Ketenangan Jenderal Sigit

Oleh: H. Albiner Sitompul, S.IP, M.AP
(Ketua Umum Jam’iyah Batak Muslim Indonesia)

“Ketenangan adalah kekuatan lahir dan batin”. Ketenangan membutuhkan sebuah intuisi. Sementara intuisi itu merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT kepada setiap hamba-Nya. Intuisi akan selalu hadir mendampingi seseorang yang paham bahwa melaksankan tugas adalah Kehendak Tuhan Yang Maha Esa, untuk melayani masyarakat. Demikianlah intuisi akan hadir terus menerus pada saat pelaksanakan tugas-tugas yang berikutnya.

Seseorang yang diberi hidayah oleh Allah SWT menjadi pembeda dalam pelaksanaan tugas umat-Nya, akan menjadi teladan kepada orang lain yang menyadari Keagungan Tuhan. Namun hidayah itu kadang menimbulkan kecemburuan pula bagi seseorang yang tidak memahami Yang Maha Kuasa, seperti cemburunya Syaitan kepada Nabi Adam AS. Seseorang yang diberi hidayah akan lebih banyak menerima cobaan dari pada orang yang belum diberi hidayah. Kepercayaan kepada Tuhan dengan berserah secara tulus dan ikhlas, itu juga yang dapat memperkuat ketenangannya menghadapi cobaan, termasuk pelaksanaan protokol kesehatan dari pemerintah dalam menghadapi COVID-19.

Intuisi Sang Jenderal

“Sigit” begitulah publik memanggil Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Sosok tokoh di jajaran Kepolisian RI, tetap bersahaja dan tenang bila ditanya tentang perjalanan kariernya.

Patut ditelaah langkah-langkah hidupnya dalam menjalankan tugas dan aktivitas sehari-hari. Kesatuan yang memiliki jargon Melindungi, Mengayomi dan Melayani masyarakat tersebut dibuktikkannya secara profesional, modern dan terpercaya. Mengapa? Artikel ringkas dan sederhana ini menyodorkan berbagai macam prestasi yang merupakan anugrah yang dimiliki pria berusia 51 tahun ini dari Tuhan Yang Maha Esa.

Jenderal lulusan 1991 dari Akademi Kepolisian selau tampak tenang. Saat penulis bertanya, apa rahasia ketenangannya? Beliau menjawab bahwa dirinya tidak pernah henti memohon ketenangan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Pemurah dalam setiap menjalankan tugas-tuganya. Meski kini memangku jabatan Kabareskrim, sebuah jabatan yang banyak didambakan orang lain, dia tetap tidak lupa bersyukur atas anugrah Tuhan dan berterimakasih kepada sesama serta bermohon kepada Tuhan tetap memberi ketenangan lahir dan batin dalam menghadapi jalan terjal dengan ragam tantangan dan rintangan.

Entri point “ketenangan” itulah kemudian menjadi penilaian penulis yang menarik untuk diteladani dari “Sigit”. Di samping itu, dalam catatan Majalah Tempo, Jenderal Sigit merupakan Perwira yang meraih pangkat Komisaris Jenderal Polisis angkatan 91 dan Perwira termuda yang menjabat sebagai Kabareskrim dalam kurun satu dekade terakhir.

Olahan ketenangan dalam melaksanakan amanah dapat dibaca dari riwayat perjalanan hidupnya. Pertama, ketika dipromosikan tahun 2009 mengisi Kapolres di Pati, beliau dianggap minim prestasi. Kedua, penolakan keras dari MUI Banten ketika menduduki jabatan Kapolda dengan alasan rasisme. Ketiga, ketika dipromosikan menduduki amanah sebagai Kabareskrim dengan aroma senioritas dan lainnya.

Tentu terlalu prematur untuk men-skemakan tiga persoalan tersebut, dari berbagai permasalahan yang dihadapi Jenderal bintang tiga ini. Hanya saja, itu memadai untuk dapat dijadikan sebagai bahan pengetahuan awal sekaligus membuka pintu perkenalan, bagi siapa saja. Namun, tempahan ketenangan dan lingkungan zona kerja, menjadi daya tarik tersendiri dalam membangun keuletannya. Tidak heran, akhirnya interaksi sosialnya dengan para Ulama yang intens, ketika beliau bertugas di Jawa Tengah (Pati, Semarang, dan Solo) dan Banten, kota penuh Kyai dan ulama tercipta sebagai peluang untuk sharing kebangsaan dalam melayani masyarakat. Sebut saja misalnya, silaturrahmi Jenderal Sigit dengan Kyai Sahal Mahfudz yang pernah menduduki Ketua MUI dan Dewan Penasehat Pengurus Besar Nahdhatul Ulama.

Jenderal Sigit, mulai dikenal publik saat karirnya tahun 2009, jabatan yang diamanahkan berawal dari Polres Pati, Wakapoltabes Semarang dan Kapolres Surakarta. Prestasi beliau semakin cemerlang, terbukti tahun 2014 dipanggil ke Istana sebagai Ajudan Presiden Joko Widodo, kemudian diamanahkan menjabat sebagai Kapolda Banten 2016, lanjut ke Mabes Polri sebagai Kepala Divisi Propam Polri tahun 2018 hingga pada posisi strategis sebagai Kabareskrim. Jenderal Sigit terus berupaya menciptakan ketenangan, kedamaian dan kerjasama yang kondusif dalam Melindungi, Mengayomi dan Melayani masyarakat.

Saat ditunjuk sebagai Kabareskrim, tantangan pertama yang dihadapi oleh Jenderal Sigit adalah menjawab keraguan publik apakah akan mampu membongkar berbagai kasus yang banyak menjadi perhatian publik. Sebut saja misalnnya, kasus “penyiraman penyidik senior KPK, Novel Baswedan“ seperti di petieskan bertahun-tahun. Dan keraguan itu langsung dijawab tidak butuh waktu lama dengan menetapkan tersangka dan saat ini tersangka sudah diputus bersalah oleh Pengadilan.

Lalu, belum lama ini, muncul kasus yang membuat publik menaruh kecurigaan terhadap lembaga kepolisian atas dicabutnta red notice dan surat jalan Djoko Tjandra, seorang buronan kelas kakap selama beberapa tahun. Lagi-lagi, menghadapi persoalan besar tersebut, ketenangan Jenderal Sigit memainkan peran yang signifikan. Dia akhirnya memimpin sendiri operasi penangkapan Djoko Tjandra di Malaysia. Buronan kelas kakap yang sudah puluhan tahun berkeliaran itupun berhasil ditangkap.

Buah dari ketengan Jenderal Sigit juga dapat dilihat dari kasus PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Berdasarkan hasil audit BPK, dalam kasus TPPI negara dirugikan sebesar US$2,7 miliar atau Rp 37 triliun. Kasus ini itu bermula saat pemilik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratno “bermain mata” dengan dua tersangka lain, yakni Raden Priyono, bekas Kepala Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Dan Jenderal Sigit telah menyelamatkan puluhan triliuan uang negara dalam kasus TPPI ini.

Tiga kasus tersebut, walau ada pemain balik layar berstatus sama-sama berbaju coklat dan pemangku kepentingan, dihadapinya dengan tenang dan menyerahkan semua urusannya kepada Tuhan Yang Maha Mengatur, semuanya menjadi terang benderang, publik pun merasa lega atas ketenangan Jenderal Sigit dalam menegakkan hukum di tengah pemerintah dan masyarakat yang sedang menghadapi pendemi COVID-19.
Tentu masih banyak cobaan yang dihadapinya, erat kaitannya dengan integritas dan profesionalisme Jenderal Sigit. Biarlah waktu yang akan membeberkan fakta-fakta kesetiannya kepada seluruh lapisan masyarakat, institusi, dan pemerintah dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesai yang bersih dan berwibawa.

Teladan Ketenangan

Tidak sedikit manusia yang terjebak dalam berbagai momentum integritas dan profesionalisme ketika berhadapan dengan internal dan desakan arus mafia hukum. Ini membutuhkan kematangan lahir dan bathin serta penuh ketenangan. Tindakan arogansi dan anarkis tentu harus dihindarinya dalam tahapan analisis, agar dapat menghasilkan kinerja yang berkualitas. Inilah kemudian yang menjadi point penting dalam menstranformasikan nilai dari ketenangan.

Penulis juga menambahkan, bahwa ketenangan adalah suasana jiwa yang berada dalam keseimbangan (balance) sehingga menyebabkan seseorang tidak terburu-buru atau gelisah. Dalam bahasa Arab yaitu kata ath-thuma’ninah yang artinya ketentraman hati kepada sesuatu dan tidak terguncang atau resah. Kemampuan menyeimbangkan faktor-faktor psikologis dalam berpikir dan bertingkah laku, inilah kemudian oleh Zakiah Dradjat menyebutnya dengan istilah “sehat mental”.

Kemampuan Jenderal Sigit dalam mewujudkan keharmonisan yang sungguh-sungguh antara faktor jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan, kemampuan juga kemerdekaan dirinya.

Bukan an-sich belaka, fakta-fakta yang berbicara, terintegrasi menjadi sebuah kesimpulan yang memiliki nilai historis atas jejak perjalanan Jenderal Sigit. Berbagai kasus dari internal hingga dihadapkan dengan mafia-mafia hukum, sosok Jenderal Sigit tetap tenang. Inilah, yang diinginkan untuk diteladani oleh siapapun baik di internal kepolisian sebagai corong pelayan masyarakat maupun instansi lain, terlebih untuk generasi bangsa di masa mendatang.[]