Oleh : Hamdi, S.Sos
Kepemimpinan adalah sebuah amanah. Setiap pemimpin – yang memikul amanah – akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Sang Khalik di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda, ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Pemerintah adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya …”(Muttafaq ’Alaih). Spektrum kepemimpinan membentang luas mulai dari pemimpin diri sendiri; pemimpin rumah tangga; pemimpin lingkungan; pemimpin perusahaan; pemimpin daerah; hingga pemimpin negara (pemerintah).
Mengingat besarnya tanggung jawab seorang pemimpin, Umar bin Khatab ra. (seorang pemimpin yang adil) berkata, ”Seandainya seekor _baghlah_ (hasil perkawinan silang himar dan kuda) terperosok di Irak, maka aku menganggap dirikulah yang harus bertanggung jawab atasnya di hadapan Allah; mengapa aku tidak meratakan jalan untuknya?” Beliau menggambarkan besarnya tanggung jawab dengan sebuah ungkapan, ”Saya senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat pahala dan tidak mendapat dosa.”
Perihal kepemimpinan dalam Islam lebih ditempatkan dalam konteks tanggung jawab (_taklif) ketimbang sebagai penghormatan (_tasyrif_) terhadap orang yang diamanahkan peran kepemimpinan tersebut. Dengan demikian ia dituntut agar dapat menunaikan tugas dan perannya seoptimal mungkin.
Agama Islam menuntun kita dalam masalah memilih pemimpin agar kita tidak terjebak seperti membeli kucing dalam karung. Paling tidak ada lima kriteria pokok yang bisa menjadi panduan tentang sosok pemimpin sejati.
Pertama, kita dilarang memberikan jabatan tertentu (apalagi jabatan pemimpin) kepada orang yang memintanya dengan ambisius (_vested interest_). Jabatan atau tugas kepemimpinan hanya berhak diberikan kepada orang yang ikhlas, yang mau menerimanya karena ia (memang) dipercaya untuk mengemban amanah kepemimpinan itu.
Dari Abu Musa, ia berkata, ”Aku masuk menemui Rasulullah SAW bersama dua orang lelaki sepupuku. Seorang dari mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemegang salah satu jabatan yang diserahkan Allah kepadamu.” Demikian pula yang satunya, memintanya seperti itu. Rasulullah SAW bersabda : ”Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan jabatan tersebut kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk memegangnya.”(Hadits riwayat Syaikhani, Abu Dawud dan Nasa’i).
Kedua, seorang calon pemimpin yang baik dan ikhlas dapat dinilai dari keberpihakannya kepada rakyat. Ia dalam menjalankan kepemimpinannya selalu memrioritaskan kemaslahatan umat daripada kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Padahal Rasulullah SAW hingga akhir hayatnya tetap konsisten memperhatikan kemaslahatan umatnya (termasuk kita yang hidup sekarang) dibanding kepentingan pribadi atau keluarganya. Saat ajal hendak menjemputnya, beliau mengucap, ”Ummatii … ummatii … ummatii (umatku … umatku … umatku).”
Ketiga, bersifat amanah. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang dapat dipercaya. Ia mampu memelihara kepercayaan yang sepenuhnya diberikan oleh rakyat kepadanya. Amanah tersebut ia pegang kuat-kuat meskipun godaan serta iming-iming materi dan tarikan kepentingan golongan setiap saat datang silih berganti.
Rasul SAW dalam hidupnya mendapat gelar _al–amin_ (yang layak dipercaya). dari masyarakat Quraisy karena kepercayaan yang tinggi yang diberikan kepadanya. Mampu menjaga amanah adalah juga bagian dari ciri orang mukmin. Allah SWT berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,” — …”Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya” (QS Al Mukminun : 1 dan 8).
Keempat, dapat menjadi uswah (suri teladan) dalam segala kebaikannya. Di tengah masa krisis kepemimpinan seperti sekarang sudah waktunya di negeri ini muncul sosok pemimpin yang mampu menyatukan setiap ucapan dengan perbuatannya. Pemimpin yang bisa menjadi _role model_ bagi keluarga, lingkungan terdekat, kelompok dan rakyatnya.
Kelima, sifat jujur. Salah satu sifat (yang wajib) bagi rasul adalah jujur (shiddiq). Sifat ini pula yang harus melekat dalam kepribadian seorang pemimpin. Jujur dalam tutur kata, sikap dan, perbuatannya. Pemimpin yang jujur adalah orang yang mau mengakui segala kekurangannya serta mau mengakui dan menerima kelebihan orang lain, termasuk bawahannya. Ia tidak mau bersikap dan berperilaku oportunistik, bohong dan curang demi kepentingan pribadi, partai, dan kelompoknya.
Pemimpin yang jujur akan membawa banyak kemaslahatan bagi rakyatnya. Ibnu Mas’ud ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Kejujuran mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke surga. Seseorang yang senantiasa berkata jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sedangkan kebohongan, mengantarkan kepada kedurhakaan, dan kedurhakaan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berkata bohong akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong.” (Muttafaq ’Alaih).
Lalu, bagaimana sosok pemimpin teladan yang dirindukan tersebut? Muhammad SAW adalah jawabannya. Beliau adalah suri teladan terbaik (uswah hasanah) dalam segala kiprahnya. Firman-Nya : ”Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu …” (QS Al Ahzab : 21).
Nabi Muhammad SAW tidak hanya berperan sebagai tokoh spiritual, tetapi juga sebagai guru/konselor, panglima perang, kepala negara, arsitek peradaban, suami dan ayah teladan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seorang Michael H. Hart, pengarang “The 100 : A Ranking of The Most Influential Persons in History”, menempatkan Nabi Muhammad di peringkat pertama manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah.
Selain itu, pemimpin yang mumpuni harus paham dan menguasai persoalan-persoalan yang dihadapi daerahnya (pengangguran, kemiskinan, hubungan antarkelompok masyarakat, lingkungan hidup, dan sebagainya). Di sektor ekonomi dia juga harus mampu menyeimbangkan antara peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan.
Sebagai seorang yang cerdas dia juga harus bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat serta akurat (_decisive_). Selain itu mampu menjalankan keputusan dan mengelola perubahan secara sistemik. _Last but not least,_ dia juga harus mendapatkan dukungan dan diterima publik (_legitimate_) lewat mekanisme pemilihan yang berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Patut juga kita renungkan pidato Abu Bakar ra. pada saat pelantikannya sebagai khalifah, ”Orang yang lemah di antara mu menjadi kuat di sisi ku, sehingga aku memberikan hak-haknya kepadanya. Dan orang-orang yang kuat di antara mu menjadi lemah di sisi ku, sehingga aku ambil darinya barang yang bukan haknya. Taatilah aku, selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika aku tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepada ku. _Wallahu a’alam bish shawab._
Keterangan :
Penulis adalah anggota *Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI).* Tinggal di Depok.