Hukum Membeli Barang Secara Kredit dalam Perspektif Syariah

Oleh: Nadia Widyastuti (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Perbankan Syariah)

Seiring dengan perkembangan zaman transaksi dalam jual-beli semakin berkembang dengan sangat pesat, berbagai macam cara penjualan telah dilakukan para pedagang untuk memasarkan produknya. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan melakukan sistem kredit atau cicilan pada produk yang akan dijual. Pembelian barang dengan sistem kredit sangat digemari masyarakat karena pembeli dapat langsung menggunakan produk yang dibelinya tanpa harus membayarnya secara lunas.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023, tercatat 22,97% rumah tangga Indonesia menerima layanan kredit atau pinjaman uang dalam setahun terakhir. Badan Pusat Statistik memperoleh data tersebut melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dengan meneliti sampel sebanyak 345.000 rumah tangga yang tersebar di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas dengan responden. Dari pernyataan para responden, jenis kredit yang paling umum digunakan adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Allah SWT telah memberikan panduan yang jelas kepada umatnya melalui al-Qur’an dalam menekankan pentingnya keadilan dan keseimbangan dalam bermuamalah. Allah SWT melarang umat Islam untuk terlibat dalam transaksi yang mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (perjudian). Dalam jual-beli, Perbankan Syariah memberikan solusi kepada nasabah dalam melakukan proses transaksi yang sederhana dan sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah, salah satunya dengan menyediakan layanan pembelian barang secara kredit. Kredit barang merupakan suatu mekanisme ekonomi yang memungkinkan individu memperoleh barang atau jasa dengan cara pembayaran yang ditangguhkan atau dicicil dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun harga barang pada pembelian kredit ini seringkali akan dikenakan biaya tambahan.

Bagi umat Islam, sistem pembelian barang secara kredit masih menjadi pertimbangan.  Apakah praktek pembelian barang secara kredit diperbolehkan dalam ajaran Islam? Apa hukum pembelian barang dengan metode kredit menurut syariat? Dalam fikih, akad jual-beli kredit lebih dikenal dengan istilah jual-beli taqsith. Secara bahasa, taqsith berasal dari bahasa Arab yang berarti “membagi” atau “menjadikan sesuatu beberapa bagian”. Dalam prakteknya taqsith digunakan seseorang untuk membeli barang atau jasa dengan cara membayarnya secara bertahap dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati sebelumnya dan penjual harus menjelaskan keuntungan yang diperoleh dari penjualan barang tersebut untuk menghindari kekeliruan nantinya.

Secara umum, jual-beli dengan sistem kredit dibolehkan menurut hukum syariah. Berdasarkan beberapa dalil, salah satu diantaranya berpendapat bahwa berhutang secara kredit diperbolehkan apabila menuliskan terlebih dahulu jumlah hutang pembayaran diawal, berapa kali angsuran dilakukan, serta tanggal jatuh tempo yang harus dibayarkan. Seperti yang diperintahkan dalam QS. Al-Baqarah Ayat 282, berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai dalam jangka waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya” Ayat ini menjelaskan tentang akad hutang-piutang, sedangkan akad pembelian barang secara kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga ayat tersebut dapat dijadikan dasar untuk dibolehkannya akad kredit.

Pembelian barang secara berangsur atau menyicil diperbolehkan apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan jumlah pembayaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Pembelian dengan menggunakan sistem ini hukumnya adalah mubah, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukan keharamannya. Ketika membeli barang secara kredit dan barang tersebut mengandung riba, maka transaksi tersebut menjadi haram hukumnya. Oleh karena itu, asal hukum pembelian barang secara kredit dalam muamalah adalah boleh atau mubah.

Dalam sistem Perbankan Syariah, pembelian barang secara kredit dapat dilakukan melalui mekanisme jual-beli dengan akad murabahah atau musyarakah mutanaqisah. Pengertian murabahah sendiri merupakan suatu akad jual-beli antara pihak bank dengan nasabah, dimana  pihak bank membeli barang dari nasabah kemudian menjualnya kembali kepada nasabah lainnya dengan ditambahkan margin keuntungan yang telah disepakati bersama. Sedangkan, dalam musyarakah mutanaqisah, disini pihak bank dan nasabah melakukan kerjasama dalam pembelian barang, kemudian nasabah secara bertahap membayar sebagian kepemilikan bank sehingga nasabah menjadi pemilik penuh atas barang tersebut.

Sebagai contoh transaksi jual-beli barang secara kredit, yaitu ketika seseorang ingin membeli sebuah mobil namun konsumen tidak mempunyai cukup uang untuk membayarnya secara tunai, Oleh karena itu, penjual menawarkan untuk membelinya secara diangsur dan dengan jangka waktu pembayaran yang disepakati bersama. Misalnya jika membeli mobil secara tunai maka harga mobil tersebut adalah Rp.100.000.000,- dealer mobil menawarkan opsi lainnya yaitu opsi kredit dengan total harga Rp.120.000.000.- yang dapat dibayar dalam jangka waktu 24 bulan. Disini pembeli akan membayar sebesar Rp.5.000.000.- per bulan selama 24 bulan. Dalam hal ini, selama tidak dikenakan bunga yang melebihi kesepakatan awal yaitu Rp.120.000.000.- dan seluruh syarat terpenuhi, maka transaksi tersebut dianggap memenuhi prinsip syariah. Namun apabila terjadi keterlambatan pembayaran maka pembeli akan dikenakan denda yang harus dibayarkan berupa biaya admisnitrasi tetap yang tidak terlalu tinggi nominalnya dan bukan dihitung melalui persentase jumlah yang tertunggak, hal ini dilakukan untuk menghindari riba.

Berikut merupakan langkah-langkah yang perlu diperhatikan pembeli apabila ingin membeli barang secara kredit:

  1. Pastikan sebelum melakukan transaksi, pembeli telah membaca dan memahami seluruh syarat dan ketentuan penggunaan kontrak kredit.
  2. Perhatikan detail-detail transaksi seperti jumlah angsuran, jangka waktu pembayaran, dan konsekuensi apabila terjadi keterlambatan pembayaran.
  3. Pastikan barang yang akan dibeli transparan harganya dan harga tersebut harus tetap sama selama masa cicilan.
  4. Pastikan tidak ada bunga yang dikenakan selama jangka waktu pembayaran angsuran, diperbolehkan apabila terdapat perbedaan antara harga kredit dengan harga tunai namun harga barang telah disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak.
  5. Dalam bertransaksi harus adil dan tidak memberatkan salah satu pihak. Misalnya, pembeli mendapat denda keterlambatan pembayaran, maka pembayarannya harus wajar dan tidak
  6. Pastikan apabila mendapat denda keterlambatan pembayaran, maka denda tersebut berupa biaya administrasi tetap dan bukan persentase dari jumlah yang tertunggak.
  7. Memastikan seluruh transaksi pembelian dan dokumen perjanjian kredit dicatat dan disimpan dengan baik untuk menghindari kekeliruan di kemudian hari.
  8. Pastikan pembeli mempunyai kemampuan mencicil sesuai jadwal pembayaran, jangan mengambil pembayaran kredit yang melebihi kemampuan finansial.
  9. Buatlah rencana keuangan yang baik untuk memastikan bahwa cicilan bisa terbayar tanpa menunggak apalagi mengorbankan kebutuhan pokok.
  10. Usahakan melakukan transaksi melalui lembaga keuangan syariah yang terpercaya dan terdaftar resmi, karena lembaga tersebut biasanya memiliki produk kredit yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Proses membeli barang secara kredit harus bersifat saling mengetahui, sukarela, dan saling menguntungkan baik bagi pembeli maupun penjual. Transaksi sistem kredit saling menguntungkan kedua belah pihak karena dapat meringankan pembayaran pembeli dan penjual memperoleh keuntungan karena mendapatkan provit dari produk yang dijualnya. Penambahan harga dalam sistem jual-beli tidaklah dilarang, selama penambahan harga tersebut tidak merugikan atau mengandung unsur tidak adil (zhalim).

Transaksi pembelian barang secara kredit yang terjadi di masyarakat modern saat ini merupakan hal yang sangat lumrah. Hal ini karena faktor budaya yang berkembang pesat dan perilaku konsumtif masyarakat, menjadi latar belakang terjadinya transaksi jual-beli barang dengan metode kredit. Pembelian barang secara kredit dalam Perbankan Syariah harus memenuhi prinsip-prinsip syariah yang melarang adanya unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (spekulasi).

Oleh karena itu, transaksi jual-beli dengan metode kredit harus dilakukan melalui skema yang diakui dalam hukum syariah, seperti murabahah karena transaksi ini melibatkan jual-beli barang secara nyata dan margin keuntungannya telah diketahui sebelumnya dan disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, jual-beli kredit menurut syariah harus dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi semua pihak yang terlibat.

Published
Categorized as Opini