Oleh: Fiiki Ridho Rabbina
Kisah ini bercerita mengenai seekor keledai tua, milik seorang petani tua, yang terperosok kedalam sumur tua. Petani itu begitu menyayangi keledainya, sahabat perjuangan selama belasan tahun menyambung hidup.
Si keledai adalah andalannya untuk membajak ladang, menjerai benih, dan mengangkut panen. Kini, keledai itu meringkik-ringkik di dalam kegelapan sumur dibawah sana. Mungkin ia kesakitan, mungkin ketakutan. Maka dicobanya segala cara untuk menolong sang keledai agar bisa keluar.
Dia berpikir keras. Mula-mula disambarnya segulung tali. Diulurkannya ke bawah. Diteriakinya sang keledai agar menggigit tali itu. Ditariknya kuat-kuat, tapi dia justru terpelanting. Cara ini tak berhasil. Dilemparnya lagi ke bawah. “Ambil tali itu,” serunya, ikatkan ke tubuhmu!. Akan kutarik kau ke atas!” ini pun tak bisa.
Lalu diikatnya tali itu membentuk laso. Diulurkannya ke bawah lagi. Diserunya sang keledai masuk ke simpulan laso. Ditariknya perlahan. Berat. Berat sekali. Sang keledai berseru-seru serak. Sepertinya dia kesakitan dan tersiksa. Hanya bagian lehernya yang terjerat. Dicobanya segala cara dengan tali. Tetapi hasilnya nihil. Dia mulai merasa sia-sia tak berguna.
Menerawang sejenak, dilihatnya ada rumpun bambu di dekat situ. Dengan golok, dipapasnya sebatang sedang yang tampak kuat. Lalu dia mencoba mengulurkannya ke dalam sumur. “Jepit bambu itu dengan kaki-kakimu!” teriaknya. “Akan kuungkit kau naik!” berulang-ulang dia mencoba mengungkit dan mengungkil. Selalu gagal. Segala cara dia kerahkan dengan bambu. Segala upaya dicoba tapi semuanya nihil. Dia makin lelah. Harapannya makin menguap. Merembes keluar dari jiwa bersama keringat yang mengkuyupi pakaiannya.
Matahari makin rendah dibarat sana, hari kian menyenja. Dan sang petani telah mengambil keputusan bersama keputusasaannya. Dia akan menimbun sang keledai dengan tanah. Biarlah sang keledai tua beristirahat disana. Rehat yang damai setelah belasan tahun pengabdian. Biarlah. “Keledai ku sayang.. terima kasih atas persahabatan kita. Kini saatnya kau beristirahat. Rehatlah dengan tenang..”
Sikeledai marah ketika segenggam tanah pertama mengenai punggungnya. Ketika datang yang kedua meluncur berdebam, dia menghindar. Tapi kian lama, dia makin tahu apa yang harus dilakukannya. Dia mengangkat kakinya, naik ke atas tiap timbun tanah yang jatuh ke dasar. Tiap kali ada bongkahan meluncur, dia terus naik dan naik.
Hingga senja tamat menjadi malam. Sang petani yang sedih mengira bahwa dia telah sempurna menguburkan keledai kesayangannya. Dalam lelah, dalam payah, dalam duka yang menyembilu hati dia berbaring di samping sumur. Sejenak memejamkan mata, menghayati gemuruh dadanya. Diam-diam hatinya menggumamkan doa. Dan saat itulah, sang keledai meloncati tubuhnya dengan ringkikan bahagia, keluar dari sumur tanpa kurang suatu apa.
Tugas kita adalah berbaik sangka. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai musibah, mungkin saja bukanlah musibah itu sendiri. Bahwa yang sering kali kita anggap penderitaan, bisa jadi adalah pertolongan dari Allah dari jalan yang tidak kita sangka-sangka. Bahwa sesama yang zhahirnya akan menyakiti, bisa jadi punya niat mulia di dalam hatinya. Bahwa kalaupun niatnya tak suci, kita tetap bisa mendapatkan kebaikannya, dengan prasangka baik.
Sumber: Buku Dalam Dekapan Ukhuwah Karya Salim A. Fillah