Oleh: Sapto Waluyo
(Center for Indonesian Reform)
Dua orang Staf Khusus Presiden RI (Adamas Belva Devara dan Andi Taufan Garuda Putra) telah mengundurkan diri akibat sorotan publik. Mereka terkait dugaan konflik kepentingan dalam proyek pemerintah.
Belva adalah CEO Ruang Guru yang menjadi salah satu mitra pemerintah dalam penyelenggaraan program Kartu Prakerja senilai Rp 20 triliun. Sementara Taufan adalah pendiri PT Amarta Mikro Fintek yang bergerak di bidang permodalan masyarakat desa, ia menulis surat berkop sekretariat kabinet yang meminta seluruh camat mendukung relawan perusahaannya dalam penanganan pandemi korona.
Sebenarnya ada staf khusus lain yang berpotensi melanggar, yakni Gracia Billy Mambrasar, Pendiri Yayasan Kitong Bisa dan PT Papua Muda Inspiratif (PIM). Billy mengklaim bahwa gerakannya telah melatih 308 wirausahawan muda di Papua dan 21 di antaranya akan mendapat bantuan dana bergulir dari Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah senilai Rp 1,44 miliar. Klaim itu dibantah Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang menegaskan Kemenkop UKM hanya bekerjasama dengan koperasi dan koperasi yang dibina perusahaan Billy tidak memenuhi syarat.
Apakah Billy akan mundur dari posisi staf khusus untuk mengikuti para rekannya atau klaim itu akan dianggap sambil lalu saja? Publik terus mengawasi.
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan lima program prioritas yang akan dijalankannya pada periode kedua (Kompas. 20/10/2019). Dari kelima program prioritas itu tidak terselip agenda pemberantasan korupsi. Kelima program itu adalah (1) membenahi sumber daya manusia, (2) melanjutkan pembangunan infrastruktur, (3) melanjutkan penyederhanaan regulasi, (4) memangkas birokrasi dan prosedur besar-besaran, dan (5) transformasi ekonomi dari mengandalkan sumber daya alam menuju manufaktur dan jasa yang memiliki nilai tambah tinggi. Agenda pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan perlindungan HAM bukan merupakan prioritas Jokowi.
Bisa dipahami bila terjadi kekacauan perilaku di lingkar inti kekuasaan. Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2009 telah mengeluarkan Panduan Penanganan Konflik Kepentingan bagi Penyelenggara Negara. Panduan ringkas setebal 83 halaman itu mendefinisikan konflik kepentingan (conflict of interest) sebagai situasi dimana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Lalu, siapa penyelenggara dan apa bedanya dengan jabatan lain di Republik ini? KPK secara sederhana membatasi, penyelenggara negara adalah seseorang yang menjabat atau memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi negara dalam wilayah hukum negara dan mempergunakan anggaran yang seluruhnya atau sebagian berasal dari negara. Masyarakat mengenali penyelenggara negara dengan istilah yang berbeda, antara lain: pejabat negara, pejabat publik atau penyelenggara layanan publik. Intinya adalah orang yang melaksanakan fungsi-fungsi negara dan mempergunakan anggaran negara.
Tak pelak, Staf Khusus Presiden adalah penyelenggara negara per definisi. Bahkan, posisinya sangat prestisius karena berhubungan langsung dengan orang nomor satu di Republik ini. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2011, Staf Khusus Presiden melaksanakan tugas tertentu di luar tugas-tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintah lainnya. Staf Khusus Presiden terdiri dari Sekretaris Pribadi Presiden, Juru Bicara Presiden dan staf yang menangani bidang tertentu. Ada 10 bidang yang ditangani stafsus, mulai hubungan internasional, informasi/public relation, komunikasi politik, hingga bantuan sosial dan bencana.
Perpres Nomor 3 Tahun 2011 diperbarui dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2012 yang mengatur Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden dan Staf Khusus Wakil Presiden. Perpres itu menambah dua bidang yang ditangani Staf Khusus Presiden, yaitu administrasi dan keuangan, serta ekonomi dan pembangunan.
Presiden Jokowi memperbarui aturan di era Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2015 yang membatasi jumlah Staf Khusus Presiden paling banyak 10 orang dan Staf Khusus Wapres paling banyak 8 orang. Aturan itu diperbarui lagi dengan Perpres Nomor 39 Tahun 2018 yang mengoreksi jumlah Staf Khusus Presiden paling banyak menjadi 15 orang, bahkan tiap staf khusus bisa dibantu paling banyak 5 Asisten. Prinsip efisiensi mulai bergeser di Istana Negara.
Pada 21 November 2019 Presiden Jokowi menunjuk 14 staf khusus, termasuk 7 staf dari kelompok milennial (26-36 tahun), yakni Putri Indahsari Tanjung (CEO Creativepreneur Event Creator), Ayu Kartika Dewi (pendiri dan mentor SabangMerauke), Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise), Adamas Belva Syah Devara (CEO Ruang Guru), Andi Taufan Garuda Putra (CEO PT Amartha), Gracia Billy Mambrasar (CEO Kitong Bisa), dan Aminuddin Ma’ruf (Ketua Umum PB PMII 2014-2016).
Staf khusus lebih senior memiliki tugas tersendiri, yakni Fadjroel Rahman (Juri Bicara Presiden), Dini Purwono (Hukum), Arif Budimanta (Ekonomi), Sukardi Rinakit (Politik), Diaz Hendropriyono (Sosial), dan Anggit Nugroho (Asisten Pribadi). Saat memperkenalkan stafsus milennial, Jokowi tidak menyebutkan tugas masing-masing karena diarahkan untuk kerja bareng, tetapi Ari Dwipayana selaku Koordinator Staf Khusus Presiden memaparkan tiga gugus tugas staf khusus, yaitu komunikasi publik (memperkuat narasi Presiden), relasi dengan kelompok strategis (terkait program-program strategis Presiden), dan kaum muda/milennial (inovasi untuk program pemerintah).
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencoba telusuri tugas para staf khusus itu, namun tidak menemukan Keputusan Presiden yang mengaturnya. Untuk itu, ICW meminta Sekretariat Negara segera mempublikasikan Keppres mengenai pengangkatan Stafsus (Tempo, 21/4/2020). Tuntutan ICW adalah hak warga negara untuk mendapat informasi publik yang benar berdasarkan undang-undang dan UUD NRI 1945.
Sungguh memprihatinkan bila stafsus milennial tidak memahami posisi barunya sebagai penyelenggara negara yang sangat berbeda dengan posisi sebelumnya sebagai pendiri dan pemilik start up. Sambil menunggu Keppres yang menjelaskan pengangkatan stafsus itu, publik perlu disegarkan kembali tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana termuat dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di antara asas umum pemerintahan yang baik berpotensi untuk dilanggar adalah tidak menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan lain yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
Gejala yang dialami Belva dan Taufan disebut revolving door (pintu berputar). Biasanya hal itu terjadi pada pejabat negara senior yang sudah pensiun, lalu bekerja di sektor swasta dan menggunakan pengaruhnya yang masih berurat-akar di instansi pemerintah untuk menggolkan kepentingan pribadi atau perusahaan swasta.
Transparency International mendefinisikan revolving door sebagai gejala pergeseran posisi seseorang dari jabatan publik ke pekerjaan barunya di sektor swasta atau organisasi nonpemerintah. Perubahan posisi itu berpotensi konflik kepentingan atau penyalahgunaan kewenangan, bila lembaga swasta/nonpemerintah itu berhubungan dengan instansi pemerintah dimana mantan pejabat pernah bertugas atau memiliki pengaruh nyata.
Dalam kasus Belva dan Taufan pergeseran posisi terjadi dari lembaga swasta masuk ke dalam instansi pemerintahan, dan keduanya belum/tidak menyatakan berhenti dari jabatan di perusahaannya. Nahasnya, perusahaan tersebut kemudian menjadi salah satu pelaksana program pemerintah yang dibiayai anggaran negara. Belva dan Taufan segera menyadari kesalahannya, sehingga mundur dari jabatan stafsus. Tapi, Billy Mambrasar belum terdengar sikapnya setelah Menkop UKM menolak klaim bantuan dana bergulir kepada wirausaha binaannya. Apakah Billy merasa benar dengan tindakannya?
Di luar kasus stafsus milennial, ada banyak gejala pergeseran posisi yang berpotensi menyalahgunakan kewenangan. Para menteri dan pejabat setingkat menteri angggota Kabinet Indonesia Maju terdiri dari 18 kader partai politik dan 20 profesional. Kalangan profesional berlatar belakang: birokrat, TNI/Polri, pebisnis, ekonom, akademisi, hakim/jaksa, dokter, dan aktivis anti korupsi. Semua pihak berpotensi untuk terjebak konflik kepentingan. Aparat penegak hukum dan pengawas lembaga/keuangan negara harus jeli dan tegas merespon gejala penyimpangan, sebab merupakan ancaman bagi legitimasi pemerintahan.
KPK menegaskan penanganan konflik kepentingan pada dasarnya dilakukan melalui perbaikan: nilai, sistem, pribadi, dan budaya. Konflik kepentingan bisa dilakukan siapa saja yang memiliki akses ke sumberdaya publik. Untuk menghindari konflik kepentingan, maka harus dipegang prinsip: mengutamakan kepentingan publik, menciptakan keterbukaan penanganan dan pengawasan konflik kepentingan, mendorong tanggung jawab pribadi dan sikap keteladanan, menciptakan dan membina budaya organisasi yang zero toleran terhadap konflik kepentingan,
Stafsus milennial mungkin terpeleset dan mereka harus menerima resiko akibat tindakannya. Tapi, stafsus milennial itu memberi pelajaran berharga: betapa banyak pejabat/pelaku usaha yang memanfaatkan pintu berputar di sekitar kekuasaan. Kesalahan mereka mungkin lebih besar dan nyata, tapi tak seorangpun berani bersuara. []