Di era Revolusi Industri 4.0 ini, dinamika desain grafis/komunikasi visual selalu berkaitan erat dengan perkembangan teknologi. Dahulu, ketika teknologi informasi mulai menguasai dunia di pertengahan 90-an, di Indonesia terjadi “penggusuran” terhadap desainer manual. Profesi seperti paste-up artist, tukang setting, tukang stensil, digantikan oleh desainer pengguna komputer. Saat itulah masuknya Revolusi Industri 3.0.
Aktivitas desain grafis instan makin marak, pada tahun 2010-an. Penggunaan desain siap pakai menggantikan desain yang dimulai dari nol. Akibatnya desain mulai tidak dipandang sebagai proses mencari solusi, melainkan hanya sekedar dekorasi.
Dengan cara berfikir seperti itu, mulai muncul kelompok-kelompok desainer di kampung. Fenomena ini merupakan bentuk manifestasi dari Revolusi Industri 4.0 di bidang desain grafis di Indonesia. Teknologi perangkat genggam dan aplikasinya sekarang sangat memungkinkan kita untuk membuat desain di manapun dan kapanpun.
Dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap bidang-bidang profesi, di prediksi bahwa pekerjaan desainer grafis akan tetap ada. Namun, substansi desain dan pelakunya di masa depan makin berubah. Berikut ini adalah beberapa prakiraan para ahli mengenai pengaruh Revolusi Industri 4.0 terhadap bidang desain grafis:
Semua peralatan kerja akan berhubungan dengan internet. Selain itu, kecerdasan buatan pun akan ditanamkan didalamnya. Rob Girling (konsultan desain Artefact) memperkirakan bahwa software atau apllikasi desain grafis akan membuatkan ratusan alternatif layout/logo dalam seketika.
Karena mendesain dilakukan dengan mudah, maka dapat dilakukan oleh siapapun. Menurut Duane Bray dari Ideo posisi desainer nantinya tidak harus dipegang oleh yang berlatar belakang desainer. Yang terpenting ialah memiliki pemikiran yang terbuka dan niat belajar yang tinggi.
Percetakan tiga dimensi (3D printing), akan menjadi hal yang umum. Menurut John Maeda (desainer dan teknolog) : desainer akan terbagi menjadi dua jenis, yaitu desainer klasik, contohnya desainer grafis, desainer interior. Yang kedua yaitu desainer komputasional, desainer ini akan berkecimpung dengan kode dan program.
Desain bukan lagi sebuah bidang yang berdiri sendiri. Keberadaannya makin lama makin melebur dengan bisnis, teknologi, pendidikan, dan disiplin lainnya. Menurut Cees de Bont (Dekan School of Desain, universitas politeknik Hong Kong), ditengah kondisi seperti ini desainer perlu memperluas pengetahuan bidaang-bidang di luar desain.
Resti Fauziah
STEI SEBI