Menu

Dark Mode
GEMMARIN (Gerakan Matahari Imam Ririn) Wilayah Sawangan Mendeklarasikan Dukungan Kepada Calon Wali Kota dan Wakil Walikota Depok Nomor Urut 1 PKN Resmi Dukung Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi Arafiq dalam Pilkada Depok 2024 Imam Budi Hartono Siap Hadapi Debat Pilkada Depok: “Kami Sudah Terlatih Tanya Jawab dengan Masyarakat” Ahmad Syaikhu dan Imam Budi Hartono Sowan ke Kediaman Habib Abubakar Al Busyro Citayam Grib Jaya DPC Kota Depok Tegaskan Dukungan Penuh untuk Imam Budi Hartono-Ririn Farabi Arafiq 700 Instruktur Senam di Depok Deklarasikan Dukungan untuk Pasangan Asih dan Imam Ririn

Nasional

  Manajemen Utang Pemerintah Harus Lebih Prudent

badge-check


					ilustrasi (istimewa) Perbesar

ilustrasi (istimewa)

DepokNews — Jakarta 24 Januari 2018.   Utang pemerintah sudah mencapai 28% PDB dan mendekati lampu merah. Pemerintah perlu lebih hati-hati dan cermat dalam pengelolaan utang.  Direktur Center for Strategic Development Studies, Dr. Mulyanto, dalam disksusi reguler CSDS tentang ‘Manajemen Utang Pemerintah’ menegaskan: “Proyeksi dan alokasi utang pemerintah harus lebih cermat dan berkualitas pada sektor-sektor yang benar-benar produktif.  Pembangunan infrastruktur yang sangat masif, perlu dievaluasi secara hati-hati.” Sebab, dana utang yang digunakan untuk membangun infrasturuktur diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan.  Faktanya, hari ini masih menunjukkan sebaliknya, terjadi proses deindustrialisasi.  Pembangunan industri di Indonesia menurun dari 28% di tahun 2012, menjadi hanya berkontribusi sebesar 19 % terhadap pembangunan ekonomi di tahun 2017.

Diskusi dimoderatori Nursanita Nasution, peneliti senior CSDS, menghadirkan ekonom dan pengamat dari generasi muda. Menurut Fithra Faisal Hasiadi, ekonom muda dari Universitas Indonesia, utang pemerintah selalu menjadi topik diskusi panas di tataran publik dan sering kali pembahasannya mengarah pada logika politik. Apalagi, di tahun-tahun politik menjelang pilkada dan pemilihan umum.  Karena memang pada dasarnya politik dan ekonomi tidak bisa dipisahkan dan saling mempengaruhi. Padahal permasalahan utang dapat dilihat lebih jernih dari sudut pandang ekonomi dan keuangan, ketika negara maju memiliki kelebihan dana dan menginvestasikannya kepada negara berkembang.  Transfer of income yang berlangsung normal.

“Yang penting, bagaimana utang tersebut digunakan pemerintah secara bijaksana untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat,” tambah Faisal.  Ia mencontohkan bagaimana Thailand, sebagai salah satu negara di Asia Tenggara, memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 6% dan infrastruktur yang lebih bagus dibandingkan dengan Indonesia, namun mempunyai utang lebih sedikit.  Hal itu dimungkinkan, karena perbedaan kinerja kebijakan fiskal kedua negara dalam melakukan proyeksi pembangunan.  “Proyeksi dan alokasi utang yang baik dalam pembangunan akan memberikan dampak yang baik pula bagi kinerja ekonomi. Untuk bertumbuh, kita butuh utang, tapi proyeksi pembangunan sangat penting, sehingga utang menjadi tepat sasaran, berkualitas dan produktif, “ pungkas Fithra.

Peneliti IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies), Yusuf Wibisono, menilai ada dua hal perlu mendapat perhatian pemerintah. Pertama, soal keseimbangan primer yang terus negatif.  Keseimbangan primer menunjukkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dalam APBN, yakni mengukur seberapa besar selisih antara penerimaan dengan belanja.  Keseimbangan primer positif artinya APBN kita sehat. “Semakin kecil keseimbangan primer, maka semakin berbahaya dari sudut pandang pengelolaan utang.  Sementara, bila keseimbangan primer bernilai negatif, seperti yang saat ini terjadi. Artinya untuk membayar bunga utang saja kita sudah tidak sanggup dan harus berhutang lagi. Gali lobang tutup lobang,” simpul Yusuf.

Yusuf memperkirakan stok utang pemerintah menembus angka Rp 5.000 triliun pada akhir 2019. Pemerintah diproyeksikan membuat utang baru sebesar Rp 2.430 triliun sepanjang 2015-2019, atau hampir Rp 500 triliun setiap tahunnya.  Di akhir pemerintahan diperkirakan akan menembus angka 31% dari PDB.  Bila di tahun 2012 beban bunga utang masih berada di kisaran 10% dari penerimaan pajak, maka di tahun 2016 nilainya telah menembus angka 14%. Diproyeksikan beban bunga utang akan berada di kisaran 18% dari penerimaan perpajakan pada tahun 2019.  “Itu beban yang berat”, jelas Yusuf. “Implikasinya, pemerintah harus terus mengakumulasi tambahan utang. Membayar utang saat ini dengan membuat utang baru, tanpa mampu mengurangi stok utang.  Sehingga, utang baru bukan lagi fungsi dari defisit anggaran, namun fungsi dari stok utang pemerintah.”

Masalah kedua, Yusuf mengusulkan, indikator kekuatan pembayaran utang pemerintah, yakni rasio antara besarnya bunga dan cicilan utang yang harus dibayar terhadap penerimaan pajak, sebagai suplemen dari indikator yang umum dipakai, yakni rasio utang terhadap PDB.  PDB tidak menggambarkan kekuatan pemerintah dalam membayar utang. Kekuatan pemerintah dalam membayar utang dapat dilihat dari seberapa banyak penerimaan PDB yang dapat ditarik menjadi penerimaan negara. “Yang harus diperhatikan adalah besar penerimaan pajak dari PDB tersebut. Pada 2005-2016, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata mencapai 33,1% dari penerimaan pajak per tahunnya.  Angka ini sangat signifikan dan cenderung naik, lebih besar dari rata-rata belanja barang dan belanja modal sekaligus, yang pada saat yang sama hanya sekitar seperempat dari penerimaan perpajakan.” paparnya.

Indikator kekuatan pembayaran utang pemerintah penting untuk diperhatikan dalam rangka pengelolaan kebijakan utang, tidak sekedar mengacu pada indikator rasio utang terhadap PDB. Utang merupakan konsekuensi dari postur APBN, yang lebih besar pasak daripada tiang, dan semestinya diarahkan untuk menjaga stimulus fiskal.  Namun faktanya, anggaran negara yang selalu defisit lebih banyak diakibatkan alokasi untuk ‘belanja mengikat yang bersifat wajib, khususnya belanja pegawai, pembayaran bunga dan cicilan utang, serta transfer ke daerah. Dengan besarnya porsi belanja pemerintah yang merupakan non-discretionary expenditure, maka belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang di bawah diskresi pemerintah, seringkali harus dibiayai dengan utang.  Ruang bagi stimulus fiskal adalam APBN kita sangat sempit dan tidak sehat.

CSDS merekomendasikan agar pemerintah memperhatikan kualitas APBN baik di sisi penerimaan maupun pengeluaran, agar pembangunan terlaksana secara optimal.  Rasio penerimaan pajak yang masih sekitar 11% PDB harus ditingkatkan secara signifikan melalui cara-cara kreatif dan berkeadilan.  “Dengan itu, maka keseimbangan primer anggaran bisa tumbuh secara positif dan utang pemerintah lebih teralokasi dan terproyeksikan dengan baik dalam rangka memberi ruang yang luas bagi stimulus fiskal untuk pembangunan yang berkualitas,” kata As Natio Lasman, Wakil Ketua CSDS.#

 

Narahubung CSDS:

Aldy 081283519855

info@csds.org

 

Facebook Comments Box

Read More

Diskusi Publik GEMA JASKITA “Menuju Demokrasi yang Bersih dan Bermartabat”

12 February 2024 - 07:34 WIB

Pimpinan BAZNAS RI Dorong Optimalisasi OPZ Melalui SIMBA, Disampaikan Dalam Islamic Philanthropy Outlook 2024

4 January 2024 - 12:20 WIB

Kolaborasi Simpul Relawan Anies Kota Depok, Adakan Bimtek Saksi TPS & Sosialisasi Aplikasi Hitung Cepat

23 October 2023 - 09:46 WIB

Pemimpin PKS Lepas Keberangkatan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Anies-Muhaimin

20 October 2023 - 14:42 WIB

Nur Azizah Tamhid Prihatin Terhadap Degradasi Moral Bangsa Akibat Propaganda LGBT dan Pergaulan Bebas

16 October 2023 - 08:48 WIB

Trending on Headline