Isu dan Tantangan Auditor Syariah di Malaysia

Oleh: Ahmad Dahlan, PM Beasiswa EKSPAD STEI SEBI

Perkembagan industri keuangan syariah di Malaysia dimulai dengan munculnya Bank Islam pertama di Malaysia pada tahun 1983. Kehadiran Bank Islam di Malaysia ini merupakan wujud dari semangat masyarakat muslim di dunia, khususnya di Malaysia untuk mewujudkan sistem ekonomi berdasarkan prinsip syariah.

Respon masyarakat muslim di dunia, khususnya di Malaysia sangat positif terhadap keberadaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Hal ini ditandai dengan perkembangan industri keuangan syariah yang pesat di sana.

Berdasarkan sebuah publikasi industri, the Global Islamic Financial Review, sejak lebih dari 30 tahun yang lalu, sektor keuangan Islam asetnya telah tumbuh dari 0 (nol) menjadi lebih dari RM 1,6 trilyun. Krisis keuangan juga mendorong pertumbuhan Industri Keuangan Syariah dimana asetnya bertumbuh 19% dan 21% berturut-turut pada tahun 2011-2012, sedangkan Bank Konvensional hanya bertumbuh kurang dari 10%, di seluruh dunia. (Popper, 2013).

Ini menunjukkan bahwa masyarakat muslim di Malaysia memandang Lembaga Keuangan Syariah di sana akan mampu membawa kesejahteraan bagi ekonomi masyarakat dengan berlandaskan kepada nilai-nilai Islam. Tentu saja sebagai Lembaga Keuangan yang melabeli dirinya dengan ‘syariah’, harus mampu menampilkan nilai-nilai syariah dalam operasional maupun produk dan jasa layanannya.

Untuk memastikan bahwa setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS) melaksanakan seluruh kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka perlu dilakukan pengawasan syariah yang bertujuan untuk mengawal dan mengevaluasi sharia complience dari Institusi tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan auditor syariah yang bertugas mengambil peran dan fungsi pengawasan syariah tersebut.

Fungsi dari audit syariah dalam perpspektif Islam yang terpenting bukan hanya akuntabilitas dari auditor terhadap stakeholder, akan tetapi terhadap Allah Swt. Umat Islam meyakini bahwa segala aktivitas dan perbuatannya selalu dilihat oleh Allah Swt (konsep Muraqabah). (Nor Aishah Mohd Ali, Zakiah Muhammadun Mohamed, Shahida Shahimi, & Zurina Shafii, 2015)

Nor Aishah, dkk (2015) juga menyatakan bahwa Shariah Governance Framework (SGF) – sebuah pedoman tentang tata kelola Lembaga Keuangan Syariah yang dikeluarkan oleh Bank Negara Malaysia (BNM) – menyarankan bahwa kompetensi yang harus dimiliki auditor syariah adalah seperti auditor internal, namun ditambah dengan pelatihan tentang syariah.

Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa kompetensi yang dibutuhkan seorang Auditor Syariah ada dua: auditing (akuntansi) dan syariah.

Kasim dan Mohd Sanusi (2013) meneliti perspektif praktisi yang terlibat dalam proses audit syariah dari LKS di Malaysia pada isu kualifikasi auditor. Temuan mengungkapkan bahwa hanya 5,9% dari responden yang memenuhi syarat keduanya (kualifikasi syariah dan akuntansi atau audit), yang mengaku melakukan audit syariah di LKS di Malaysia.

Temuan tersebut mengindikasikan bahwa sangat sedikit sekali SDM Auditor Syariah yang kompeten. Seorang auditor syariah tidak hanya cukup menguasai bidang akuntansi atau audit saja, tetapi harus pula paham terhadap syariat Islam dengan baik. Sebaliknya, auditor syariah juga tidak hanya cukup dengan penguasaannya terhadap syariat Islam, tetapi juga harus menguasai akuntansi dan audit. Kedua hal ini adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh Auditor syariah secara bersamaan.

Terbatasnya para Auditor Syariah yang kompeten mengindikasikan belum banyaknya wadah yang menyediakan SDM yang mempunyai kompetensi Auditor Syariah.

Di Malaysia, hanya satu universitas lokal yang menjadikan Audit Syariah sebagai bagian dari kurikulum akuntansi mereka, yaitu Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), di samping juga memberikan mata kuliah Fiqih Muamalah dan Ilmu Syariah lainnya. (Nor Aishah Mohd Ali et al., 2015).

Saat ini, cara yang dilakukan untuk mengembangkan kompetensi khusus auditor syariah adalah dengan memberikan pelatihan-pelatihan terkait audit syariah. Beberapa lembaga yang memberikan pelatihan di antaranya Institute Banking and Finance Institution (IBFIM), International Center for Education in Islamic Finance (INCEIF), Center fo Research and Training (CERT) dan RED-Money (IBFIM, 2014; INCEIF, 2014; CERT, 2014 & RED-Money, 2014).

Hal tersebut merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh para praktisi Auditor Syariah untuk mengembangkan kompetensi mereka dalam waktu dekat. Selain itu, untuk mempersiapkan SDM Auditor Syariah di masa yang akan datang, maka sangat perlu untuk memasukkan Audit Syariah sebagai bagian dari kurikulum yang ada di setiap Perguruan Tinggi di Malaysia.

Dengan demikian, Praktisi Audit Syariah yang sudah ada dapat terus mengembangkan kompetensinya dan di samping itu, generasi berikutnya juga sudah siap untuk terjun di Industri Keuangan Syariah sebagai Auditor Syariah dengan kompetensi yang sudah dibekali dari Kampus masing-masing.

Referensi:

Nor Aishah Mohd Ali, Zakiah Muhammadun Mohamed, Shahida Shahimi, & Zurina Shafii, (2015). Competency of Shariah Auditors in Malaysia: Issues and

Challenges