Inilah Sejarah Kota Depok Yang Jarang Diketahui

Kota Depok yang dikenal sebagai kota belimbing, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, terletak diantara kota Jakarta dan Bogor. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19’ 00” – 6o 28’ 00” Lintang Selatan dan 106o 43’ 00” – 106o 55’ 30” Bujur Timur. Kata Depok, konon berasal dari kata bahasa Sunda yang berarti pertapaan atau tempat bertapa.

Namun ada yang menyebutkan bahwa kata DEPOK berasal dari sebuah nama Padepokan Kristiani yang bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen. Semboyan mereka Deze Einheid Predikt Ons Kristus juga disingkat Depok. Atau ada juga yang mengatakan akronim dari De Eerste Protestants Onderdaan Kerk yang artinya adalah Gereja Kristen Rakyat Pertama.

Depok Zaman Prasejarah

Penemuan benda bersejarah di wilayah Depok dan sekitarnya menunjukkan bahwa Depok telah berpenghuni sejak zaman prasejarah. Penemuan tersebut itu berupa Menhir “Gagang Golok”, Punden berundak “Sumur Bandung”, Kapak Persegi dan Pahat Batu, yang merupakan peninggalan zaman megalit. Juga penemuan Paji Batu dan sejenis Beliung Batu yang merupakan peninggalan zaman Neolit.

Depok Zaman Padjajaran

Pada abad ke-14 Kerajaan Padjajaran diperintah seorang raja yang diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan, yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Di sepanjang Sungai Ciliwung terdapat beberapa kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan ini, diantaranya Kerajaan Muara Beres. Sampai Karadenan terbentang benteng yang sangat kuat sehingga mampu bertahan terhadap serangan pasukan Jayakarta yang dibantu Demak, Cirebon dan Banten.

Depok berjarak sekitar 13 km sebelah utara Muara Beres. Jadi wajar apabila Depok dijadikan front terdepan tentara Jayakarta saat berperang melawan Padjajaran. Hal itu dibuktikan dengan:

* Masih terdapatnya nama-nama kampung atau desa yang menggunakan bahasa Sunda antara lain Parung Serang, Parung Belimbing, Parung Malela, Parung Bingung, Cisalak, Karang Anyar dan lain-lain.
* Dr. NJ. Krom pernah menemukan cincin emas kuno peninggalan zaman Padjajaran di Nagela, yang tersimpan di Museum Jakarta.
* Tahun 1709 Abraham Van Riebeck menemukan benteng kuno peninggalan kerajaan Padjajaran di Karadenan.
* Di rumah penduduk Kawung Pundak sampai sekarang masih ditemukan senjata kuno peninggalan zaman Padjajaran. Senjata ini mereka terima turun-temurun.

Depok Zaman Islam

Pengaruh Islam masuk ke Depok diperkirakan pada 1527, dan masuknya agama Islam di Depok bersamaan dengan perlawanan Banten dan Cirebon setelah Jayakarta direbut Verenigde Oost-lndische Compagnie (VOC) yang pada waktu itu berkedudukan di Batavia. Hubungan Banten dan Cirebon setelah Jayakarta direbut VOC harus melalui jalan darat. Jalan pintas terdekat yaitu melalui Depok. Karena itu tidaklah meng-herankan kalau di Sawangan dan banyak peninggalan- peninggalan tentara Banten berupa :

* Kramat Beji yang terletak antara Perumnas Depok I dan Depok Utara. Di sekitar tempat itu terdapat tujuh sumur dan sebuah bangunan kecil yang terdapat banyak sekali senjata kuno seperti keris, tombak dan golok peninggalan tentara Banter saat melawan VOC. Dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah itu bukanlah petani melainkan tentara pada jamannya. Informasi dari Kuncen turun temurun, bahwa tempat itu sering diadakan pertemuan antara tentara kerajaan Banten dan Cirebon. Di tempat itu biasanya diadakan latihar bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut pade-pokan. Kemungkinan nama Depok juga bersumber dari Pa-depokan Beji.

* Di Pandak (Karadenan) terdapat masjid kuno yang merupakan masjid pertama di Bogor. Lokasi masjid ini dengan Bojong Gede hanya terhalang Sungai Ciliwung. Masjid ini dibangun Raden Safe’i cucu Pangeran Sangiang bergelar Prabu Sura-wisesa, yang pernah menjadi raja mandala di Muara Beres. Di rumah-rumah penduduk sekitar masjid ini masih terdapat senjata-senjata kuno dan beberapa buah kujang peninggalan zaman Padjajaran. Jadi masjid dibangun tentara padjajaran yang masuk Islam kurang lebih tahun 1550.

* Di Bojong Gede terdapat makam Ratu Anti atau Ratu Mae-munah, seorang prajurit Banten yang berjuang melawan padja-jaran di kedungjiwa. Setelah perang selesai suaminya (raden pakpak) menyebarkan agama Islam di Priangan, sedangkan ratu anti sendiri menetap di bojonggede sambil menyebarkan agama Islam sampai meninggal.

Depok Zaman Kolonial

“…Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennj a tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennj a,…”

Penggalan kalimat dengan ejaan van Ophuijsen itu adalah hasil terjemahan Bahasa Belanda kuno dari surat wasiat tertanggal 14 Maret 1714 yang ditulis tangan Cornelis Chastelein, seorang Belanda, tuan tanah eks pegawai (pejabat) Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Tiga bulan kemudian Chastelein meninggal dunia, persisnya 28 Juni 1714. Cornelis Chastelein itulah yang disebut cikal bakal berdirinya Kota Depok sekarang. Di bawah wewenang Kerajaan Belanda ketika itu (1696), ia diizinkan membeli tanah yang luasnya mencakup Depok sekarang, ditambah sedikit wilayah Jakarta Selatan plus Ratujaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor sekarang.

Meneer Belanda itu menguasai tanah kira-kira luasnya 1.244 ha, setara dengan wilayah enam kecamatan zaman sekarang. Yang menarik dari surat wasiatnya, ia melukiskan Depok waktu itu yang dihiasi sungai, hutan, bambu rimbun, dan sengaja ditanam, tidak boleh di-ganggu.

Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat wasiat itu boleh jadi berhubungan dengan wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok sekarang, persisnya di selatan Cinere. Jika ada penggilingan tebu, niscaya ada tanaman tebu. Pastilah tanaman tebu itu terhampar luas dengan pengairan cukup. Bisa dibayangkan betapa elok Depok waktu itu.

Depok dan Bogor menjadi wilayah kekuasaan VOC sejak 17 April 1684, yaitu sejak ditandatanganinya perjanjian antara sultan haji dari Banten dengan VOC. Pasal tiga dari perjanjian tersebut adalah Cisadane sampai ke hulu menjadi batas wilayah kesultanan Banten dengan wilayah kekuasaan VOC.

Saat pemerintahan Daendels, banyak tanah di Pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga muncullah tuan tanah-tuan tanah baru. Di daerah Depok terdapat tuan tanah Pondok Cina, Tuan Tanah Mampang, Tuan Tanah Cinere, Tuan Tanah Citayam dan Tuan Tanah Bojong Gede.

Pada masa kejayaan VOC sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18 hampir semua orang Belanda di Batavia dan sekitarnya yang kaya raya memiliki sejumlah besar pekerja. Tumbuh kembangnya jumlah pekerja antara lain disebabkan kemenangan-kemenang an yang diraih VOC atau Belanda dalam menguasai suatu daerah, yang kemudian diangkut ke Pulau Jawa.

Pada era tersebut, hidup seorang tuan tanah dermawan yang juga menaruh perhatian besar terhadap perkembangan agama Kristen di Batavia dan sekitarnya. Beliau adalah Cornelis Chastelein yang menjadi anggota Read Ordinair atau pejabat pengadilan VOC. Ayahnya Antonie Chastelein, adalah seorang Perancis yang menyeberang ke Belanda dan bekerja di VOC. Ibunya Maria Cruidenar, putri Wali Kota Dordtrecht. Sinyo Perancis-Belanda ini menikah dengan noni holland Catharina Van Vaalberg. Pasangan ini memiliki seorang putra, Anthony Chastelein, dan kawin dengan Anna De Haan.

Saat menjabat pegawai VOC, kariernya cepat melejit. Namun, saat terjadi perubahan kebijakan karena pergantian Gubernur Jenderal VOC dari J. Camphuys ke tangan Willem Van Outhorn, ia hengkang dari VOC. Sebagai agamawan fanatik, Cornelis tidak senang melihat praktek kecurangan VOC. Borok-borok moral serta korupsi di segala bidang lapisan pihak Kompeni Belanda selaku penguasa sangat berten-tangan dengan hati nurani penginjil ini. Maka ia tetap bersikukuh keluar dari VOC, beberapa saat sebelum Gubernur Jenderal VOC Johannes Camphuys mengalihkan jabatannya kepada Willem Van Outhorn.

Pada 18 Mei 1696, ia membeli tiga bidang tanah di hutan sebelah selatan Batavia yang hanya bisa dicapai melalui Sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah itu terletak di 6ilangan Mampang, Karanganyar, dan Depok. Tahun itu juga, ia mulai menekuni bidang per-tanian di bilangan Seringsing (Serengseng) .

Untuk menggarap lahan pertaniannya yang luas itu, ia mendatangkan pekerja dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Ternate, Kei, Jawa, Batavia, Pulau Rate, dan Filipina. Semuanya berjumlah sekitar 120 orang. Atas permintaan ayahnya dulu, ia pun menyebarkan agama Kristen kepada para budaknya. Perlahan muncul di sini sebuah padepokan Kristiani yang disebut De Eerste Protestante Organisatie van Christenen.

Menjelang ajalnya, 13 Maret 1714, Cornelis Chastelein menulis wasiat berisi antara lain, mewariskan tanahnya kepada seluruh pe-kerjanya yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status pekerja menjadi orang merdeka. Setiap keluarga bekas pekerjanya memperoleh 16 ringgit. Hartanya berupa 300 kerbau pembajak sawah, dua perangkat gamelan berlapis emas, 60 tombak perak, juga dihi-bahkannya kepada bekas pekerjanya. Pada 28 juni 1714 Cornelis Chas-telein meninggal dunia, meninggalkan bekas budaknya yang telah melebur dalam 12 marga yaitu Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholens, Isakh, Soediro, dan Zadhoks. Marga itu kini hanya tinggal 11 buah karena marga Zadoks telah punah.

Anthony, putra Cornelis Chastelein, meninggal pada 1715, satu tahun setelah ayahnya meninggal. Istri Anthony kemudian menikah dengan Mr. Joan Francois De Witte Van Schooten, anggota dari Agtb. Raad van Justitie des casteels Batavia.

Di Depok saat ini masih terdapat Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Lembaga itu dibentuk 4 Agustus 1952 dihadapan Notaris Soerojo dengan perwakilan diantaranya J.M Jonathans dan F.H Soedira.

Sementara itu, keturunan pekerja yang dimerdekakan Cornelis Chastelein itu biasa disebut Belanda Depok. Namun RM Jonathans, salah satu tokoh YLCC menyebut julukan itu tidak kondusif, seolah olah memberi pembenaran bahwa komunitas tadi merupakan repre-sentasi masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, yang ketika itu menjajah Indonesia.

Asal Usul Pondok Cina

Awalnya, Pondok Cina bernama Kampung Bojong, sebuah tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok. Pondok Cina dulunya hanya berupa hutan karet dan sawah. Konon, waktu itu Cornelis Chastelein pernah membuat peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok. Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal. Pedagang-pedagang itu datang menjelang matahari terbenam. Karena sampainya malam hari, mereka istirahat dan membuat tempat transit dengan membuat pondok-pondok sederhana di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong milik seorang tuan tanah keturunan Tionghoa. Menjelang subuh orang-orang keturunan Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok. Kampung Bojong berubah nama menjadi kampung Pondok Cina pada tahun 1918. Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut kampung Bojong dengan sebutan Pondok Cina. Lama-kelamaan nama Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang.

Asal Usul Margonda

Konon, nama Margonda berasal dari nama seorang pahlawan yang bernama Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak keturunan Margonda sendiri (di Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat memberikan informasi mengenai sepak terjang atau lokasi makam Margonda.

Depok Zaman Jepang

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, HEIHO dan Pembela Tanah Air (PETA) dibubarkan. Putra-putri HEIHO dan PETA kembali ke kam-pungnya. Mereka diperbolehkan membawa perlengkapan kecuali sen-jata. Diproklamirkannya Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pemuda Depok khususnya bekas HEIHO clan PETA terpanggil hatinya untuk berjuang. Pada September 1945 diadakan rapat yang pertama kali di sebuah rumah di Jaian Citayam (sekarang Jalan Kartini). Hadir saat itu seorang bekas PETA (Tole lskandar), tujuh orang bekas HEIHO dan 13 pemuda Depok lainnya.

Pada rapat tersebut diputuskan dibentuk barisan keamanan Depok yang seluruhnya berjumlah 21 orang dengan komandannya Tole Iskandar. Ke-21 orang inilah sebagai cikal bakal perjuangan di Depok.

Depok Zaman Kemerdekaan

Pada zaman kemerdekaan Depok ini menjadi sebuah kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor.

Pada tahun 1976 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun pengembang yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI).

Pada tahun 1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981 yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri dalam Negeri (H. Amir Machmud) yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa, yaitu :

* Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu Desa Depok, Desa Depok Jaya, Desa Pancoram Mas, Desa Mampang, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan Jaya Baru.
* Kecamatan Beji, terdiri dari 5 (lima) Desa, yaitu : Desa Beji, Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina, Desa Tanah Baru, Desa Kukusan.
* Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu : Desa Mekarjaya, Desa Sukma Jaya, Desa Sukamaju, Desa Cisalak, Desa Kalibaru, Desa Kalimulya.

Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok berkembang pesat baik dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Khususnya bidang Pemerintahan semua Desa berganti menjadi Kelurahan dan adanya pemekaran Kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 (Kecamatan) dan 23 (dua puluh tiga) Kelurahan, yaitu

* Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahjn Rangkapan Jaya, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru.
* Kecamatan Beji terdiri dari (enam) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurah Pondok Cina, Kelurahan Kemirimuka, Kelurahan Kukusan, Kelurahan Tanah Baru.
* Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan Suka Maju,. Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Abadi Jaya, Kelurahan Baktijaya, Kelurahan Cisalak, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Kalimulya, Kelurahan Kali Jaya, Kelurahan Cilodong, Kelurahan Jati Mulya, Kelurahan Tirta Jaya.

Selanjutnya, berdasarkan Undang–Undang Nomor 15 Tahun 1999, tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan diresmikan tanggal 27 April 1999 dan dijadikan sebagi hari jadi Kota Depok.

Drs. H. Badrul Kamal yang pada waktu itu menjabat sebagai Walikota Kota Administratif Depok dilantik sebagai Penjabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok. Menurut Undang-Undang tersebut, wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Depok memiliki luas wilayah 20.504,54 Ha yang terdiri dari 3 (tiga) kecamatan ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, yaitu:

* Kecamatan Cimanggis dengan luas wilayah 5.077,3 Ha, yang terdiri dari 1 (satu) kelurahan dan 12 (dua belas) desa, yaitu: Kelurahan Cilangkap, Desa Pasir Gunung Selatan, Desa Tugu, Desa Mekarsari, Desa Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Hajarmukti, Desa Sukatani, Desa Sukamaju Baru, Desa Cijajar, Desa Cimpaeun, Desa Leuwinanggung.
* Kecamatan Sawangan dengan luas wilayah 4.673,8 Ha, yang terdiri dari 14 (empat belas) desa, yaitu: Desa Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua, Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojong Sari, Desa Bojong Sari Baru, Desa Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan Desa Bedahan, Desa Pasir Putih.
* Kecamatan Limo dengan luas wilayah 2.595,3 Ha, yang terdiri dari 8 (delapan) desa, yaitu: Desa Limo, Desa Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan Jati, Desa Pangkalan Jati Baru, Desa Krukut, Desa Grogol.
* Kecamatan Beji, terdiri dari 6 kelurahan dengan luas wilayah 1614 Ha.
* Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 3.398 Ha.
* Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6 Desa dengan luas wilayah 2.671 Ha.

Pada tahun 2007, berdasarkan Perda Kota Depok Nomor 08 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan di Kota Depok, terjadi pemekaran Kecamatan di Kota Depok dari 6 (enam) menjadi 11 (sebelas) kecamatan. Dengan pemekaran ini, setiap kecamatan hanya akan membawahi empat hingga tujuh kelurahan saja, di mana sebelumnya 6 hingga 14 Kelurahan. Kecamatan hasil pemekaran berdasarkan Perda tersebut adalah sebagai berikut:

* Kecamatan Beji meliputi wilayah kerja: Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurahan Kemiri Muka, Kelurahan Pondok Cina, Kelurahan Kukusan, dan Kelurahan Tanah Baru.
* Kecamatan Pancoran Mas meliputi wilayah kerja: Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Rangkapan Jaya, Kelurahan Rangkap Jaya Baru, dan Kelurahan Mampang.
* Kecamatan Cipayung meliputi wilayah kerja: Kelurahan Cipayung, Kelurahan Cipayung Jaya, Kelurahan Ratu Jaya, Kelurahan Bojong Pondok Terong, dan Kelurahan Pondok Jaya.
* Kecamatan Sukmajaya meliputi wilayah kerja: Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Baktijaya, Kelurahan Abadijaya, Kelurahan Tirtajaya, dan Kelurahan Cisalak.
* Kecamatan Cilodong meliputi wilayah kerja: Kelurahan Sukamaju, Kelurahan Cilodong, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Kalimulya, dan Kelurahan Jatimulya.
* Kecamatan Limo meliputi wilayah kerja: Kelurahan Limo, Kelurahan Meruyung, Kelurahan Grogol, dan Kelurahan Krukut.
* Kecamatan Cinere meliputi wilayah kerja: Kerurahan Cinere, Kelurahan Gandul, Kelurahan Pangkal Jati Lama, dan Kelurahan Pangkal Jati Baru.
* Kecamatan Cimanggis meliputi wilayah kerja: Kelurahan Cisalak Pasar, Kelurahan Mekarsari, Kelurahan Tugu, Kelurahan Pasir Gunung Selatan, Kelurahan Harjamukti, dan Kelurahan Curug.
* Kecamatan Tapos meliputi wilayah kerja: Kelurahan Tapos, Kelurahan Leuwinanggung, Kelurahan Sukatani, Kelurahan Sukamaju Baru, Kelurahan Jatijajar, Kelurahan Cilangkap, dan Kelurahan Cimpaeun.
* Kecamatan Sawangan meliputi wilayah kerja: Kelurahan Sawangan, Kelurahan Kedaung, Kelurahan Cinangka, Kelurahan Sawangan Baru, Kelurahan Bedahan, Kelurahan Pengasinan, dan Kelurahan Pasir Putih.
* Kecamatan Bojongsari meliputi wilayah kerja: Kelurahan Bojongsari, Kelurahan Bojongsari Baru, Kelurahan Serua, Kelurahan Pondok Petir, Kelurahan Curug, Kelurahan Duren Mekar, dan Kelurahan Duren Seribu.

Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%..

Depok menjadi salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 207.006 km2 yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi.
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan masuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Ke-camatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Wilayah Depok yang terdiri dari 11 (sebelas) kecamatan terbagi menjadi 63 kelurahan, 772 RW, 3.850 RT serta 218.095 Rumah Tangga. Jumlah penduduk di Kota Depok tahun 2005 mencapai 1.374.522 jiwa, terdiri atas laki-laki 696.329 jiwa (50,66%) dan perempuan 678.193 jiwa (49,34%), Sedangkan luas wilayah hanya 200,29 km2, maka kepadatan penduduk Kota Depok adalah 6.863 jiwa/km2.

Kota Depok selain sebagai kota otonom juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, dan sebagai kota resapan air.

Para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta. Tak heran kalau dulu muncul pomeo Depok adalah Daerah Elit Pemukiman Orang Kota.

(Disunting dari berbagai sumber).