Efektivitas Audit Internal Syariah: Solusi Untuk Lembaga Keuangan Islam

Oleh : Fuad Najmudin (STEI SEBI)

Menurut data statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK) Keuangan (2020) pada Juli 2020. Di Indonesia terdapat 14 Bank Umum Syariah (BUS). Dalam Perbankan syariah perlu adanya Audit syariah sebagai fungsi penting untuk memastikan kepatuhan Syariah di lembaga perbankan Islam. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk memasukkan fungsi audit syariah ke dalam kerangka tata kelola perusahaan bank syariah (IB) yang ada. Namun, tidak banyak panduan yang dapat dirujuk oleh auditor untuk melakukan prosedur audit syariah yang komprehensif.

Menurut Kerangka Tata Kelola Syariah (Horne, J.C. dan Wachowicz, 2007), audit Syariah mengacu pada:

 “ Penilaian dari waktu ke waktu yang dilakukan secara berkala, ini merupakan penilaian yang independen dan jaminan obyektif  yang dirancang menambah nilai dan meningkatkankan tingkat kepatuhan yang berkaitan dengan operasi bisnis Lembaga Keuangan Islam, dengan tujuan utama system control internal yang sehat dan efektif untuk kepatuhan syariah dan dilakukan oleh auditor internal.” (Bank Negara Malaysia,2011)

Audit syariah internal dibentuk di lembaga keuangan syariah karena adanya disparitas antara tata kelola syariah dan tata kelola perusahaan. Perbedaan dalam kedua tata kelola tersebut menyebabkan perbedaan fitur audit internal yang dibutuhkan, seperti orientasi, tujuan, ruang lingkup, pengungkapan dan laporan, keterampilan auditor dan kualifikasi yang diperlukan (Younes Soualhi,2020). Menurut Karagiorgos et al. (2010), efektivitas audit internal dalam perusahaan tata kelola dapat ditentukan dengan mengetahui hubungan timbal balik antara internal audit dan elemen-elemen kunci tata kelola perusahaan. Oleh karena itu perlunya menilai efektivitas Audit Syariah Internal di  Lembaga keuangan Islam sebagai hubungan timbal balik antara auditor Internal dan LKI.

Lantas apa perbedaan efektivitas audit internal dari perspektif barat dan efektivitas audit Syariah internal dari perspektif islam ?

Menurut Van Gansberghe (2005), faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan untuk mengukur efektivitas audit internal adalah KAP dan kerangka tata kelola, kompetensi tinggi, peraturan perundang-undangan, sumber daya audit internal, dan kerangka konseptual. Sedangkan Keefektifan audit syariah internal dapat dicapai dengan menyusun rencana yang komprehensif dan mengerjakannya secara akurat (AAOIFI, 2010).

Tujuan audit syariah internal sama dengan tujuan audit keuangan konvensional; Namun perbedaan tersebut muncul berdasarkan Standar Auditing untuk Lembaga Keuangan Islam (ASIFI No. 1), yang menyebutkan bahwa audit syariah memberikan jaminan bahwa transaksi bank syariah sesuai dengan prinsip dan aturan syariah, yang ditentukan oleh standar AAOIFI, dan lokal dan nasional standar akuntansi. tujuan audit Sharıʿah tidak menunjukkan perbedaan yang bervariasi dari audit internal konvensional. Hal ini karena hanya syariah faktor yang ditambahkan yang membuat cakupan dan kerangka kerja lebih luas, dan akibatnya baru ditambahkan pemain dalam tata kelola seperti DPS dan auditor internal syariah, termasuk peraturan baru.

Ada empat Struktur dan mekanisme yang efektif untuk audit syariah Internal

Pertama, Profil referensi audit Syariah, Menurut Al-Fazee, yang merupakan profesor Sharıah di Kuwait University, menyebutkan dalam makalahnya, “Sharıʿah Audit Manual”, yang dipresentasikan dalam Konferensi Audit Sharıʿah pada tahun 2009, bahwa untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip Syari’ah, referensi Syar’ah yang komprehensif harus tersedia bagi auditor atau reviewer untuk merujuk ketika melakukan pekerjaan.

Kedua, Piagam auditor syariah, Menurut Standar Tata Kelola untuk bank Islam (GSIB) 3, Ayat 3, audit syariah internal merupakan bagian integral dari alat kontrol organisasi, dan beroperasi sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga.syariah internal Audit harus memiliki piagam auditor Sharıʿah yang menggambarkan tujuan, wewenang dan tanggung jawab. Piagam auditor syariah harus disiapkan oleh administrasi sesuai dengan ketentuan syariah Islam, dan harus disahkan oleh DPS institusi dan dikeluarkan oleh Direksi. Lebih lanjut, piagam auditor Sharıʿah harus menunjukkan bahwa auditor internal Sharıʿah tidak memiliki otoritas atau otoritas eksekutif terhadap bisnis (GSIFs 3, Para4).

Ketiga, Rencana auditor syariah, Menurut Fahd Bin Sulaiman Al-Attaiwi (2015), rencana audit syariah tahunan harus mencakup hal-hal sebagai berikut:

  • Pengantar umum yang menunjukkan tujuan.
  • Ruang lingkup audit.
  • Tujuan audit yang dapat diringkas sebagai semua kontrak, transaksi, produk, perjanjian layanan yang semuanya sesuai dengan Sharıah dan didukung oleh DPS.

Dan terakhir, Manual audit, Manual audit tertulis ini mencakup definisi produk atau transaksi, kendali dan standar syariah yang terkait dengannya serta kontrak yang diperlukan untuk melaksanakannya agar auditor syariah dapat merujuknya dan membentuk formulir audit yang tepat selama audit proses( Dahlawi, 2013; Al-Omrani, 2015). Manual audit juga didefinisikan sebagai seperangkat metode yang dirujuk oleh departemen audit Sharıʿah untuk mendapatkan informasi yang valid yang mengarah pada pendapat yakin pribadi tentang komitmen perusahaan terhadap prinsip-prinsip syariah (Issa, 2002).

Dengan pertumbuhan dan perkembangan industri keuangan syariah yang potensial di Indonesia, seharusnya peran auditor syariah internal dalam mengaudit Lembaga Keuangan Islam sudah wajib memiliki struktur dan mekanime efektivitas audit syariah internal yaitu profile referensi audit syariah, piagam auditor syariah, rencana auditor syariah dan manual audit. Dengan demikian dapat dilakukan perbaikan dan pengembangan bersama dalam aspek yang lain juga sehingga menghasilkan audit internal syariah yang efektif bagi Lembaga keuangan Islam di Indonesia.