. Abdul Mu’ti. Namun sebenarnya saat itu PP Muhammadiyah masih mempertanyakan Hari Santri karena disinyalir usulan Hari Santri tersebut hanya didasarkan pada misi dan ambisi ormas tertentu saja. Dengan kata lain saat itu Muhammadiyah masih menganggap Hari Santri sangat ekslusif serta sangat identik dengan agenda satu ormas tertentu saja, apalagi dalam penentuan tanggal Hari Santri yakni tanggal 22 Oktober adalah tanggal terjadinya Resolusi Jihad yang menjadi icon pergerakan yang notabene dinisbatkan kepada tokoh NU. Ketidak setujuan tersebut malah semakin kuat setelah tokoh Muhammadiyah Dr. Din Syamsudin menyatakan nya di beberapa media. Akhirnya tim yang ditunjuk oleh Dirjen Pendidikan Islam saat itu mengalami kebuntuan.
Akhirnya Direktur PD Pontren Dr. Mohsen menugaskan Subdit Pendidikan Pesantren yang dinahkodai Dr. Ainurrofiq sebagai Kasubdit dibantu oleh *penulis sebagai Kasi Kurikulum, Bambang kasi Kelembagaan, Ilham Kasi Santri serta M. Zen sebagai JFU sebagai perancang draf Kepres No 22 tahun 2015 tentang Hari Santri. Kemudian *penulis ditugaskan untuk mengawal usulan draf kepada Setkab.
Namun, atas masukan dan pertimbangan berbagai pihak, Setkab sementara menolak usulan draf tersebut sebelum ada persetujuan dari ormas ormas Islam selain NU terutama Muhammadiyah. Di sinilah yang menjadi tantang berat tim. Maka tim mengundang 17 ormas Islam termasuk ormas ormas di bawah Badan Musyawarah Organisasi Islam yang dikoordinir NU dalam sebuah pertemun di hotel Arnava Kota Bogor dan disepakati untuk menandatangani persetujuan diusulkannya Hari Santri dan alhmadulillah hampir semua setuju kecuali Muhammadiyah karena tidak hadir dalam pertemuan.
Karena penolakan Muhammadiyah itulah usulan Kepres tersebut masih belum bisa diproses lebih lanjut oleh Setkab. Kemudian Dirjen Pendis Prof. Kamarudin Amin, Ph.D dan Direktur PD Pontren Dr. Mohsen beserta *penulis sowan bersilaturahmi mengunjungi kantor PP Muhammadiyah untuk mengadakan musyawarah untuk mufakat dan diterima langsung oleh ketua Umum. Karena kepiawaian pak Dirjen akhirnya Ketum Muhammadiyah pada saat itu setuju terhadap adanya Hari Santri. Salah satu kesepakatan dalam musyawarah tersebut adalah bahwa makna “Santri” itu bukan hanya merujuk pada entitas tertentu saja, namun lebih luas lagi yakni setiap warga negara yang beragama Islam yang memiliki komitmen tinggi terhadap ke-Islaman dan kebangsaan. Akhirnya, pada tanggal 22 Oktober 2015 presiden Jokowido mendeklarasikan Hari Santri di masjid Istiqlal dihadiri para pimpinan ormas, tokoh tokoh nasional, eksekutif, legislatif dan perwakilan negara negara sahabat.
Kalau kita bisa tarik benang merah nya adalah bahwa perumusan kebijakan publik yang berdampak kepada semua elemen masyarakat hendaknya melibatkan semua stakehoder dan dicapai melalui kesepakatan bersama. Hal ini selalu berulang terjadi di setiap fase sejarah berbangsa dab bernegara. Semoga catatan pribadi ini bermanfaat untuk seluruh pembaca dari seorang saksi / pelaku sejarah lahirnya kepres No. 22 tahun 2015 tentang Hari Santri