Orang-orang jahiliyah mempunyai kebiasaan melumuri Ka’bah dengan darah unta yang mereka kurbankan. Maka para sahabat Nabi pun berkata,”Kita lebih berhak untuk melakukan hal itu.” Dalam kondisi demikian, turunlah ayat 37 surat Al Hajj yang artinya: “Daging-daging unta darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS Al Hajj : 37) Ayat ini mengandung arti bahwa Allah menerima amalan kaum muslimin yang didasarkan atas takwa, bukan atas dasar kebiasaan orang-orang jahiliyah.
Terkait ayat 37 surat Al-Hajj tersebut, dijelaskan di dalam Tafsir Al-Muyassar : “Daging dan darah sembelihan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketulusan niatlah yang akan sampai kepada-Nya. Dan seharusnya tujuan (niat) penyembelihan kurban hanyalah mengharap keridaan Allah. Demikianlah ia menundukkan hewan-hewan itu untuk kalian –wahai orang-orang yang berkurban- agar kalian mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya, atas petunjuk kebenaran yang diberikan kepada kalian. Sesungguhnya Dialah pemilik kebenaran itu. –Hai Muhammad- sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang berbuat kebaikan, beribadah hanya kepada Allah, dan berbuat baik kepada sesama bahwa setiap itu mendapat kebaikan dan kemenangan.”
Kurban (qurbaan) berasal dari kata qaruba yang artinya menghampiri atau mendekati. Dalam konsep fikih kurban bermakna binatang yang disembelih dalam rangka ibadah kepada Allah pada hari raya haji dan hari tasyrik. Dalam bahasa Indonesia, istilah kurban sangat dekat maknanya dengan ‘korban’. Salah satu makna korban menurut KBBI adalah pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya. Dalam konteks kurban, makna berkurban sama dengan berkorban.
Dakam konteks sosial prosesi kurban terekam lewat pemanfaatan daging-daging hewan kurban untuk dinikmati oleh kaum dhuafa. Dampak positif berkurban secara ruhiyah akan kurang bermakna tanpa adanya dampak pada aspek muamalah (sosial kemasyarakatan). Di sinilah letak dimensi sosiologis praktik kurban, yaitu dapat menjadi jembatan kebersamaan antara si kaya dan si miskin sebagai manifestasi konsep hablum minallah dan hablum minannaas.
Secara ekonomi, pemberdayaan yang optimal dari kurban dapat berdampak kepada ekonomi keumatan yang luar biasa. Mengutip pendapat Tere Liye, seorang penulis terkenal, yang mengatakan bahwa jika 10% saja dari kelas menengah kita berkorban (atau setiap rumah satu ekor), maka kita akan punya 6 juta ekor kambing/sapi yang dipotong setiap tahun. Menurut Tere Liye jika 6 juta ekor kambing/sapi disembelih setiap idul kurban maka bisa menciptakan jutaan lapangan pekerjaan.
Penulis “Negeri Para Bedebah” itu menambahkan bahwa efek domino dari kurban bisa panjang sekali mulai dari peternakan, industri pengalengan daging hingga distribusi pakan ternak. Namun sayangnya, menurut perkiraan Tere Liye hanya 200 ribu ekor sapi/kambing yang dipotong setiap hari raya kurban di tanah air. Angka itu setara 0,33% dari angka total 60 juta penduduk kelas menengah Islam Indonesia.
Mengacu pada paparan di atas, berkurban sejatinya bisa menjadi media yang efektif untuk memperkokoh solidaritas umat dan menjadi perekat yang kuat agar tercipta kohesi sosial ekonomi sesama muslim dan antarsesama manusia. Untuk mencapai kondisi tersebut hanya dapat diperoleh melalui ketundukan dan keikhlasan terhadap segala perintah dan larangan-Nya, sebagaimana ketundukan dan keikhlasan Ibrahim a.s. serta Ismail a.s. ketika mereka mendapat titah dari Rabbnya untuk mengerjakan kurban (QS Ash Shaffaat : 102 – 103).
Pasca pandemi Covid-19 banyak anggota masyarakat yang terdampak secara ekonomi disebabkan penghasilan yang berkurang atau (bahkan) kehilangan pekerjaan. Mereka harus lebih menghemat pengeluaran rumah tangga, termasuk untuk konsumsi sehari-hari. Mereka sudah sangat bersyukur bisa makan sehari-hari walaupun dengan menu seadanya. Makan dengan menu yang mewah, seperti ayam atau daging, merupakan impian yang tidak mudah untuk mereka wujudkan.
Oleh karena itu, di tengah kondisi kesulitan ekonomi yang mendera sebagian masyarakat dan bencana alam silih berganti menimpa saudara-saudara kita di berbagai daerah, sudah seharusnya kita mengintrospeksi diri tentang nilai kemanusiaan kita. Saudara-saudara kita yang menjadi korban bencana di berbagai pelosok negeri saat ini sangat membutuhkan uluran tangan kita sesama anak bangsa. Sudahkah kita berkurban dan berkorban untuk mereka?
Salah satu media untuk membantu mereka adalah lewat pengiriman daging kurban yang sudah siap olah atau siap saji, baik oleh perorangan, kelompok maupun lembaga. Semoga pengorbanan dan kepasrahan kita dalam menunaikan salah satu ajaran Islam ini dapat mengantarkan kita menjadi dekat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta lebih peduli kepada sesama. Aamiin. Wallahu a’lam bish shawab. (*)
Hamdi, S.Sos (anggota Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia/FAMMI)