DepokNews — Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengumumkan, peringkat Indonesia semakin baik di antara negara ASEAN untuk publikasi ilmiah dosen dan peneliti di jurnal internasional berindeks Scopus. Posisi Indonesia naik menjadi peringkat ketiga di bawah Singapura dan Malaysia. Itu merupakan prestasi pertama sejak 20 tahun lalu, publikasi ilmiah ahli Indonesia mengungguli mitra dari Thailand. Menteri Nasir optimistis pada akhir tahun 2017, publikasi dosen dan peneliti Indonesia dapat mengalahkan rekan mereka dari Singapura, yang sekarang ini menduduki peringkat kedua setelah Malaysia.
Direktur Eksekutif CSDS (Center for Strategic Development Studies), Dr. Mulyanto, menyambut prestasi itu dan harus dijaga momentumnya, agar keunggulan sumber daya manusia Indonesia terus meningkat dalam berbagai indikator pembangunan. “Setelah dua puluh tahun, kita baru mampu mengalahkan Thailand dalam indikator publikasi ilmiah internasional. Itu capaian yang cukup menggembirakan”, ujar Mulyanto yang pernah menjabat Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi.
Untuk tingkat ASEAN, dalam banyak indikator pembangunan, Indonesia masih kalah dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Apalagi, jika indikator tersebut dalam besaran per kapita atau dalam indikator produktivitas, misalnya jumlah publikasi internasional per peneliti atau dosen. “Dari segi jumlah publikasi internasional mungkin Indonesia unggul. Namun, bila dilihat jumlah publikasi per dosen atau peneliti, kita masih kalah,” jelas Mulyanto. Sehingga perlu mendapat perhatian dari pengelola pendidikan tinggi.
Laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2017-2018 menunjukkan, kesiapan teknologi Indonesia berada pada peringkat ke-80. Bandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, yang masing-masing berada pada peringkat 14, 46 dan 61. Meskipun peringkat daya saing Indonesia tahun 2017 (peringkat ke-36) naik 5 peringkat dari sebelumnya (41), namun secara umum kita masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand dalam hal daya saing.
“Kita perlu terus kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Jangan ingin serba cepat
dan serba mudah dalam mengukir prestasi, terutama di kalangan dosen dan peneliti,” simpul Mulyanto, alumni Tokyo Institute of Technology. Beberapa waktu lalu, heboh berita tentang universitas negeri yang menghasilkan lebih dari seratus doktor dalam waktu satu tahun dibimding hanya oleh satu orang promotor. Sebagian mahasiswa S3 tersebut kebetulan adalah para pejabat publik. Sungguh tragedi pendidikan nasional.
“Hal memalukan seperti itu tidak perlu terjadi. Mengejar selembar kertas ijazah tanpa kerja keras dan prestasi nyata. Malu kita pada generasi baru penerus bangsa,” kata Mulyanto. Ia menambahkan, publikasi ilmiah dan termasuk paten sekalipun adalah proksi, yang mengindikasikan langkah kita dalam mencapai tujuan pembangunan sains dan teknologi. Seperti penanda jalan, indikator publikasi itu memberikan keyakinan, bahwa kita sudah on the track dalam peningkatan kualitas dosen dan peneliti.
“Indikator iptek adalah penanda arah bukan tujuan. Tujuan pembangunan iptek sendiri untuk peningkatan daya saing, pelayanan publik, dan keamanan nasional, dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat,” terang Mulyanto. Jangan sampai lupa, kita mengejar indikator, tapi abai terhadap tujuan pengembangan iptek. []
(Informasi lebih lanjut, Dr. Mulyanto: 0812 8297 117)