DepokNews–Jika kita melihat peta dunia, tanpak jelas. Indonesia adalah suatu Negara Kepulauan (archipelago, Nusantara). Sebagai negara Kepulauan, selain karunia keragaman, juga rawan perpecahan.
Terbukti. Belanda berhasil menjajah ratusan tahun dengan mengandalkan politik adu domba (devide et impera). Bahkan walau Indonesia sudah Merdeka (1945), Belanda enggan meninggalkan Indonesia. Berbagi teror dilakukan. Termasuk membentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS, 27 Desember 1949.
Saat itu ada Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Jawa Timur, dan lainnya.
Alhamdulillah, RIS hanya bertahan 9 (sembilan) bulan. Karena para pemimpin mulai sadar, bahwa RIS hanya siasat licik memecah belah.
Kita patut bersyukur. Indonesia adalah Negara Kepulauan besar. Ada lebih 17.000 pulau, 1.300 suku dan 700 bahasa. Terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kompleks. Bagaimana dulu para Bapak Bangsa bisa mempersatukan. Wajib disyukuri. Alhamdulillah.
Sebenarnya bukan hanya Indonesia. Ada juga negara kepulauan. Seperti: Jepang (6.800 pulau), Filipina (7.641 pulau), Maladewa (1.200 pulau), dan Fiji (330 pulau).
Sebagai negara berdaulat, Negara dan warga Bangsa wajib mempertahankannya. Persoalan besar adalah, bagaimana menjaga perbatasan antar negara. Bukan saja yang di darat, tetapi wilayah maritim. Perlu pasukan yang kuat dan cukup besar. Kata Publius Flavius Vegetius Renatus (abad 4-5 M): “Si vis pacem, para bellum.” Artinya :”Jika ingin damai, bersiaplah untuk perang.” (dalam karyanya, “Epitoma Rei Militaris”).
Perang, selain butuh alutsista, perlu dukungan logistik. Khususnya pangan. Maka harus ada sinergi dan pembagian peran. Tentara sebagai kekuatan tempur utama. Rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Di wilayah perbatasan, perlu ada perkampungan terlatih. Diantaranya dengan menempatkan Transmigran. Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno (28/12/1964) menyatakan. Transmigrasi adalah Mati -Hidup Bangsa Indonesia.
Untuk mewujudkan gagasan besar itu, selama Orde Baru (1967-1998), Gerakan Nasional Transmigrasi dilaksanakan Pak Harto secara massif. Sekarang terasa. Dengan adanya Transmigrasi stabilitas keamanan lebih terjaga. Sparatisme dapat dikendalikan. Sebaliknya, ketika Transmigrasi mereda di masa Reformasi, benih sparatisme bangkit kembali.
Kini saatnya kita kembali mempelajari sejarah kita. Walau kita tidak hidup dimasa awal kemerdekaan, tetapi hendaknya bisa merasakan. Betapa beratnya mempersatukan negara kepulauan besar ini. Mari kita dukung Gerakan Nasional Transmigrasi. Transmigrasi yang menyejahterakan seluruh anak Bangsa. Karena hakikatnya Transmigrasi bukan milik suku, agama, atau pulau tertentu saja.
KoDe, 06 November 2024
Hasprabu